SOLUSI PROBLEMATIKA KONSELOR BERTINDAK SEBAGAI POLISI SEKOLAH

Standard

Latar Belakang

Menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 konselor adalah pendidik. Profesi konselor sejajar dengan guru, dosen, pamong belajar, tutor, widyaiswara, fasilitator, dan instruktur sebagai pendidik profesional. Masing-masing kualifikasi pendidik, termasuk konselor, memiliki ekspektasi kinerja yang unik. Ekspektasi kinerja konselor dalam menyelenggarakan pelayanan ahli bimbingan dan konseling senantiasa digerakkan oleh motif altruistik, sikap empatik, menghormati keragaman, serta mengutamakan kepentingan konseli, dengan selalu mencermati dampak jangka panjang dari pelayanan yang diberikan (Permendiknas No. 27 tahun 2008).

Keberadaan UU No. 20 tahun 2003 dan Pemendiknas No. 27 tahun 2008 tersebut menunjukkan bahwa bimbingan konseling adalah salah satu komponen yang penting dalam mendorong tercapainya tujuan pendidikan. Dalam modul pelatihan implementasi kurikulum 2013 untuk guru BK/Konselor, dijelaskan bahwa kurikulum 2013 dirancang dengan tujuan untuk mempersiapkan insan Indonesia supaya memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warganegara yang produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia. Dalam rangka implementasi kurikulum 2013 yang mengamanatkan adanya peminatan peserta didik pada kelompok mata pelajaran, lintas mata pelajaran, dan pendalaman mata pelajaran maka diperlukan adanya pelayanan Bimbingan dan Konseling yang dilakukan oleh guru Bimbingan dan Konseling atau konselor. Implementasi kurikulum 2013 tentu membutuhkan usaha dan kinerja yang lebih dari konselor.

Berdasarkan pemaparan di atas, pada kurikulum 2013 profesi bimbingan dan konseling menjadi profesi yang semakin memiliki peran di dunia pendidikan. Profesi bimbingan dan konseling telah diberi kesempatan untuk menjadi profesi yang bermartabat dan diakui oleh masyarakat. Hal ini tentu menjadi sebuah tantangan pada konselor itu sendiri untuk bisa menjawab tantangan tersebut dengan kinerja yang maksimal. Akan tetapi, berbagai macam problematika muncul seiring dengan berkembangnya profesi konselor di Indonesia.

Problematika bimbingan dan konseling muncul di Indonesia karena berbagai macam faktor. Beberapa problematika bimbingan dan konseling berdasarkan faktor pribadi konselor adalah (1) konselor berperan sebagai polisi sekolah; (2) konselor tidak menunjukkan disiplin; (3) konselor memaksakan nilai-nilai yang dimilikinya kepada konseli; (4) konselor membeberkan rahasia konseli; dan (5) konselor kurang termotivasi mengembangkan profesionalitasnya. Selanjutnya problematika bimbingan dan konseling berdasarkan faktor manajemen bimbingan dan konseling di sekolah adalah (1) adanya persepsi konselor bahwa bimbingan konseling mampu bekerja sendiri; (2) tidak adanya manajemen bimbingan konseling yang baik di sekolah; dan (3) tidak melaksanakan evaluasi program bimbingan dan konseling. Selain itu, problematika bimbingan dan konseling berdasarkan faktor sarana dan prasarana bimbingan konseling adalah (1) ruang bimbingan dan konseling yang kurang memadai; dan (2) keengganan konselor bekerja ketika sarana dan prasarana tidak memadai. Terakhir, problematika bimbingan dan konseling berdasarkan faktor keterampilan konselor dalam melaksanakan layanan konseling adalah (1) konselor hanya memberikan nasehat dalam proses konseling; (2) konselor kurang memiliki keterampilan dasar konseling yang memadai; (3) konselor hanya menangani anak bermasalah; dan (4) kurangnya kesadaran konselor akan pentingnya need assesment sebagai dasar pembuatan program bimbingan konseling. Berbagai macam problematika bimbingan dan konseling tersebut dapat menghambat peran layanan bimbingan dan konseling dalam menunjang tercapainya tujuan pendidikan yang telah dicanangkan.

Perumusan solusi problematika bimbingan dan konseling akan difokuskan pada problematika konselor yang bertindak sebagai polisi sekolah. Konselor dituntut untuk menjadi pribadi yang hangat ketika berinteraksi dengan siswa. Hal tersebut akan mendorong rasa nyaman dan percaya siswa pada konselor. Akan tetapi, permasalahan yang muncul adalah timbulnya kinerja konselor dalam memberikan layanan bimbingan dan konseling tidak sesuai dengan yang seharusnya.

Pada sub bab selanjutnya akan dijelaskan solusi-solusi terhadap problematika bimbingan dan konseling. Solusi pertama akan dijelaskan solusi secara umum dari berbagai macam problematika yang muncul. Kemudian, akan dijelaskan juga solusi dari fokus masalah yang diangkat. Adapun fokus masalah yang diangkat yaitu konselor bertindak sebagai polisi sekolah.

 

Solusi Umum

Problematika bimbingan dan konseling terbagi menjadi empat kategori. Kategori pertama adalah problematika bimbingan dan konseling karena faktor pribadi konselor. Kategori kedua adalah problematika bimbingan dan konseling karena faktor manajemen bimbingan dan konseling di sekolah. Kategori ketiga adalah problematika bimbingan dan konseling karena faktor sarana dan prasarana bimbingan konseling. Dan kategori keempat adalah problematika bimbingan dan konseling karena faktor keterampilan konselor dalam melaksanakan layanan konseling. Berikut ini akan disajikan berbagai macam problematika bimbingan dan konseling serta bagaimana solusi untuk menangani problematika tersebut secara umum.

  • Konselor tidak menunjukkan disiplin

Konselor sebagai tenaga pendidik profesional sudah selayaknya menjadi contoh yang baik untuk siswa dalam menunjukkan sikap disiplin. Akan tetapi, sikap disiplin belum sepenuhnya bisa ditunjukkan oleh konselor. Salah satu konselor di SMA kota Surabaya kurang menunjukkan sikap disiplin, seperti datang tidak tepat waktu dan terlambat masuk kelas.

Solusi yang bisa ditawarkan untuk menangani konselor yang kurang menunjukkan disiplin adalah konselor menerapkan self-management. Konselor membuat jadwal kegiatan dan daftar kegiatan sendiri yang harus ditaati. Solusi ini akan membantu konselor berlatih untuk menunjukkan disiplin. Permendiknas Nomor 27 tahun 2008 pada kompetensi kepribadian menjelaskan bahwa konselor harus menampilkan kinerja berkualitas tinggi yang bersemangat, berdisiplin, dan mandiri. Penyataan tersebut mengindikasikan bahwa sudah selayaknya bagi konselor untuk tampil sebagai pribadi yang disiplin di sekolah. Dalam dunia pendidikan ada istilah ing ngarso sung tulodho yang memiliki arti yang di depan memberi contoh. Pernyataan tersebut memberi arti bahwa konselor sebagai pendidik profesional sudah selayaknya memberi contoh yang baik kepada peserta didik berkaitan dengan disiplin. Menurut teori pembelajaran observasional yang dikembangkan oleh Bandura, konselor memberi contoh yang baik kepada siswa dalam menunjukkan sikap disiplin karena konselor sebagai pendidik adalah model yang ditiru oleh siswa (Burger, 2011; Boeree, 2007; Feist & Feist, 2006).

  • Konselor memaksakan nilai-nilai yang dimilikinya kepada konseli

Perbedaan budaya antara satu daerah dengan daerah lain dan antara satu etnis dengan etnis lainnya dalam menyelenggarakan berbagai tradisi, tentunya mempengaruhi perilaku individu dan dapat menjadi sumber permasalahan individu. Di samping itu, tata pergaulan individu dalam lingkup keluarga, tetangga, sekolah dan masyarakat, memuat budaya tertentu. Menghadapi bebagai situasi tersebut adakalanya seseorang memerlukan bantuan orang lain (konselor). Konselor sebagai individu memiliki budaya dan konseli sebagai individu juga memilki budaya. Permasalahan dapat terjadi dalam interaksi antara konselor dan konseli yang berbeda budaya dan atau ada sumber masalah konseli berkaitan dengan budaya. Berdasarkan pengalaman penulis ketika melaksanakan PPL di salah satu SMA kota Surabaya, konselor terkesan memaksanakan nilai-nilai yang dimiliki konselor untuk ditanamkan pada konseli. Hal ini akan berdampak pada terdistorsinya hubungan antara konselor dan konseli. Padahal hubungan konseling yang kuat dapat berpengaruh terhadap keberhasilan pencapaian tujuan konseling.

Solusi yang ditawarkan untuk menangani problematika konselor memaksanakan nilai-nilai yang dimilikinya kepada konseli dalam pelaksanaan layanan bimbingan konseling adalah adanya sosialisasi dalam bentuk in-service training yang berkaitan dengan peningkatan kesadaran multibudaya konselor dalam melaksanakan layanan bimbingan konseling. In-service training bisa dilaksanakan oleh Kementerian Pendidikan, Univesitas, dan organisasi profesi yaitu ABKIN. Hal tersebut diharapkan dapat meningkatkan kesadaran multibudaya konselor dalam melaksanakan layanan bimbingan konseling.

Sebagai seorang konselor profesional, harus mampu mengalihkan perhatian mereka untuk melakukan konseling dengan memasukkan isu-isu lintas budaya (Wolfgang, 2011). Terlebih lagi Indonesia memiliki budaya yang sangat beragam (Goodwin & Giles, 2003). Sehubungan dengan hal tersebut, tuntutan terhadap pentingnya konseling keberagaman budaya (multikultural) di Indonesia sejalan dengan amanat dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang secara jelas mengakomodasikan nilai-nilai pancasila, nilai-nilai agama, kebudayaan, hak asasi manusia dan semangat multikultural. Sue & Sue (2008) menyatakan terdapat tiga kompetensi lintas budaya yang harus dimiliki konselor, yaitu: a) konselor menyadari asumsi-asumsi, nilai-nilai, dan bias-bias yang dimiliki individu; b) memahami pandangan dunia dari keberagaman budaya konseli; dan c) mengembangkan strategi dan teknik intervensi yang sesuai.

  • Konselor membeberkan rahasia konseli

Berdasarkan pengalaman penulis ketika melaksanakan PPL di salah satu SMA di kota Surabaya, ditemukan fenomena-fenomena yang terjadi terkait kerahasiaan permasalahan konseli yang seharusnya dijaga oleh konselor. Fenomena-fenomena tersebut antara lain konselor membicarakan permasalahan konseli dengan guru-guru yang lain, konselor dengan mudah menceritakan kepada wali kelas dari konseli yang bersangkutan terkait permasalahannya, dan tidak jarang masalah yang dialami oleh konseli menjadi bahan tertawaan konselor dan guru-guru yang lain.

Solusi yang ditawarkan untuk menangani problematika konselor yang membeberkan rahasia konseli adalah adanya optimalisasi tentang penerapan sanksi pelanggaran kode etik yang dikeluarkan oleh ABKIN. Apabila terjadi pelanggaran terhadap kode etik profesi bimbingan dan konseling maka kepada konselor diberikan sanksi sebagai berikut: (a) teguran secara lisan dan tertulis; (2) peringatan keras secara tertulis; (3) pencabutan keanggotaan ABKIN; (4) pencabutan lisensi izin praktik mandiri; dan (5) apabila terkait dengan permasalahan hukum/kriminal maka permasalhan tersebut diserahkan pada pihak yang berwenang.

  • Konselor kurang termotivasi mengembangkan profesionalitasnya

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui tingkat profesional konselor dalam pelayanan konseling. Juntika 1993 (dalam Akhmadi, 2012) menemukan bahwa pelaksanaan konseling oleh guru pembimbing belum sesuai dengan yang diharapkan, yakni masih kurangnya kemampuan pembimbing dalam menangani dan menggali masalah yang dihadapi siswa. Marjohan 1994 (dalam Akhmadi, 2012) menemukan bahwa baru 39,47% guru pembimbing yang dapat menerapkan kemampuan profesional konseling dalam kategori “tinggi”, sedangkan 60,53% baru mampu menerapkan kemampuan tersebut pada kategori “sedang”. Dengan adanya hasil penelitian yang disebutkan di atas, seorang konselor sudah selayaknya terus mengembangkan profesionalitas dirinya secara berkelanjutan, akan tetapi, tidak semua konselor punya kesadaran akan hal itu. Masih banyak konselor yang tidak punya kesadaran untuk mengembangkan profesionalitasnya secara berkelanjutan, seperti tidak munculnya kesadaran bahwa mengikuti seminar dan lokakarya adalah penting, konselor cenderung enggan mengikuti seminar dan lokakarya karena kurang terfasilitasi oleh sekolah, konselor kurang termotivasi mengikuti kegiatan-kegiatan MGBK, dan konselor tidak termotivasi untuk membaca buku-buku yang bisa menunjang berkembangnya pengetahuan konselor.

Solusiyang ditawarkan untuk menangani problematika konselor yang kurang termotivasi mengembangkan profesionalitasnya adalah adanya evaluasi personil secara berkelajutan. Evaluasi personil dilakukan baik dari sekolah, kementerian pendidikan, dan organisasi profesi yaitu ABKIN tentang perkembangan profesionalitas konselor. Hal ini diharapkan dapat memacu perkembangan profesionalitas konselor dalam melaksanakan layanan konseling. Hal ini sesuai dengan amanat Permendiknas nomor 7 tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik Dan Kompetensi Konselor yang menyatakan bahwa konselor harus mengembangkan pribadi dan profesionalitas konselor secara berkelanjutan.

Evaluasi Personil adalah prosedur yang digunakan untuk menilai efektivitas konselor sekolah yang bekerja dalam kerangka program bimbingan dan konseling komprehensif. Pertimbangan yang dibuat tentang efektivitas konselor sekolah menggunakan standar, kriteria, dan deskriptor kinerja personil yang berasal langsung dari kerangka bahasa program bimbingan dan konselingkomprehensif (Gysbers & Henderson, 2006). Standar kinerja personel digunakan sebagai upaya untuk membandingkan penilaian terhadap ruang lingkup pekerjaan konselor berdasarkan program komprehensif. Setelah standar kinerja personil ditetapkan, dimana sepenuhnya mewakili program komprehensif, kriteria dan deskriptor yang ditulis untuk setiap standar menentukan seberapa penting aspek-aspek standar tersebut. Kriteria dan deskriptor yang cukup dibutuhkan untuk menjamin penilai (evaluator) bahwa masing-masing aspek standar kinerja personel dapat diidentifikasi dan dievaluasi.

  • Adanya persepsi konselor bahwa bimbingan konseling bekerja sendiri

Fakta dilapangan menunjukkan tidak semua konselor bisa bekerja sama dengan pihak-pihak terkait dalam upaya penanganan masalah konseli. Konselor seringkali bekerja sendiri, tanpa memperhatikan pihak-pihak lain yang terkait dalam upaya menangani masalah konseli. Hal ini tentunya akan berdampak pada beratnya tugas konselor, terhambatnya tujuan konseling yang akan dicapai, serta kurang maksimalnya bantuan konselor dalam penyelesaian masalah yang dialami konseli. Fenomena-fenomena tersebut tampak pada konselor di salah satu SMA di kota Ngawi.

Solusi yang ditawarkan untuk menangani problematika adanya persepsi konselor bahwa bimbingan konseling mampu bekerja sendiri adalah adanya sosialisasi dalam bentuk in-service training yang berkaitan dengan penjelasan bahwa konselor perlu melakukan kolaborasi dengan berbagai pihak dalam melaksanakan layanan bimbingan konseling. In-service training bisa dilaksanakan oleh Kementerian Pendidikan, Univesitas, dan organisasi profesi yaitu ABKIN. Hal tersebut diharapkan dapat memberikan pemahaman bahwa konselor perlu melakukan kolaborasi dengan berbagai pihak dalam melaksanakan layanan bimbingan konseling.

Banyak tokoh yang menyebutkan bahwa konselor perlu melakukan kolaborasi dengan berbagai pihak. Hall & Hornby (2003) dan Neukrug (2012) menyatakan bahwa konselor tidak bisa bekerja sendirian, akan tetapi perlu adanya partnership, kerja sama, kolaborasi, dan konsultasi dengan pihak-pihak terkait. Kemudian, Schellenberg (2008) menyatakan bahwa perlu kerja sama antara konselor dan stakeholders, staf administrasi sekolah, orang tua untuk mencapai keberhasilan program bimbingan konseling yang dibuat. Konselor juga dapat menjalin kerja sama dengan lembaga-lembaga di luar sekolah seperti psikolog, psikiater, pekerja sosial, tokoh agama, dan konselor yang lain dengan persetujuan konseli (Sederholm, 2003).

  • Tidak adanya manajemen bimbingan konseling yang baik di sekolah

Tidak semua konselor menyadari pentingnya manajemen bimbingan konseling di sekolah. Di salah satu SMK di kota Ngawi misalnya, belum jelas bagaimana manajemen bimbingan konseling di sekolah. Bentuk-bentuk kerja sama antara konselor, guru mata pelajaran, wali kelas dan staf sekolah tidak jelas. Berbeda dengan di salah satu SMA di kota Surabaya, terdapat papan manajemen bimbingan konseling di ruang bimbingan konseling, tetapi pelaksanaan manajemen bimbingan konseling tidak berjalan dengan baik. Sehingga, dampaknya muncul kerancuan kinerja guru, wali kelas, dan konselor. Permasalahan-permasalahan psikologis anak yang seharusnya konselor yang menangani, tapi bukan konselor yang menangani, melainkan wali kelasnya.

Solusi yang ditawarkan untuk menangani problematika tidak adanya manajemen bimbingan konseling yang baik di sekolah adalah konselor membuat manajemen bimbingan konseling di sekolah. Manajemen bimbingan konseling merupakan salah satu unsur penting dalam pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah. Dalam modul pelatihan implementasi kurikulum 2013 untuk konselor dijelaskan bahwa kelancaran jalannya pelayanan bimbingan dan konseling memerlukan manajemen yang cukup efektif dan efisien, baik manajemen untuk terlaksanaannya layanan bagi masing-masing materi layanan, maupun ketatalaksanaan keseluruhan pelayanan bimbingan konseling pada satuan unit kerja. Dengan adanya manajemen bimbingan konseling yang baik, akan menghasilkan alur kinerja konselor yang jelas. Sehingga kinerja konselor akan menjadi lebih efektif dan efisien.

  • Tidak melaksanakan evaluasi program bimbingan dan konseling

Konselor sekolah profesional sebagai bagian dari tim pendidik di sekolah memiliki kinerja yang menunjang pencapaian tujuan yang dicanangkan oleh konselor sekolah (Dahir & Stone, 2009). Kinerja konselor sekolah tersebut tertuang dalam program layanan konseling dan program tersebut terbukti keefektifannya dalam pencapaian tujuan sekolah dan peningkatan prestasi belajar siswa (Astramovich, Coker & Hoskins, tanpa tahun). Untuk menguji keefektifan dan memperbaiki program layanan bimbingan dan konseling perlu dilakukan eveluasi. Evaluasi program layanan bimbingan konseling juga bisa menyediakan sumber informasi yang dibutuhkan untuk memverifikasi kekuatan program layanan konseling (Otto, 2001).

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua konselor melaksanakan evaluasi. Berdasarkan observasi yang pernah dilakukan penulis di salah satu SMA di Kabupaten magetan, konselor tidak melakukan evaluasi program layanan bimbingan dan konseling. Sehingga tidak ada perbaikan program layanan bimbingan dan konseling dari tahun ke tahun. Banyak alasan konselor tersebut tidak melakukan evaluasi program layanan, antara lain, ketidakmampuan konselor melakukan evaluasi, minimnya minat konselor untuk belajar melakukan evaluasi program layanan bimbingan konseling, dan minimnya pelatihan yang diberikan kepada konselor untuk mengevaluasi program layanan bimbingan dan konseling.

Solusi yang ditawarkan untuk menangani problematika konselor tidak melaksanakan evaluasi adalah adanya sosialisasi dan pelatihan dalam bentuk in-service training yang berkaitan dengan pelaksanaan evaluasi program bimbingan konseling. In-service training bisa dilaksanakan oleh Kementerian Pendidikan, Univesitas, dan organisasi profesi yaitu ABKIN. Hal tersebut diharapkan dapat memberikan pemahaman dan keterampilan konselor dalam melaksanakan evaluasi program bimbingan konseling.

  • Ruang bimbingan konseling yang kurang memadai

Belum semua sekolah mampu memfasilitasi keberadaan ruang bimbingan konseling yang layak dan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Berdasarkan pengalaman penulis, ditemukan ruang bimbingan konseling yang tidak layak digunakan sebagai ruang bimbingan konseling. Ruang bimbingan konseling di salah satu SMK di kota Ngawi bersanding dengan ruang UKS, tidak memiliki ventilasi, dan ruang bimbingan konseling yang berada di bawah tangga. Selain beberapa fakta tersebut, ada juga beberapa sekolah di kota Ngawi yang tidak mempunyai ruang bimbingan konseling sama sekali sehingga konselor berada di ruang guru. Selanjutnya, ruang bimbingan konseling di salah satu kota Padang letaknya jauh dari kelas tempat proses belajar mengajar siswa sehingga tidak ada minat siswa untuk mendatangi ruang bimbingan konseling, bahkan ada siswa yang tidak tahu letak ruang bimbingan konseling.

Penulis juga menemukan ruang bimbingan konseling yang pada dasarnya sangat layak, akan tetapi pihak konselor belum mampu memanfaatkan ruang tersebut secara maksimal. Salah satu SMA di kota Surabaya memiliki ruang bimbingan konseling sangat luas, terdapat lemari-lemari penyimpan data siswa yang memadai, dan terdapat dua bilik ruang konseling individu. Akan tetapi, ruang konseling individu kurang dimanfaatkan sesuai dengan fungsinya dan difungsikan sebagai tempat menghukum siswa yang melanggar tata tertib. Selanjutnya, salah satu SMP di kota Surabaya memiki ruang bimbingan konseling yang luas, ber-AC dan nyaman. Akan tetapi, ruang bimbingan konseling tersebut lebih banyak digunakan oleh guru-guru yang sedang tidak bertugas hanya untuk mengobrol, merokok, dan bahkan tidur. Berikutnya salah satu SMK di Pringsewu, Lampung juga memiliki ruang bimbingan konseling yang layak dan memadai. Akan tetapi, ruang konseling individu tidak difungsikan sesuai fungsinya. Ruang konseling individu lebih banyak difungsikan untuk menyimpan buku-buku dan barang-barang yang tidak terpakai.

Solusi yang ditawarkan untuk menangani problematika tidak adanya ruang bimbingan konseling adalah penekanan konselor untuk mengajukan permohonan pengadaan ruang bimbingan konseling yang memadai kepada kepala sekolah. Sarana dan prasarana tersebut dimanfaatkan untuk menunjang kinerja konselor dalam melaksanakan layanan bimbingan konseling. Pengadaan ruang bimbingan konseling memperhatikan beberapa kriteria. Dalam hal ini, ABKIN (2007) merekomendasikan kriteria ruang bimbingan dan konseling di sekolah, yaitu (a) lokasi ruang bimbingan dan konseling mudah diakses (strategis) oleh konseli tetapi tidak terlalu terbuka sehingga prinsip-prinsip konfidensial tetap terjaga; (b) jumlah ruang bimbingan dan konseling disesuaikan dengan kebutuhan jenis layanan dan jumlah ruangan; (c) antar ruangan sebaiknya tidak tembus pandang; dan (d) jenis ruangan yang diperlukan meliputi ruang kerja, ruang administrasi/data, ruang konseling individual, ruang bimbingan dan konseling kelompok, ruang biblio terapi, ruang relaksasi/desensitisasi, dan ruang tamu.

Sementara itu, BNSP memberikan gambaran yang berbeda tentang standar sarana yang terkait dengan ruang bimbingan dan konseling di sekolah. Adapun standar ruang bimbingan dan konseling adalah (a) ruang konseling berfungsi sebagai tempat peserta didik mendapatkan layanan konseling dari konselor berkaitan dengan pengembangan pribadi, sosial, belajar, dan karir; (b) Luas minimum ruang konseling 9 m2; (c) ruang konseling dapat memberikan kenyamanan suasana dan menjamin privasi peserta didik, dan (d) ruang konseling dilengkapi berbagai sarana penunjang lainnya (http://akhmadsudrajat.wordpress.com, diakses 12 Februari 2014).

  • Konselor enggan bekerja ketika sarana dan prasarana tidak memadai

Ketiadaan sarana dan prasarana itu seharusnya tidak menjadi halangan bagi konselor untuk mengupayakan pelaksanaan layanan bimbingan konseling yang optimal untuk membantu siswa. Fakta dilapangan menunjukkan bahwa terdapat oknum konselor di salah satu SMA di kota Ngawi yang menyatakan bahwa ia tidak bisa melakukan layanan konseling individu, layanan bimbingan kelompok, layanan konseling kelompok dan layanan-layanan lainnya karena tidak adanya ruang bimbingan konseling. Fakta serupa juga terjadi di salah satu SMP di kota Ngawi, yang juga tidak melakukan layanan bimbingan konseling secara optimal dengan alasan tidak adanya ruang bimbingan konseling.

Solusi yang ditawarkan untuk menangani problematika keengganan konselor bekerja ketika sarana dan prasarana tidak memadaiadalah penekanan konselor untuk lebih kreatif dalam melaksanakan layanan bimbingan konseling walaupun sarana dan prasarana kurang mendukung. Hal ini, sesuai dengan amanat Permendiknas No. 27 tahun 2008 dalam kompetensi kepribadian bahwa konselor harus menampilkan tindakan yang cerdas, kreatif, inovatif, dan produktif. Kreatifitas sangat dibutuhkan konselor dalam mengatasi permasalahan-permasalahan dalam pelaksanaan bimbingan dan konseling (Nicholson & Golsan, 1983).

  • Konselor hanya memberikan nasehat dalam proses konseling

Banyak faktor mengapa konselor lebih banyak memberikan nasehat daripada menerapkan pendekatan-pendekatan konseling. Berdasarkan wawancara yang dilakukan penulis pada salah satu konselor SMA di kota Ngawi, alasan pertama adalah konselor tidak berasal dari latar belakang bimbingan konseling sehingga tidak memahami hakekat konseling dengan benar dan alasan kedua adalah pemberian nasehat dirasa konselor lebih mudah daripada melakukan konseling dengan pendekatan-pendekatan konseling.

Solusi yang ditawarkan untuk menangani problematika konselor hanya memberikan nasehat dalam proses konseling adalah penekanan konselor untuk mempelajari kembali pendekatan-pendekatan dan teknik-teknik konseling. Hal ini sangat diperlukan mengingat tidak semua konseli bisa menerima nasehat konselor. Selain itu, tidak semua masalah bisa diselesaikan dengan menasehati. Pemberian nasehat lebih cenderung pada counselor-centered bukan client-centered yang bisa berpotensi menghacurkan hubungan konseling (Neukrug, 2012). Jika mengacu pada teori person-centered yang dicetuskan oleh Rogers, manusia pada dasarnya dapat dipercaya, memiliki akal, mampu memahami diri dan pengarahan diri sendiri, mampu membuat perubahan yang konstruktif, dan mampu untuk hidup efektif dan produktif (Corey, 2009). Sehingga, dapat dipahami bahwa proses konseling bukanlah sebuah proses pemberian nasehat, akan tetapi bagaimana konselor memanfaatkan potensi yang dimiliki manusia untuk mengarahkan dirinya dalam mencapai kehidupan yang efektif dan produktif.

  • Konselor kurang memiliki keterampilan dasar konseling yang memadai

Fakta terjadi masih banyak konselor yang kurang terampil dalam mempraktekkan keterampilan dasar konseling. Berdasarkan pengalaman penulis pada waktu PPL, beberapa fenomena yang terjadi adalah konselor kurang menyambut konseli dengan baik ketika konseli ingin konseling dengan konselor, konselor kurang memperhatikan kenyamanan konseli dalam melakukan konseling, konselor tidak melakukan konseling tidak di ruang konseling, konselor melakukan konseling dengan kurang memberikan perhatian pada konseli, konselor melakukan konseling sambil berbicara dengan guru yang lain, konselor memberikan respon yang kurang menyenangkan pada pernyataan konseli, dan sebagainya.

Solusi yang ditawarkan untuk menangani problematika konselor kurang memiliki keterampilan dasar konseling yang memadai adalah penekanan konselor untuk mempelajari dan berlatih kembali keterampilan dasar konseling. Sebagai seorang konselor tentunya harus memiliki berbagai keterampilan dasar konseling agar mencapai tujuan konseling yang efektif (Cormier, Nurius & Osborn, 2009; Shertzer & Stone, 1980). Terdapat beberapa keterampilan dasar konseling, yaitu a) keterampilan attending;b) listening responses yang meliputi klarifikasi, paraprase, refleksi, dan menyimpulkan; dan c) influencing responses yang meliputi keterampilan bertanya, interpretasi, pemberian informasi, immediacy, self-disclosure, dan konfrontasi (Cormier, Nurius & Osborn, 2009).

  • Konselor hanya menangani anak bermasalah

Fakta di lapangan menunjukkan masih banyak guru bimbingan konseling yang fokusnya hanya menangani anak-anak bermasalah. Hal tersebut dibuktikan dengan pengalaman pribadi penulis ketika melaksanakan PPL di salah satu SMA di Surabaya. Konselor lebih banyak fokus pada penanganan anak yang bermasalah saja. Akan tetapi, anak-anak yang punya potensi baik di bidang akademik atau non akademik kurang mendapat bimbingan secara berkelanjutan agar potensi mereka semakin berkembang secara optimal.

Solusi yang ditawarkan untuk menangani problematika konselor yang hanya menangani anak bermasalah adalah penekanan konselor untuk mencari informasi tentang konteks tugas konselor. Dalam Permendiknas No. 27 tahun 2008 tersebut disebutkan tentang konteks tugas konselor berada dalam kawasan pelayanan bimbingan dan konseling yang bertujuan mengembangkan potensi dan memandirikan konseli dalam pengambilan keputusan dan pilihan untuk mewujudkan kehidupan yang produktif, sejahtera, dan peduli kemaslahatan umum. Konselor adalah pengampu pelayanan ahli bimbingan dan konseling, terutama dalam jalur pendidikan formal dan nonformal. Dari pernyataan tersebut jelas bahwa konselor tidak hanya menangani anak bermasalah, akan tetapi, lebih kepada pengembangan potensi yang dimiliki konseli, memandirikan konseli dalam pengambilan keputusan, dan peduli pada kemaslahatan umum.

  • Kurangnya kesadaran konselor akan pentingnya need assesment

Tidak semua konselor melakukan need assesment sebagai dasar pembuatan program bimbingan dan konseling. Beberapa konselor tidak melakukan need assesment. Fenomena ini terjadi pada konselor di salah satu konselor di SMA kota Surabaya. Konselor tidak melakukan need assesment sebagai dasar pembuatan progam bimbingan dan konseling. Konselor hanya melakukan copy paste dari program tahun-tahun sebelumnya.

Solusi yang ditawarkan untuk menangani problematika kurangnya kesadaran konselor akan pentingnya need assesment adalah adanya sosialisasi dalam bentuk in-service training yang berkaitan dengan pentingnya need assesment sebagai dasar pembuatan program bimbingan konseling. Need assement menjadi salah satu aspek penting yang perlu dilakukan konselor dalam membuat progam bimbingan dan konseling yang komprehensif (Gysbers & Henderson, 2006). Informasi yang dihimpun dengan pelaksanaan need assesment dapat membantu konselor untuk mengidentifikasi kebutuhan siswa yang kemudian sebagai dasar pemberian layanan bimbingan dan konseling (Astramovich, 2011). Jika program bimbingan dan konseling disusun berdasarkan kebutuhan siswa, maka diharapkan program bimbingan dan konseling efektif diberikan kepada siswa.

 

Fokus Problematika Bimbingan dan Konseling

Fokus problematika bimbingan dan konseling yang diangkat adalah konselor yang bertindak sebagai polisi sekolah. Banyak anggapan bahwa peranan konselor di sekolah adalah sebagai polisi sekolah yang menjaga dan mempertahankan tata tertib, disiplin, dan keamanan sekolah. Tidak jarang pula konselor sekolah diserahi tugas mengusut perkelahian ataupun pencurian. Konselor ditugaskan mencari siswa yang bersalah dan diberi wewenang untuk mengambil tindakan bagi siswa-siswa yang bersalah itu dan cenderung menghukum siswa yang bermasalah. Anggapan seperti itu timbul karena adanya fakta bahwa konselor sekolah belum bisa berperan layaknya seorang konselor sekolah.

Terdapat fenomena-fenomena konselor bertindak sebagai polisi sekolah. Berdasarkan pengalaman penulis ketika PPL di salah satu SMA di kota Surabaya seperti konselor berdiri di depan gerbang sekolah menunggu siswa yang terlambat dan menghukumnya. Selain itu, konselor memberi tindakan dengan hukuman bagi siswa yang melanggar tata tertib sekolah, konselor melakukan tindakan dengan hukuman bagi siswa yang membolos, konselor memotong rambut siswa yang panjang, konselor memarahi dan mengintrogasi siswa yang dianggap membuat masalah di sekolah, dan sebagainya.

Pada desember 2013 yang lalu juga terjadi pemukulan yang dilakukan oleh oknum konselor di Gorontalo. Seorang siswa SMU di Kabupaten Gorontalo, muntah darah setelah dipukul konselornya. Siswa tersebut dipukul hingga tergolek lemas di ruang instalasi gawat darurat (IGD) Rumah Sakit Umum (RSU) dr Dundo Limboto (Sindonews.com, diakses 12 Februari 2014). Fenomena ini tentunya akan mencederai profesi konselor yang sesungguhnya adalah profesi yang mulia.

Fenomena-fenomena yang terjadi seperti yang telah disebutkan di atas tentunya akan berdampak negatif pada hubungan antara konselor dan konseli. Konselor yang seharusnya menjadi sahabat siswa, tapi seakan menjadi pribadi yang ditakuti, dihindari, dan bahkan dijauhi oleh siswa. Berdasarkan wawancara yang dilakukan penulis dengan beberapa konselor di tempat penulis PPL, fenomena-fenomena tersebut timbul karena banyak diantara mereka yang menganggap bahwa jika konselor tidak melakukan tindakan dengan hukuman, maka tidak akan membuat perubahan pada siswa dan tidak akan memberikan efek jera pada siswa yang suka melanggar peraturan. Selain itu, juga ada anggapan bahwa teori dan fakta dilapangan itu jauh berbeda dan bahkan bertolak belakang. Oleh karena itu, akan sulit membantu anak menemukan alternatif-alternatif untuk membuat perubahan pada siswa jika menganut teori yang dipelajari di perguruan tinggi.

Konselor berperan sebagai polisi sekolah pada hakekatnya bukanlah profil konselor yang sesungguhnya. Konselor yang berperan sebagai polisi sekolah tersebut hanya akan membuat hubungan yang tidak baik antara konselor dan konseli. Hal ini tidak sesuai dengan pernyataan Rogers (dalam Frankel & Sommerbeck, 2008) menyatakan bahwa hubungan antara konselor dan konseli adalah kekuatan utama dalam melaksanakan konseling. Rogers (1957) menyatakan terdapat tiga kualitas pribadi konselor yang mencakup (a) kongruen (keaslian, atau realitas); (b) penghargaan positif tak bersyarat (penerimaan dan peduli); dan (c) pemahaman empatik yang akurat (kemampuan untuk sangat memahami dunia subjektif dari orang lain). Sedangkan Corey (2009) menyebutkan karakteristik konselor yang efektif adalah: (a) konselor efektif memiliki identitas; (b) konselor yang efektif menghormati dan menghargai diri mereka sendiri; (c) konselor yang efektif terbuka terhadap perubahan; (d) konselor yang efektif membuat pilihan yang berorientasi pada kehidupan; (e) konselor yang efektif adalah otentik, tulus, dan jujur; (f) konselor yang efektif memiliki selera humor; (g) konselor yang efektif bersedia mengakui kesalahan mereka; (h) konselor yang efektif mempunyai orientasi hidup di saat sekarang; (i) konselor yang efektif menghargai perbedaan budaya; (j) konselor yang efektif memiliki minat yang tulus dalam membantu pencapaian kesejahteraan orang lain; (k) konselor yang efektif memiliki keterampilan interpersonal yang efektif; (l) konselor yang efektif sangat terlibat dalam pekerjaan mereka dan memperoleh makna dari hal itu; (m) konselor yang efektif semangat; dan (n) konselor yang efektif mampu mempertahankan batas-batas yang sehat.

 

Solusi Fokus Problematika Bimbingan Konseling

Solusi yang ditawarkan pada fokus problematika bimbingan dan konseling adalah:

Solusi pada diri konselor

Solusi yang diarahkan kepada diri konselor untuk mengubah peran konselor sebagai polisi sekolah menjadi seorang konselor profesional adalah:

  • Mempelajari kembali profil seorang konselor profesional

Tidak semua konselor memahami bagaimana karakteristik konselor profesional. Guru bimbingan dan konseling seoptimal mungkin dapat menginternalisasi karakteristik profesi konselor sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kepribadian dalam dirinya. Terdapat beberapa ahli yang mendeskripsikan bagaimana karakteristik konselor profesional. Seperti Rogers (1957) yang menyebutkan konselor profesional setidaknya memiliki 3 atribut pribadi konselor. Sedangkan Corey (2009) mendeskripsikan 14 karakteristik konselor yang efektif. Karakteristik-karakteristik tersebut perlu dipahami dan diinternalisasi oleh konselor. Sedangkan di Indonesia konselor profesional adalah konselor yang memiliki (a) kualifikasi akademik S1 bimbingan konseling dan Pendidikan Profesi Konselor; dan (b) memiliki kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional (Permendiknas Nomor 27 tahun 2008).

  • Melaksanakan refleksi diri tentang kekurangan yang dimiliki untuk menjadi seorang konselor profesional

Refleksi diri perlu dilakukan konselor untuk perkembangan profesional konselor. Dengan melakukan refleksi diri, konselor dapat memahami bagaimana kesenjangan yang terjadi antara pelaksanaan konseling yang telah dilakukan dan kerangka konseptual yang ada. Sehingga dari kesenjangan itu, dapat diketahui bagaimana pemecahan masalah yang bisa dilakukan konselor untuk praktik konseling profesional selanjutnya. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan dari Ward & House (1998) yang menyatakan bahwa refleksi diri dapat dilakukan konselor untuk merekonstruksi pengalaman konseling yang telah dilakukan menggunakan repertoar pemahaman, gambar, dan tindakan untuk membingkai situasi mengganggu sehingga intervensi pemecahan masalah dapat dihasilkan.

  • Mengikuti berbagai macam seminar dan lokakarya

Salah satu karakteristik konselor efektif menurut Corey (2009) adalah terbuka terhadap perubahan. Selain itu, Permendiknas Nomor 27 tahun 2008 juga menyatakan bahwa konselor profesional adalah konselor yang memiliki ketersediaan untuk mengembangkan pribadi dan profesionalitasnya secara berkelanjutan. Pengembangan pribadi dan profesional dapat dicapai dengan mengikuti berbagai macam seminar dan lokakarya. Seminar dan lokakarya menyediakan berbagai macam informasi baru yang sangat berguna untuk diterapkan dalam praktik konseling secara profesional.

  • Mengikuti studi lanjut baik jenjang pendidikan profesi konselor atau magister bimbingan dan konseling

Corey (2009) dan Permendiknas nomor 27 tahun 2008 mengamanatkan bagi konselor untuk mengembangkan profesionalitasnya secara berkelanjutan. Karakteristik konselor yang terbuka terhadap perubahan untuk mengembangkan profesionalitas konselor secara berkelanjutan dapat ditempuh dengan berbagai jalan. Selain mengikuti seminar dan lokakarya, pengembangan profesionalitas dapat ditempuh dengan mengikuti studi lanjut. Studi lanjut yang ditempuh bisa Pendidikan Profesi Konselor atau jenjang Magister Bimbingan Konseling di Universitas yang terakreditasi.

  • Mentaati kode etik ABKIN

Salah satu syarat sebuah profesi adalah adanya kode etik. Profesi konselor memiliki kode etik yang dikeluarkan oleh organisasi profesi yaitu ABKIN. Kode etik profesi dinyatakan dalam bentuk seperangkat standar, peraturan, dan/atau pedoman yang mengatur dan mengarahkan ucapan, tindakan, dan/atau perilaku konselor sebagai pemegang kode etik yang bekerja pada berbagai sektor dalam interaksi mereka dengan mitra kerja dan sasaran layanan atau klien serta anggota masyarakat pada umumnya.

Optimalisasi pre-service training

Seorang konselor pada dasarnya sudah dipersiapkan melalui lembaga pendidikan guru sebelum terjun ke dalam jabatannya. Pendidikan persiapan itu disebut pre-service training. Program pre-service training menekankan pada penyaringan yang selektif terhadap calon guru/konselor dengan memperhatikan kualitas, moral dan kepribadiannya. Kualitas, moral, dan kepribadian konselor akan memacu pelayanan bimbingan konseling yang optimal dan memiliki pengaruh pada siswa/konseli. Calon konselor yang terjaring dalam pre-service training setidaknya memiliki karakteristik konselor yang efektif seperti yang diungkapkan oleh Rogers (1957) dan Corey (2009).

Keterampilan mengajar adalah bagian penting dari perkembangan guru profesional dan memainkan peran penting dalam praktik guru sehari-hari di dalam kelas. Guru menggunakan keterampilan mengajar untuk merancang, mengajar dan mengatur kegiatan belajar di dalam dan di luar ruang kelas (Zhao & Jiao, 2012). Begitu juga dengan keterampilan konselor dalam melaksanakan layanan bimbingan konseling adalah bagian penting dari perkembangan guru dan praktik konseling dengan siswa (Cormier, Nurius & Osborn, 2009). Sangat penting bahwa pelatihan keterampilan melaksanakan layanan bimbingan konseling secara memadai yang diterapkan dalam bentuk pre-service training. Pre-service training dapat membantu calon konselor untuk memperlancar terjun ke tempat kerja (Zhao & Jiao, 2012).

Corporation for National & Community Service menyatakan 10 tips untuk mempersiapkan pre-service training. Adapun 10 tips tersebut adalah:

  1. Perencanaan. Semakin terorganisasi, semakin baik pelaksanaan pre-service training. Dalam perencaaan, penyelenggaraan kegiatan pre-service training harus sistematis mempertimbangkan situasi dan kebutuhan, metode dan potensi masalah yang timbul.
  2. Membuat orientasi berbasis hasil. Orientasi kegiatan dirancang berdasarkan hasil yang ingin dicapai. Kemudian memilih topik dan metode yang akan menghasilkan hasil tersebut.
  3. Membuat pre-service training benar-benar interaktif dan berbasis pengalaman. Ini berarti kegiatan pre-service training lebih banyak menggunakan sesi tanya jawab.
  4. Berhati-hati dalam memilih dan mempersiapkan fasilitator dan presenter. Memilih fasilitator dan presenter berdasarkan keterampilan mereka, bukan sekedar konten pengetahuan mereka. Penyelenggara pre-service training hendaknya memastikan fasilitator dan presenter tahu apa yang diharapkan pihak penyelenggara.
  5. Menekankan pada kerja sama tim. Penyelenggara kegiatan in-service taining memberikan penekanan pada peserta untuk bekerja dalam sebuah tim.
  6. Model etika pelayanan. Membangun keinginan individu untuk melayani, dan mencerminkan manfaat dari layanan. Berbicara tentang layanan secara langsung dan jujur​​, dan mengkomunikasikan harapan yang realistis.
  7. Menggunakan peserta sebagai sumber daya. Memberi mereka kesempatan untuk mengajarkan satu sama lain, melalui kelompok-kelompok pembelajaran kooperatif dan kegiatan mengajar rekan spesifik lainnya. Menggunakan mereka sebagai co-fasilitator di daerah-daerah di mana mereka memiliki keahlian khusus.
  8. Menghubungkan pelatihan dengan tugas pelayanan. Pada poin ini menekankan pada supervisor yang bekerja dengan anggota untuk merencanakan kegiatan pelayanan mereka. Semakin relevan orientasi kepada tugas yang sebenarnya, lebih menarik dan berguna untuk anggota.
  9. Memantau, menilai, dan mengevaluasi. Sepanjang sesi, meminta umpan balik anggota, dan membuat perbaikan segera. Menilai kegiatan-kegiatan khusus dan sesi keseluruhan sebagai dasar untuk perubahan tahun selanjutnya. Tindak lanjut untuk melihat apakah kemampuan belajar dipertahankan dan digunakan.
  10. Kegiatan pre-service training sebaiknya berbasis pengalaman. Pengetahuan dan keterampilan akan berkembang pada kesempatan ini (https://www.nationalserviceresources.gov, diakses 4 April 2014).

Optimalisasi in-service training

Rycus dan Hughes (2000), mendefinisikan in-service training ini sebagai pelatihan yang dilaksanakan dalam pelaksanaan pekerjaan seseorang. Program in-service training ini akan membantu konselor mengembangkan kemampuan dan keterampilan sebagai konselor profesional (Drapela, 1974; Hembling & Mossing, 1978). Kegiatan in-service training bisa dilakukan dengan mengadakan talk show tentang bimbingan dan konseling, workshop tentang bimbingan dan konseling, seminar tentang bimbingan dan konseling, demonstrasi memberikan layanan bimbingan dan konseling menurut metode-metode baru, kunjungan-kunjungan ke sekolah-sekolah diluar daerah, dan sebagainya. Kegiatan-kegiatan tersebut akan menyegarkan, memperkaya dan memperbaharui berbagai keterampilan dan kemampuan yang diperlukan sebagai tuntutan perubahan cepat yang terjadi dalam kehidupan konseli. program in-service training bagi konselor juga akan membawa konselor berinovasi dalam melakukan layanan konseling (Clarke dkk., 1978). Kegiatan-kegiatan seperti MGBK dan lokakarya menjadi media penyegaran kemampuan yang semakin diperlukan.

Beberapa penelitian telah dilaksanakan untuk menguji keefektifan program in-service training. Penelitian dilakukan oleh McEvoy & McConkey (1991) yang berjudul “SeIf-instructional videocourses: a cost-effective approach to in-service training of teachers in special education”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa in-service training dengan pendekatan videocourse adalah layak dan sukses. Guru tidak hanya belajar dari videocourse, tatapi juga memanfaatkannya menjadi sebuah pendekatan praktik pengajaran yang menghasilkan peningkatan kemampuan numerik murid mereka. Selain itu, laporan guru di lapangan juga sangat positif.

Penelitian berikutnya dilakukan oleh Sari (2007). Penelitian berjudul “The Influence of an In-service Teacher Training (INSET) Programme on Attitudes towards Inclusion by Regular Classroom Teachers Who Teach Deaf Students in Primary Schools in Turkey”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa program In-service Teacher Training (INSET) dapat meningkatkan pengetahuan yang berdampak pada perubahan sikap yang lebih positif pada guru yang mengajar siswa sekolah dasar yang mengalami masalah pendengaran di Turki.

Tidak semua penelitian tentang in-service training menunjukkan keberhasilan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sahbaz (2011) yang berjudul “The effectiveness of in-service training for school counselors on the inclusion of students with disabilities” hasilnya adalah program in-service training tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan kemampuan konselor. Oleh karena itu, peneliti merekomendasikan pelaksanaan program in-service training hendaknya dilakukan dengan jangka waktu yang lebih lama dan dengan persiapan yang matang.

Selain itu, penelitian juga dilakukan oleh Gunes dkk., (2011) yang berjudul “The perceptions and needs of science and primary school teachers about in-service training”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 80% guru menyatakan tidak mendapatkan keuntungan dari program in-service training. Oleh karena itu, Gunes dkk., merekomendasikan beberapa hal untuk meningkatkan keefektifan in-service training. Rekomendasi pertama dadalah pelaksanaan program in-service training harus dilaksanakan hanya untuk mengembangkan kualifikasi guru sesuai dengan bidangnya dan mempertimbangkan kebutuhan guru. Rekomendasi yang kedua adalah guru juga harus diberi kesempatan yang lebih banyak untuk berlatih secara langsung dalam kegiatan in-service training. Rekomendasi ketiga adalah pelaksanaan in-service training harus melibatkan universitas dan departemen pendidikan. Dan rekomendasi yang terakhir adalah pada akhir kegiatan in-service training hendaknya dilakukan evaluasi baik secara lisan maupun tulis.

Berikut ini akan digambarkan suatu strategi pelaksanaan program in-service training yang disebut dengan the INSET strategies model (O’Sullivan, 2001; O’Sullivan, 2002). Adapun gambaran siklusnya adalah sebagai berikut:

Gambar 1.1 The INSET strategies model

INSET

Sumber: O’Sullivan, M.C. 2001. The Inset Strategies Model: an Effective Inset Model for Unqualified and Underqualified Primary Teachers in Namibia. International Journal of Educational Development, 21: 93-117.

Berdasarkan gambar 1.1 di atas, model strategi INSET terdiri dari 6 tahap. Adapun keenam tahap yaitu: (1) asesmen kebutuhan; (2) pengorganisasian; (3) menentukan konten; (4) proses pelatihan; (5) tindak lanjut; dan (6) evaluasi. Keenam tahap dalam The INSET strategies model berbentuk siklus.

Tahap yang pertama adalah asesmen kebutuhan. Program in-service training yang akan dilaksanakan hendaknya sesuai dengan kebutuhan peserta pelatihan. Oleh karena itu, penting dilaksanakan asesmen kebutuhan sebagai dasar penyusunan program in-service training. Asesmen kebutuhan akan meningkatkan keefektifan program in-service training, karena, materi yang diberikan sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh peserta pelatihan.

Tahap yang kedua adalah pengorganisasian. Hasil dari asesmen kebutuhan dianalisis dan diorganisasikan sehingga akan diketahui tujuan dilaksanakannya program in-service training. Tujuan program in-service training adalah apa yang ingin dicapai dari program tersebut.

Tahap yang ketiga adalah menentukan konten. Pada tahap ini akan ditentukan konten apa yang akan disampaikan kepada peserta layanan. Penentuan konten berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dari program in-service training.

Tahap yang keempat adalah proses pelatihan. Pada tahap ini, terjadi proses pelatihan dari peserta pelatihan. Pada tahap terjadi implementasi konten yang telah ditentukan pada tahap sebelumnya. Pada tahap ini diharapkan peserta pelatihan mampu menyerap keterampilan baru yang telah diterima dari program in-service training.

Tahap yang kelima adalah tindak lanjut. Pada tahap tindak lanjut terjadi proses pengawasan dan tindak lanjut oleh pelaksana program in-service training. Ini dilaksanakan untuk mendorong peserta pelatihan memperoleh keterampilan baru dari program in-service training.

Tahap terakhir adalah tahap evaluasi. Pada tahap evaluasi, terjadi proses mengukur seberapa besar pengaruh program in-service training terhadap keterampilan baru yang dimiliki oleh peserta pelatihan. Hasil dari evaluasi ini, bersama dengan hasil asesmen kebutuhan, akan menjadi bahan pertimbangan untuk pengorganisasian program in-service training selanjutnya.

Berdasarkan pemaparan di atas, optimalisasi program in-service training perlu dilakukan. Dengan optimalisasi program in-service training diharapkan dapat meningkatkan kualitas dan sekaligus pengakuan pengguna profesi konseling. Adapun bentuk-bentuk in-service training untuk menangani problematika konselor yang bertindak sebagai polisi sekolah adalah sebagai berikut:

  • Sosialisasi dan pelatihan kepribadian konselor profesional

Menurut hasil penelitian dari Wampold 2001 (dalam Eriksen & McAuliffe, 2006) karakteristik pribadi yang ditunjukkan oleh konselor dapat berkontribusi pada hasil konseling daripada penggunaan teknik-teknik konseling. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa karakteristik kepribadian konselor merupakan atribut penting yang harus dimiliki konselor. Rogers (1957) menyebutkan bahwa konselor profesional harus memiliki tiga atribut pribadi konselor, yaitu (1) kongruen; (2) penghargaan positif tak bersyarat; dan (3) pemahaman empatik yang akurat. Rogers meyakini jika konselor mampu menunjukkan ketiga atribut pribadi konselor tersebut, maka itu akan cukup bagi konselor untuk membantu konseli tumbuh dan berkembang secara optimal (Corey, 2009).

Pemerintah dan lembaga yang terkait perlu melakukan sosialisasi dan pelatihan tentang kepribadian bagi konselor yang berperan sebagai polisi sekolah. Sosialisasi dan pelatihan tersebut perlu dilakukan secara berkelanjutan. Hal ini bertujuan agar konselor mengetahui dan memahami pentingnya karakteristik kepribadian konselor untuk pelaksanaan konseling yang optimal. Sosialisasi dan pelatihan kepribadian konselor juga dapat mendorong profesionalitas konselor dalam memberikan layanan konseling pada konseli.

  • Pelatihan self-awareness

Menurut penelitian yang dilakukan oleh American Counseling Association dan American Psychological Association, self-awareness yang dimiliki konselor merupakan salah satu aspek yang sangat penting terhadap efektivitas pelayanan konseling (Abney, 2002). Locke 1993 (dalam Abney, 2002) menetapkan bahwa self-awareness adalah tingkat pertama yang harus dilewati konselor dan itu adalah kondisi yang diperlukan sebelum konselor memulai proses memahami yang lain. Self-awareness menyangkut kesadaran tentang posisi-posisi dan nilai sebagai seorang calon konselor. Seorang konselor harus mampu menjawab jelas pertanyaan siapakah saya?, apakah yang penting bagi saya?, apakah signifikansi sosial terhadap apa yang saya lakukan dan mengapa saya menjadi seorang konselor? (Mappiare, 2011). Pertanyaan-pertanyaan ini bertujuan (1) setiap calon konselor memiliki persepsi yang akurat tentang dirinya sehingga cenderung memiliki persepsi yang akurat tentang orang lain; (2) Calon konselor memiliki keterampilan dalam memahami dirinya, sehingga mereka mampu terampil memahami orang lain; (3) Ketika calon konselor yang memahami dirinya akan mampu mengajarkan cara memahami diri kepada orang lain; (4) Pemahaman tentang diri memungkinkan konselor untuk dapat merasa dan berkomunikasi secara jujur dengan konseli pada saat proses konseling berlangsung (Yusuf, 2009).

Terdapat beberapa bentuk self awareness yang perlu ditunjukkan oleh konselor. Kode etik ACA menyebutkan bahwa (1) konselor menyadari keintiman dan tanggung jawab yang melekat dalam hubungan konseling; (2) konselor menyadari nilai, sikap, kepercayaan, dan perilaku mereka sendiri serta bagaimana hal tersebut berlaku dalam masyarakat yang beragam, dan menghindari memaksakan nilai-nilai mereka kepada konseli; dan (3) konselor menyadari posisi mereka berpengaruh terhadap konseli, dan mereka perlu menghindari mengeksploitasi kepercayaan dan ketergantungan konseli. Jika konselor memiliki tingkat self-awareness yang tinggi terhadap profesinya sebagai konselor, maka konselor akan menunjukkan kinerja yang optimal dan profesional.

                                         

Kesimpulan

Terdapat berbagai macam problematika bimbingan konseling. Salah satu problematika bimbingan konseling adalah konselor yang berperan sebagai konselor profesional. Konselor yang berperan sebagai polisi sekolah akan mencederai profesi konselor sebagai helping profesional. Selain itu, keefektifan pelaksanaan layanan konseling tidak akan akan optimal jika konselor menunjukkan perannya sebagai polisi sekolah. Perlu adanya pembenahan dan perbaikan agar konselor tidak berperan sebagai polisi sekolah. Terdapat berbagai macam solusi untuk meminimalisir problematika tersebut. Salah satu solusinya adalah dengan pemberian saran secara langsung kepada konselor untuk (1) mempelajari kembali profil seorang konselor profesional; (2) melaksanakan refleksi diri tentang kekurangan yang dimiliki untuk menjadi seorang konselor profesional; (3) mengikuti berbagai macam seminar dan lokakarya; dan (4) mengikuti studi lanjut baik jenjang pendidikan profesi konselor atau magister bimbingan dan konseling. Salusi lain yang bisa dilaksanakan adalah dengan optimalisasi pre-service training. Program pre-service training menekankan pada penyaringan yang selektif terhadap calon konselor dengan memperhatikan kualitas, moral dan kepribadiannya. Program pre-service training juga menyediakan berbagai macam pelatihan profesional bagi konselor sebelum konselor terjun secara langsung menjadi konselor sekolah. Solusi terakhir adalah program in-service training. In-service training didefinisikan sebagai pelatihan yang dilaksanakan dalam pelaksanaan pekerjaan seseorang Program ini meliputi pelatihan kepribadian konselor dan pelatihan self-awareness.

 


Daftar Pustaka

 

ABKIN. 2007. Rambu-Rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. Bandung: ABKIN

ABKIN. 2011. Kode Etik Profesi Bimbingan dan Konseling Indonesia ABKIN. Semarang: ABKIN

Abney, P.C. 2002. A Study of the Relationship between the Levels of Self-Awareness within Students Enrolled in Counseling Practicum and the Measurements of their Counseling Effectiveness. Disertasi: University of North Texas.

Akhmadi, A. 2012. Peningkatan Kemampuan Konselor Profesional, Kajian Materi Diklat Jarak Jauh Guru Bimbingan Konseling. (Online), (www.himcyoo.files.wordpress.com) diakses 12 Februari 2014.

American Counseling Association. 2000. ACA code of ethics and standards of practice. (Online), (http://www.counseling.org), diakses 20 April 2014.

Astramovich, R. L., Coker, J. K., & Hoskins, W. J. Tanpa tahun. Training school counselors in program evaluation. American School Counseling Association.

Astramovich, R.L. 2011. Needs Assessment: A Key Evaluation Tool for Professional Counselors. (Online), (http://counselingoutfitters.com), diakses 12 Februari 2014.

Boeree, C.G. 2007. Personality Theories: Melacak Kepribadian Anda Bersama Psikolog Dunia. Alih bahasa: Inyiak Ridwan Muzir. Jogjakarta: Prismasophie.

Burger, J.M. 2011. Pesonality. USA: Wadsworth Cengage Learning.

Clarke, P., dkk. 1978.Rockford, Ill.: In-Service Training for Teachers. Journal of Communicution, 195-201.

Corey, G. 2009. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. USA: Thomson Brooks/Cole.

Cormier, S., Nurius, P.S. & Osborn, C.J. 2009. Interviewing and Change Strategies for Helpers: Fundamental Skills and Cognitive Behavioral Interventions. USA: Brooks/Cole.

Corporationfor National & Community Service. TrainingBriefs: Ten Tips for Successful Pre-Service Training, diakses 4 April 2014.

Dahir, C.A. & Stone, C.B. 2009. School Counselor Accountability: The Path to Social Justice and Systemic Change. Journal of Counseling & Development, 87: 12-20.

Drapela, V.J. 1974. In-Service Training for Pastoral Counselors. Journal of Religion and Health, 13 (2): 142-146.

Eriksen, K.P. & McAuliffe, G.J. 2006. Constructive Development and Counselor Competence. Counselor Education & Supervision, 45: 180-192.

Feist, J. & Feist, G.J. 2006. Theories of Personality. New York: McGraw-Hill Companies, Inc.

Frankel, M & Sommerbeck, L. 2008. Nondirectivity: Attitude or Practice?. The Person-Centered Journal, 15: 1-2: 58-78.

Goodwin, R., & Giles, S. 2003. Social Support Provision and Cultural Values in Indonesia and Britain. Journal of Cross-Cultural Psychology, 34 (10): 1-6.

Gunes, T., dkk. 2011. The perceptions and needs of science and primary school teachers about in-service training. Procedia Social and Behavioral Sciences, 15: 1102-1109.

Gysbers, C.N. & Henderson, P. 2006. Developing and Managing Your School Guidance and Counseling Program. American Counseling Association: Alexandria.

Hall, C. & Hornby, G. 2003. Learning to Collaborate: Working Across the Divide. Dalam G. Hornby, C. Hall& E. Hall(Ed.),Counselling Pupils in Schools: Skills and Strategies for Teachers (hlm. 141-151). London: Routledge Falmer.

Hembling, D.W. & Mossing, J. 1978. An In-Service Basic Counseling Skills Training Program For Child Care Counselor. Child Care Quarterly, 7 (1): 72-86.

Kemendikbud. 2013. Modul Pelatihan Implementasi Kurikulum 2013 untuk Guru BK/Konselor: Implementasi Pelayanan Bimbingan dan Konseling dalam Kurikulum 2013. Jakarta: Kemendikbud.

Mappiare, A. 2011. Pengantar Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: Rajawali Press.

McEvoy, J. & McConkey, R. 1991. SeIf-instructional Videocourses: a Cost-Effective Approach to In-Service Training of Teachers in Special Education, British Journul of Educational Technology, 22 (3): 164-173.

Neukrug, E.S. 2012. The World of the Counselor: An Introduction to the Counseling Profession. USA: Brooks/Cole.

Nicholson, J.A. & Golsan, G. 1983. The Creative Counselor. USA: McGraw-Hill, Inc.

O’Sullivan, M.C. 2001. The Inset Strategies Model: an Effective Inset Model for Unqualified and Underqualified Primary Teachers in Namibia. International Journal of Educational Development, 21: 93-117.

O’Sullivan, M.C. 2002. Action Research and the Transfer of Reflective Approaches to In-Service Education and Training (INSET) for Unqualified and Underqualified Primary Teachers in Namibia. Teaching and Teacher Education, 18: 523-539.

Otto, C.N.C. 2001. An Evaluation of the School Counseling Program at Stillwater Area Schools in Stillwater, Minnesota. University of Wisconsin-Stout: The Graduate College.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2008 tentang Standar kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor (Online), (unnes.ac.id/wp-content/uploads/Permendiknas-no.-27-tahun-2008.pdf‎), diakses 12 Februari 2014.

Rogers, C.H. 1957. The Necessary and Sufficient Conditions of Therapeutic Personality Change. Journal of Consulting Psychology, 21: 95–103.

Rycus, J.S. & Huges, R.C. 2000. What Is Competency-Based In-Service Training. (Online), (www.narccw.org/…/Resource%20Paper%201.pdf),diakses 6 Maret 2014.

Sahbaz, U. 2011. The Effectiveness of In-Service Training For School Counselors on the Inclusion of Students With Disabilities. Educational Research and Reviews, 6 (8): 580-585.

Sari, H. 2007. The Influence of an In-service Teacher Training (INSET) Programme on Attitudes towards Inclusion by Regular Classroom Teachers Who Teach Deaf Students in Primary Schools in Turkey. Deafness and Education International, 9 (3): 131-146.

Schellenberg, R. 2008. The New School Counselor: Strategies for Universal Academic Achievement. USA: Rowman & Littlefield Education.

Sederholm, G.H. 2003. Counselling Young People in School. London and Philadelphia: Jessica Kingsley Publishers.

Shertzer, B. & Stone, S.C. 1980. Fundamental of Counseling. Boston: Houghton Mifflin Company.

Sudrajad, A. 2013. Standar Ruang Bimbingan dan Konseling. (Online), (http://akhmadsudrajat.wordpress.com/), diakses 12 Februari 2014.

Sue, D.W. & Sue, D. 2008. Counseling the Culturally Diverse: Theory and Practice. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.

Undang-Undang Republik Indonesia No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Online), (www.inherentdikti.net/files/sisdiknas.pdf), diakses 12 Februari 2014.

Ward, C.C., & House, R.M. 1998. Counseling Supervision: A Reflective Model. Counselor Education And Supervision, 38: 23-33.

Wolfgang, J, dkk. 2011. Developing Cross Cultural Competence: Applying Development and Prevention Ideals to Counseling Young Children. Makalah disajikan pada the annual convention of the Association for Counselor Educators and Supervisors (ACES), Nashville, 26-30 Oktober 2011. Dalam Eric database, (Online), (http://eric.ed.gov/), diakses 18 Desember 2013.

Yusuf, S. 2009. Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Zhao, J. & Jiao, J. 2012. A Podcasting-Based Pre-Service Teacher Training Model. Knowledge Management & E-Learning: An International Journal, 4 (1): 123-128.

TEORI PILIHAN KARIR POSTMODERN: TEORI SOSOAL EKONOMI

Standard

Latar Belakang

Teori-teori yang telah dijelaskan sejauh ini pada dasarnya berdasarkan pada psikologis dimana mereka berpendapat bahwa individu-individu memiliki kontrol terhadap hidupnya. Meskipun sebagian besar ahli teori akan setuju bahwa tingkat kontrol berbeda antara individu yang satu dan lainnya dan dari satu situasi ke situasi lainnya, mereka juga setuju bahwa proporsi bahwa individu memang memiliki kontrol dan adalah tugas konselor karir untuk meningkatkan tingkat pengarahan diri. Bimbingan karir merupakan salah satu bidang layanan yang penting dalam keseluruhan layanan bimbingan dan konseling. Bimbingan karir memfasilitasi para peserta didik mengetahui dirinya, memahami diri dan mengenal dunia kerja serta mampu membuat perencanaan karir yang baik. Dalam bimbingan karir, tentunya terdapat teori-teori yang melandasi bimbingan tersebut. Teori karir sebagian besar dikembangankan dan dijelaskan dengan sudut pandang psikologi yang mengedepankan faktor-faktor dari dalam diri individu. Namun sebenarnya ada juga teori karir yang dijelaskan dari sudut pandang yang berbeda, yaitu dari sudut pandang teori sosial. Dalam kesempatan ini akan membahas teori-teori sosioekonomi yang melihat bahwa pilihan karir adalah pengaruh dari lingkungan keluarga, status ekonomi sosial, diskriminasi, jenjang pendidikan dan sebagainya. Pendekatan inklusif ini sangat menekankan pada faktor-faktor di luar kontrol individu daripada pendekatan-pendekatan psikologis terhadap titik ini. Hal ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai bagaimana keputusan karir itu dibuat jika dilihat dari teori-teori sosioekonomi.

Teori-Teori Sosioekonomi

Teori-teori yang telah dijelaskan sejauh ini pada dasarnya berdasarkan pada psikologis dimana mereka berpendapat bahwa individu-individu memiliki kontrol terhadap hidupnya. Meskipun sebagian besar ahli teori akan setuju bahwa tingkat kontrol berbeda antara individu yang satu dan lainnya dan dari satu situasi ke situasi lainnya, mereka juga setuju bahwa proporsi individu memang memiliki kontrol dan tugas konselor karir adalah untuk meningkatkan tingkat pengarahan diri. Nilai-nilai, dan pengambilan keputusan karir adalah beberapa dari banyak variabel yang akan diteliti ketika mencoba untuk memprediksi pasar tenaga kerja atau perilaku kerja. Karena fokus sosiolog dan ekonom adalah organisasi sosial dan fokus konselor adalah konseling individu, bukan organisasi, penerapan teori-teori sosiologi dan ekonomi tidak langsung. Namun, luas memahami­ dari dunia kerja harus meningkatkan efektivitas konselor (Sharf, 2002: 334).

Berbeda dengan para psikolog, sosiolog dan ahli ekonomi cenderung memperhatikan perilaku kelompok kecil dan besar. Para sosiolog sering memfokuskan pada kelompok kecil seperti keluarga, tetapi mereka mungkin memperhatikan kelompok besar seperti wanita atau kelompok minoritas. Beberapa ahli ekonomi mungkin fokus pada kekuatan ekonomi yang mempengaruhi pengembangan karir seluruh angkatan kerja, seperti ekonomi global, apa yang disebut dengan pasar tenaga kerja ganda, atau akibat persediaan dan tuntutan pekerja mengenai gaji dan masa kerja. Secara umum, psikolog meneliti bagaimana individu dapat membentuk dan mengubah lingkungan melalui pilihan pekerjaan atau penyesuaian kerja. Sebaliknya, beberapa sosiolog dan ekonom telah menyarankan cara-cara di mana tempat kerja perubahan individu. Frame ini berbeda dari referensi dapat memberikan baru­
pemandangan ke kedua pekerja dan tempat kerja.Hotchkiss dan Borow (dalam Brown, 2007: 9) melaporkan peningkatan penekanan oleh para psikolog dan ekonom terhadap variabel-variabel struktur, seperti status ekonomi; rintangan pengembangan karir, seperti diskriminasi dan pemisahan pekerjaan; dan pertimbangan-pertimbangan pasar tenaga kerja yang mempengaruhi karir. Pendekatan inklusif ini menekankan pada faktor-faktor di luar kontrol individu dari pada pendekatan-pendekatan psikologis terhadap titik ini.

Teori Pencapaian Status

Pada awalnya, SAT mengusulkan bahwa status sosioekonomi sebuah keluarga mempengaruhi pendidikan, yang kemudian mempengaruhi pekerjaan yang dipilih. Variabel-variabel setelahnya, seperti kemampuan mental dan apa yang diistilahkan social-psychological processes, ditambahkan pada model ini. Hotchkiss dan Borrow (dalam Brown: 2007) menyarankan bahwa, sebagaimana keadaan model saat ini, asumsi dasarnya adalah status keluarga dan variabel kognitif berkombinasi melalui proses sosial-psikologis untuk mempengaruhi pencapaian pendidikan yang pada akhirnya akan mempengaruhi pencapaian pekerjaan dan penghasilan.

Teoripencapaian statusmenjelaskanaspirasikerja, sertapencapaian, sebagai hasil daristratifikasi sosial. Aspirasiterbentukpada usia diniolehpeluangatau hambatandisajikan kepadaindividu melaluifaktor-faktoreksternal sepertibias,diskriminasi, harapan budaya, sikap masyarakat, dan stereotipberdasarkan jenis kelamin,ras/etnis, dan kelas sosial. Perbedaanyang menonjolantara teoripencapaian statusdanteori-teorikarirpsikologisadalahpenekanan pada kekuatankelembagaan danpasar sebagai faktor yang mendorong atau menghambatkeputusan karier (Johnson&Mortimer, 2002).

Pilihan karir dan prestasi didasarkan pada stratifikasi sosial, stereotip, status sosial ekonomi, dan pengalaman. Individu dari status sosial ekonomi lebih tinggi bercita-cita untuk mengharapkan, dan mencapai tingkat pendidikan yang lebih tinggi dan lebih bergengsi daripada pekerjaan individu dari latar belakang yang lebih rendah (Rojewski& Kim, 2003). Orang dengan status sosial ekonomi rendah tidak memiliki akses ke sumber daya yang individu dengan status sosial ekonomi yang lebih tinggi.Beberapa sosiolog dan ekonom mengkritisi SAT karena terlalu menyederhanakan dan mencari alternatifnya. Contohnya, beberapa diantara mereka mencoba menjelaskan pencapaian pekerjaan dengan memfokuskan pada tipe perusahaan dimana individu bekerja.

Untitled-1 copy Gambar 1.1 Gambaran status keluarga dan fungsi kognitif untuk akhirnya mencapai pekerjaan

Gambar­ 3.1 menguraikan jalan prediksi terkemuka dari variabel mengenai status keluarga dan fungsi kognitif untuk akhirnya mencapai pekerjaan. Status keluarga termasuk ayah, status pekerjaan sosial ekonomi, pendapatan, dan pendidikan. Kelompok kedua variabel mengukur kinerja untuk pendidikan misalnya, skor pada tes bakat dan nilai sekolah. Variabel-variabel ini mempengaruhi proses-proses sosial-psikologis, termasuk aspirasi pendidikan dan pekerjaan remaja, jumlah orangtua dan guru dorongan untuk melanjutkan kuliah, serta rencana rekan-rekan untuk melanjutkan kuliah. Proses sosial-psikologis ini kemudian bertindak untuk memprediksi pendidikan mencapaipemerintah, diukur dengan jumlah tahun bersekolah. Tahun sekolah kemudian mengarah pada prediksi pencapaian kerja, diukur dengan tingkat status, atau prestise karir. Proses statistik yang digunakan untuk membuat kesimpulan ini dikenal sebagai analisis jalur, sebuah metode yang variabel digambarkan menunjukkan efek kausal mereka pada satu sama lain. Dalam penelitian terbaru, Wilson (dalam Sharf, 2002: 334) menekankan pentingnya bahwa pandangan seorang remaja tentang masa depannya dapat memiliki ketekunan untuk di sekolah. Tantangan bagi konselor adalah untuk memberikan dukungan dan informasi yang dapat membantu konseli proses kontra sosiologis yang dapat mengganggu penggunaan kemampuan intelektual. Teori pencapaian status tidak mengatakan bagaimana untuk melakukan hal ini. Sebaliknya, teori pencapaian status menggarisbawahi pentingnya realisasi dampak kekuatan-kekuatan sosial dan ekonomi di­pilihan karir individual. Contohnya ketika seorang konselor berurusan dengan individu dari tingkat sosial ekonomi rendah.

Teori Pasar Tenaga Kerja Ganda

Teori pasar tenaga kerja ganda mengusulkan dua tipe bisnis dalam pasar tenaga kerja: inti dan peripheral (sekeliling). Perusahaan inti memiliki pasar tenaga kerja internal yang kurang lebih memiliki jalur karir yang baik dan menawarkan kesempatan untuk meningkatkan mobilitas. Perusahaan ini memiliki peran dominan dalam pasar dimana mereka berkompetisi. Mereka menggunakan teknologi dan peralatan lain untuk meningkatkan posisi mereka di pasar. Perusahaan peripheral tidak membuat komitmen jangka panjang pada pegawai mereka. Bahkan pekerja dibayar per pekerjaan dan diusir ketika tidak lagi dibutuhkan. Para pekerja di perusahaan semacam ini hanya memiliki sedikit kesempatan untuk meningkatkan mobilitas menurut teori dan penilitian yang mendukung penilaian ini (dalam Brown: 2007).

Untuk konselor, nilai teori pasar tenaga kerja ganda adalah dalam penekanan pada faktor eksternal untuk konseli. Apakah konselor berpikir tentang pasar tenaga kerja dalam hal dua, tiga, empat, atau lebih sektor ini tidak sepenting fakta bahwa konselor harus menyadari bahwa ada perbedaan luas dalam praktik perekrutan, hubungan kerja, kemungkinan kemajuan, dan pendapatan antara kategori pekerjaan. Informasi ini sangat membantu memberi nasihat bagi mereka yang remaja, yang memulai pertemuan mereka dengan pasar tenaga kerja dan cenderung mulai dalam situasi kerja sekunder. Informasi ini dapat membantu konseli dan konselor memeriksa bagaimana untuk pindah ke yang lebih baik (primer) situasi kerja. Konselor dapat membantu remaja menyadari bahwa banyak pekerjaan (primer) tidak akan tersedia bagi mereka tanpa lebih pendidikan dan pengalaman, tetapi pengalaman yang diperoleh pada pekerjaan akan membantu mengembangkan keterampilan pribadi seperti keandalan dan kerjasama (Sharf: 2002).

Ras, Jenis Kelamin dan Karir

Para sosiolog berada di garis terdepan dalam penelitian mengenai akibat ras dan gender terhadap pencapaian pekerjaan dan pendapatan. Penelitian ini secara konsisten telah menunjukkan bahwa orang pendapatan Afrika Amerika lebih rendah dari orang kulit putih (Saunders, 1995). Data mengenai gaji pria dan wanita juga menunjukkan pola serupa, dengan pendapatan wanita secara konsisten lebih rendah dari pria (contoh Johnson & Mortimer, 2002; Reskin, 1993; Roos & Jones, 1993). Penelitian Reskin juga menunjukkan bahwa pria dan wanita sebagian besar dipisahkan di tempat kerja dengan wanita seringkali mendapatkan pekerjaan dengan pendapatan dan status yang lebih rendah.

Status dan kegunaan teori-teori Sosioekonomi. Teori-teori sosioekonomi telah dikembangkan pada praktek lebih maju. Tujuan mereka adalah untuk membantu meningkatkan pemahaman faktor-faktor sosiologis dan ekonomis pada pilihan dan pengembangan karir (Hotchkiss, Borow, 1996; Johnson & Mortimer, 2002). Teori-teori ini, dan penilitian yang berasal darinya, mengindikasikan bahwa struktur kesempatan tidak sama untuk semua kelompok. Individu adalah variabel penting dalam pemikiran sosiologis, yang terutama berkenaan dengan variabel-variabel seperti ras, etnis, prestasi akademik, dan jenis kelamin yang semuanya telah diteliti secara ekstensif. Meskipun begitu, para sosiolog cenderung untuk mempertimbangkan konteks sosial dimana seseorang tumbuh, berkembang, dan bercita-cita dibandingkan para psikolog dan konselor. Status sosial keluarga dalam hubungannya dengan pilihan pekerjaan menjadi sebuah variabel yang sangat diperhatikan para psikolog selama beberapa dekade dan ditemukan sebagai peramal yang kuat mengenai puncak pencapaian pekerjaan. Penelitian, seperti pemisahan pekerjaan wanita dan stratifikasi sosioekonomi kelompok minoritas, harus berperan untuk mengingatkan para konselor karir dan lainnya bahwa dibutuhkan usaha yang luar biasa dalam praktik dan advokasi jika terdapat permasalahan yang telah berlangsung lama.

Untuk konselor, memanfaatkan informasi tentang peran stereotip seks dan diskriminasi seks dalam hal pendapatan dan pencapaian kerja sulit. Mencari cara untuk membawa informasi tersebut ke dalam sebuah sesi konseling tanpa berlebihan dapat membuat dilema konseli. Meskipun saran sebelumnya dapat membantu, bahkan lebih mendasar dalam konseling wanita dengan masalah karir adalah pentingnya mengidentifikasi prasangka dalam diri sendiri. Karena individu yang dibesarkan dalam masyarakat yang memperlakukan pria dan wanita sangat berbeda, adalah mungkin bahwa konselor akan mengembangkan nilai-nilai sosial yang dapat mempengaruhi konseling mereka tanpa menyadarinya. Menyadari bias gender ketika itu terjadi tanpa menjadi marah dengan diri sendiri dapat berharga bagi seorang konselor. Karena peran stereotip seks begitu meresap dalam begitu banyak budaya, penting untuk waspada terhadap bagaimana nilai-nilai tersebut mempengaruhi konselor. Diharapkan konselor menyadari bias sebelum mereka mempengaruhi konseli. Kecuali konselor dapat menghilangkan bias dalam diri mereka sendiri, upaya lain untuk membantu konseli perempuan akan terbatas.

Kesimpulan

Pilihan karir dan prestasi didasarkan pada stratifikasi sosial, stereotip, status sosial ekonomi, dan pengalaman. Individu dari status sosial ekonomi lebih tinggi bercita-cita untuk , mengharapkan , dan mencapai tingkat pendidikan yang lebih tinggi dan lebih bergengsi daripada pekerjaan individu dari latar belakang yang lebih rendah. Dengan kata lain lingkungan sosialekonomi mempengaruhi pilihan karir seseorang. Posisi teoritis yang berbeda dari sosiologi dan ekonomi memberikan sudut pandang yang berbeda. Beberapa sosiolog telah mempelajari cara lingkungan mempengaruhi individu, pendekatan yang cukup berbeda dengan yang dari psikolog, yang peduli dengan individu membuat pilihan dan mempengaruhi lingkungan. Sebuah daerah banyak studi oleh sosiolog adalah teori pencapaian status yang menekankan pentingnya variabel orangtua dan aspiratif dalam pencapaian kerja. Setiap teori, serta penelitian tentang diskriminasi terhadap perempuan dan orang kulit berwarna, memberikan wawasan bahwa konselor dapat menggunakan dalam pekerjaan mereka.

 

 

Daftar Pustaka

 

Brown, D. 2007. Careerinformation, careercounseling, and careerdevelopment. Boston: Pearson education, Inc.

Johnson, M. K., & Mortimer, J. T. 2002. Career choice and development from a sociological perspective. In D. Brown & Associates (Eds.), Career choice and development (4th ed., pp. 37-81). San Francisco: Jossey-Bass.

Rojewski, J. W., & Kim, H. 2003. Career choice patterns and behavior of work-bound youth during early adolescence. Journal of Career Development, 30,89-108.

Sharf, R. S. 2002. Applying Career Development Theory to Counseling (3rd ed). Pasific Grove, CA: Brooks/Cole.

DEVELOPMENTAL THEORIES: SUPER’S LIFE SPAN (DONALD E. SUPER)

Standard

Latar Belakang

Bagi kebanyakan orang, pekerjaan merupakan bagian vital dari keberfungsian secara psikologis. Suatu pekerjaan biasanya memiliki dampak  pada kesehatan fisik dan mental  serta pada hubungan-hubungan sosial. Sebaliknya masalah-masalah di luar tempat kerja mempengaruhi produktifitas dan kepuasan seseorang dalam pekerjaan. Akibatnya, para terapis dan profesional-frofesional bantuan lainnya sering menemukan bahwa banyak masalah konseli disebabkan oleh kesulitan dalam pengambilan keputusan karier atau dalam mendapatkan pekerjaan. Begitu pula, para spesialis kariernya dihalangi oleh masalah-masalah psikologis. Teori perkembangan karir juga memiliki implikasi terhadap sejumlah isu-isu dalam perkembangan karier.

Selain itu isu-isu penting dalam perkembangan karier adalah ketidak profesional pelaku karier, dalam arti banyak pekerjaan yang digeluti tidak sesuai dengan keahlian dan pengetahuan dalam bidang-bidangnya masing-masing. Contohnya sarjana yang jadi tukang becak, banyak sarjana yang diremehkan kemampuannya dalam pengetahuan dan kertampilan sehingga tidak mampu bekerja dengan optimal. Kemudian, kesalahpahaman yang timbul adalah berpendidikan tinggi tetapi tidak memiliki pekerjaan, seperti banyaknya sarjana yang pengangguran.

Isu-isu penting lainnya seperti anggapan bahwa jika tidak berpendidikan tinggi maka tidak dapat berkarir atau dengan kata lain karier berpatokan pada jenjang pendidikan yang ditempuh seseorang, dan kemajuan dalam dunia kerja sangat tergantung pada pendidikannya. Selain itu juga hal yang bertolak belakang dari anggapan diatas adalah perkerjaan pada saat ini tidak melihat pada pengetahuan dan keahlian seseorang tapi perkerjaan ditentukan oleh oknum tertentu. Penekanannya adalah pada nepotisme, dimana suatu pekerjaan itu lebih dipentingkan orang-orang terdekat untuk memangku suatu jabatan dengan mengesampingkan pengetahuan dan keahlian yang dituntut oleh suatu bidang pekerjaan. Serta banyak pekerjaan yang tidak sesuai dengan kepribadian dan kemampuan yang dimiliki seseorang.

Biografi Donald E. Super

Donald E. Super lahir pada 10 Juli 1910 di Honolulu, Hawai. Ayahnya adalah personil spesialis, ibunya seorang penulis. Ketika ayahnya dipindahkan dari Hawai ke kantor nasional YMCA di New York, Super dan kakaknya bersekolah di sekolah dasar di Upper Montclair, New Jersey. Ketika ia berusia 12 tahun, keluarganya pindah ke Warsawa, Polandia. Selama musim dingin pertama di Polandia, Super kehilangan kakaknya karena penyakit fatal. Semenjak itu, Super mengembangkan a rational intellect dan an iron will yang menjadi mekanisme penanganan utamanya (Savickas, 1995). Ia mengandalkan sifat-sifat ini sambil bersekolah di asrama di Jenewa. Setelah lulus, ia kuliah di Oxford University dan menerima gelar BA dalam sejarah ekonomi.

Pengalamannya di Oxford dan observasinya terhadap karier ayahnya membuat Super lebih peka terhadap pentingnya kerja di kehidupan masyarakat. Super memutuskan untuk mengabdikan hidupnya untuk membantu orang menemukan pekerjaan penyesuaian (Savickas, 1995). Kerja pertama Super adalah sebagai spesialis penempatan kerja di Cleveland YMCA dan secara bersamaan mengajar di Fenn College, yang sekarang disebut Cleveland State University. Setelah dua tahun bekerja, Super menerima bantuan untuk untuk mengembangkan instansi konseling berbasis masyarakat “the Cleveland Guidance Service”. Pada saat itu, ia memutuskan untuk mendaftarkan diri di program doktor dalam bimbingan kejuruan dan psikologi yang diterapkan pada Teachers College, Columbia University. Setelah ia menyelesaikan pengumpulan data disertasinya, Super menjadi asisten profesor psikologi di Clark University. Ia menyelesaikan disertasinya pada tahun 1940. Dua tahun kemudian, ia menerbitkan Dynamics of Vocational Adjustment (Savickas, 1995).

Super memiliki beberapa buku The Psychology of Careers, Appraising Vocational Fitness by Means of Psychological Tests, Career Development: Self Concept Theory, Career Development in Great Britain, Life Roles, Values, and Career: International Findings of the Work Importance Study. The American Psychological Association (APA) memberi Super penghargaan Counseling Psychology Division’s Leona Tyler pada tahun 1980. Super mendapatkan gelar Presiden Kehormatan seumur hidup pada tahun 1983 oleh The International Association for Education and Vocational Guidance. Pada tahun 1990, ia mendapat The Teachers College Medal untuk kontribusi dalam pendidikan (Savickas, 1995).

Teori Perkembangan Karier Donald E. Super

Super mencanangkan suatu pandangan tentang perkembangan karier yang lingkupnya sangat luas, karena perkembangan jabatan itu dipandang sebagai suatu proses yang mencakup banyak faktor. Faktor tersebut sebagian terdapat pada individu sendiri dan untuk sebagian terdapat dalam lingkungan hidupnya yang semuanya berinteraksi satu sama lain dan bersama-sama membentuk proses perkembangan karier seseorang.

Unsur yang mendasar dalam pandangan Donald E. Super adalah konsep diri sehubungan dengan pekerjaan yang akan dilakukan dan jabatan yang akan dipegang (vocational self-concept). Konsep diri vokasional merupakan sebagian dari keseluruhan gambaran tentang diri sendiri. Super sering menyatakan bahwa pandangannya adalah “tersegmentasi” dari beberapa dalil teori terkait dan ia berharap munculnya teori terpadu (Brown, 2007). Pada tahun 1953, Super menghasilkan sepuluh (10) dalil. Kemudian tahun 1957, bersama Bachrach dikembangkan menjadi dua belas (12) dan tahun 1990 dikembangkan lagi menjadi empat belas (14) dalil:

  1. Setiap orang memiliki perbedaan individual dalam kemampuan, kepribadian, kebutuhan, nilai, minat, sifat, dan konsep diri. Berbagai karakteristik pribadi sangat bervariasi dalam setiap individu di antara individu.
  2. Berdasarkan karakteristik tersebut, setiap individu masing-masing memiliki kecakapan untuk sejumlah pekerjaan. Berbagai karakteristik kepribadian, dan sifat lainnya begitu luas sehingga setiap orang mempunyai kemungkinan untuk berhasil dalam banyak bidang pekerjaan.
  3. Setiap pekerjaan membutuhkan pola karakteristik kemampuan dan kepribadian yang cukup luas sehingga bagi setiap orang tersedia beragam pekerjaan dan setiap pekerjaan terbuka bagi bermacam-macam orang.
  4. Pilihan vokasional dan kompetensi, situasi-situasi di mana orang hidup dan bekerja, serta konsep diri akan mengalami perubahan karena waktu dan pengalaman, karena itu membuat pilihan pekerjaan dan penyesuaiannya merupakan suatu proses yang kontinyu.
  5. Proses perkembangan itu dapat disimpulkan dalam serangkaian tahap-tahap perkembangan kehidupan manusia, yaitu pertumbuhan, eksplorasi, pembentukan, pemeliharaan, dan kemunduran, dan dibagi lagi menjadi: (a) fantasi, fase tentatif, dan realistis dari tahap eksplorasi dan (b) fase uji coba (trial) dan fase stabil (stable) dari tahap pembentukan.
  6. Pola karier seseorang ditentukan oleh tingkat sosial ekonomi orangtua, kemampuan mental, pendidikan, keterampilan, karakteristik kepribadian (kebutuhan, nilai, kepentingan , sifat, dan konsep diri), dan kematangan karier serta kesempatan yang terbuka bagi dirinya.
  7. Keberhasilan dalam menghadapi tuntutan lingkungan dan organisme
    dalam konteks pada setiap tahap kehidupan karir yang diberikan tergantung pada kesiapan individu untuk mengatasi tuntutan tersebut.
  8. Kematangan karier adalah konstruksi hipotetis.
  9. Perkembangan orang dalam melewati tahap-tahap dapat dipandu dengan bantuan untuk pematangan kemampuan dan minat dan dengan bantuan untuk melakukan uji realitas (reality-testing) serta untuk mengembangkan konsep diri (self-concept).
  10. Proses perkembangan karier pada dasarnya adalah pengembangan dan implementasi konsep diri. Konsep diri adalah perpaduan antara kemampuan dasar yang diwariskan, kesempatan untuk memainkan berbagai peranan dirinya, dan evaluasi atau penilaian orang lain terhadap usaha memainkan peranan tersebut.
  11. Proses kompromi antara faktor individu dan sosial, antara konsep diri dan realitas, adalah permainan peranan dalam berbagai latar dan keadaan (pribadi, kelompok, pergaulan, hubungan kerja).
  12. Kepuasan kerja dan kepuasan hidup tergantung pada sejauh mana individu dapat menyalurkan kemampuan, nilai, minat, karakter kepribadian, dan konsep dirinya. Selain itu, bergantung usaha pada jenis pekerjaan, situasi kerja, dan cara hidup di mana individu bisa memainkan jenis peran pertumbuhan, dan eksplorasi pengalaman.
  13. Tingkat kepuasan yang diperoleh dari pekerjaan itu selaras dengan penerapan konsep diri.

Bekerja dan pekerjaan merupakan titik pusat organisasi kepribadian bagi kebanyakan orang, sedangkan bagi segolongan orang lagi yang menjadi titik pusat adalah hal lain, misalnya pengisian waktu luang dan kerumahtanggaan.

Tahapan Perkembangan Karier

Super mengusulkan gagasan bahwa orang berusaha untuk menerapkan konsep dirinya dengan memilih untuk masuk pekerjaan dianggap yang paling mungkin untuk memungkinkan ekspresi diri (Sharf, 1992). Pilihan karier adalah soal mencocokkan (matching). Di dalam irama hidup orang, terjadi perubahan-perubahan dan ini berpengaruh pada usahanya untuk mewujudkan konsep diri itu. Teori perkembangan menerima teori matching (teori konsep diri), tetapi memandang bahwa pilihan kerja itu bukan peristiwa yang sekali terjadi dalam hidup seseorang. Orang dan situasi lingkungannya berkembang, dan keputusan karier itu merupakan rangkaian yang tersusun atas keputusan yang kecil-kecil.

SuperGambar 1.1 Tahapan perkembangan karier Donald E. Super

a.  Tahap Pertumbuhan (Growth): 0 – 14 tahun

Adanya pertumbuhan fisik dan psikologis, pada tahap ini individu mulai membentuk sikap dan mekanisme tingkah laku yang kemudian akan menjadi penting dalam konsep dirinya. Bersamaan dengan itu, pengalaman memberikan latar belakang pengetahuan tentang dunia kerja yang akhirnya digunakan dalam pilihan pekerjaan mulai yang tentatif sampai dengan final.

b.  Tahap Eksplorasi (Exploratory): 15 – 24 tahun

Dimulai sejak individu menyadari bahwa pekerjaan merupakan suatu aspek dari kehidupan manusia. Pada awal masa ini atau masa fantasi, individu menyatakan pilihan pekerjaan sering kali tidak realistis dan sering erat kaitannya dengan kehidupan permainannya.

c.  Tahap Pembentukan (Establishment): 25 – 44 tahun

Berkaitan dengan pengalaman seseorang pada saat mulai bekerja, pada masa ini individu dengan cara mencoba-coba ingin membuktikan apakah pilihan dan keputusan pekerjaan yang dibuat pada masa eksplorasi benar atau tidak. Sebagian masa ini adalah masa try-out. Individu mungkin menerima pekerjaan dengan perasaan pasti bahwa ia akan mengganti pekerjaan jika merasa tidak cocok. Apabila ternyata individu mendapat pengalaman yang positif atau keuntungan dari suatu pekerjaan, pilihannya menjadi mantap, dan dia akan memasukkan pilihan pekerjaan itu sebagai aspek dari konsep dirinya serta kesempatan terbaik untuk mendapatkan kepuasan kerja.

d.  Tahap Pemeliharaan (Maintenance): 45 – 64 tahun

Individu berusaha untuk meneruskan atau memelihara situasi pekerjaan. Pekerjaan yang dilakukan dan konsep diri (self-concept) mempunyai hubungan yang erat. Keduanya terjalin oleh proses perubahan dan penyesuaian yang kontinyu. Pada intinya individu berkepentingan untuk melanjutkan aspek-aspek pekerjaan yang memberikan kepuasan, dan merubah atau memperbaiki aspek-aspek pekerjaan yang tidak menyenangkan, tetapi tidak sampai individu itu meninggalkan pekerjaan tersebut untuk berganti dengan pekerjaan yang lain.

e.  Tahap Kemunduran (Decline): di atas 65 tahun

Tahap menjelang berhenti bekerja (preretirement). Pada tahap ini perhatian individu dipusatkan pada usaha bagaimana hasil karyanya dapat memenuhi persyaratan out-put atau hasil yang minimal sekalipun. Individu lebih memperhatikan usaha mempertahankan prestasi kerja daripada upaya meningkatkan prestasi kerjanya.

Menurut Super (dalam Osipow, 1983) tugas perkembangan vokasional meliputi:

a.  Kristalisasi (Crystallization): 14 – 18 tahun

Kristalisasi dari preferensi vokasional mengharuskan individu untuk merumuskan ide-ide tentang pekerjaan yang sesuai untuk dirinya sendiri. Hal ini juga mensyaratkan perkembangan pekerjaan dan konsep diri yang akan membantu memediasi pilihan vokasional yang bersifat sementara individu dengan cara pengambilan keputusan pendidikan yang relevan. Sementara tugas kristalisasi dapat terjadi pada semua usia, demikian juga semua tugas perkembangan vokasional, biasanya terjadi selama 14-18 tahun.

b.  Spesifikasi (Specification): 18-21 tahun

Spesifikasi dari preferensi vokasional. Di sini, individu diharuskan untuk mempersempit arah karier umum menjadi satu tertentu dan mengambil langkah yang diperlukan untuk melaksanakan keputusan tersebut.

c.  Pelaksanaan (Implementation): 21-25 tahun

Tugas vokasional ketiga adalah pelaksanaan preferensi vokasional. Tugas ini mengharuskan individu untuk menyelesaikan beberapa pelatihan dan mulai bekerja yang relevan. Yang dibutuhkan sikap dan perilaku untuk panggilan tugas, pengakuan individu akan kebutuhan berguna untuk merencanakan pelaksanaan preferensi dan pelaksanaan rencana ini.

d.  Stabilisasi (Stabilization): 25-35 tahun

Stabilisasi adalah tugas perkembangan karier yang keempat. Tugas ini diwakili oleh perilaku menetap dalam bidang pekerjaan dan penggunaan bakat seseorang sedemikian rupa untuk menunjukkan kesesuaian keputusan karier buat sebelumnya. Hal ini bisa diduga bahwa perubahan posisi individu selama periode stabilisasi ada tapi jarang perubahan pekerjaan. Sikap yang diperlukan dan perilaku sangat serupa dengan tugas-tugas pelaksanaan dan stabilisasi.

e. Pengakaran (Consolidation)

Sesudah umur 35 tahun sampai masa pensiun yang bercirikan mencapai status tertentu dan memperoleh senioritas.

f. Readiness for Retirement: 55 tahun ke atas

Tahap ini adalah tahap di mana individu memiliki kesiapan untuk pensiun.

Status dan Aplikasi Teori Perkembangan Karier

Pada saat kematiannya pada tahun 1994, Super telah menulis hampir 200 artikel, buku, dan publikasi lainnya. Murid-muridnya dan lain-lain juga telah memberikan puluhan kontribusi terhadap literatur professional yang distimulasi oleh teorinya. Menurut pengakuannya, teori Super tidak dibangun dengan baik karena berbagai segmen tidak mengukuhkan bersama-sama. Ini mungkin adalah alasan bahwa banyak studi penelitian dirangsang fokus pada beberapa konstruksi (misalnya, kematangan karier) yang terdapat dalam teori tetapi bertentangan dengan pengujian asumsi secara langsung.

Salah satu ciri teori Super adalah aplikasi kepedulian untuk konseling tentang masalah pekerjaan dan pribadi. Super beralasan bahwa meskipun konsep diri cenderung menjadi fungsi dari pengaruh genetik pada faktor fisik, seperti struktur kelenjar, dan faktor psikologis, seperti bakat, ia beroperasi dalam kombinasi dengan variabel lingkungan, seperti kondisi sosial dan ekonomi. Dengan demikian, suatu bagian tertentu dari konsep diri terbuka terhadap intervensi luar. Intervensi seperti ini mungkin yang paling efektif dalam membentuk konsep diri selama masa remaja awal, karena konsep tumbuh lebih stabil selama masa remaja dan dewasa. Konselor, dengan demikian, memiliki akses ke anak-anak selama tahun perkembangan terbesar dari konsep diri.

Aplikasi Teori Super dalam Bimbingan Konseling di Sekolah

Bimbingan karier merupakan salah satu layanan bimbingan yang berusaha memberikan bantuan kepada peserta didik untuk memecahkan masalah penyesuaian diri dan pemecahan masalah karier yang dihadapi. Pada program bimbingan dan konseling komprehensif, bimbingan karier terdapat dalam perencanaan individual yaitu layanan yang diberikan konselor untuk membantu peserta didik dalam mempersiapkan diri memasuki masyarakat yang lebih kompleks.

Teori Super (1990) memiliki sejumlah aplikasi. Sebagai contoh, telah digunakan sebagai kerangka kerja untuk program perkembangan karier untuk anak-anak dan remaja. Pertumbuhan adalah tahap perkembangan untuk sekolah menengah dan dipecah menjadi rasa ingin tahu, fantasi, minat, dan kapasitas (berfokus pada kemampuan). Tahap eksplorasi dimulai pada sekitar usia 14 dan berlanjut sampai usia 18, pada saat pilihan yang mengkristal. Tahap ini jelas perkiraan, tetapi mereka dapat berguna saat merancang program pengembangan karier.

Teori ini juga dapat digunakan sebagai dasar untuk konseling karier. Tujuan dari proses konseling karier akan menjadi perkembangan kematangan karier, yang dapat dipecah menjadi beberapa komponen yang diukur oleh Inventori Pengembangan Karier (CDI) (Super, Thompson, Jordaan, & Myers, 1984). Ini adalah:

  1. Perencanaan karier (CP). Kematangan karier individu secara aktif terlibat dalam proses, perencanaan dan menganggap diri mereka menjadi begitu terlibat. Skala perencanaan karier adalah skala yang efektif yang mengungkapkan bagaimana orang menganggap diri mereka dalam kaitannya dengan proses perencanaan.
  2. Eksplorasi karier (CE). Kematangan individu berhubungan dengan kesediaan klien untuk terlibat dalam karier eksplorasi, yaitu kesediaan mereka untuk menggunakan bahan. Skala ini dikombinasikan dengan skala CP untuk menghasilkan sikap pengembangan karier (CDA) skala.
  3. Pengambilan keputusan (DM). Kematangan karier individu mengetahui bagaimana membuat keputusan dan memiliki keyakinan pada kemampuan untuk melakukannya.
  4. Informasi dunia kerja (WWI). Komponen yang paling jelas dari skala ini melibatkan informasi yang akurat memiliki tentang pekerjaan. Super percaya bahwa para pengambil keputusan harus memiliki beberapa pengetahuan tentang waktu, perkembangan berbicara, di mana orang harus memperoleh informasi penting tentang pekerjaan.
  5. Pengetahuan tentang pekerjaan yang disukai (PO). Setelah, CDI, 20 orang memilih pekerjaan dan menjawab pertanyaan tentang pekerjaan dan kualifikasi yang diperlukan untuk memasukkan pekerjaan tertentu.
  6. Orientasi karier (COT). COT adalah skor total pada CDI, dengan pengecualian dari PO. Dalam arti ini dapat dianggap sebagai ukuran global kematangan karier.

The Career Maturity Inventory (CMI) juga mengukur kesiapan untuk membuat keputusan karir dan jumlah pengetahuan yang dibutuhkan untuk membuat keputusan itu (Crites & Savickas, 1995). CMI dapat digunakan untuk membimbing konseli dalam proses pengambilan keputusan.

  1. CP. Bagaimana Anda menilai kemampuan Anda untuk membuat rencana masa depan pada skala 1 sampai 10? Seberapa jauh sepanjang Anda dalam perencanaan karir Anda?
  2. CP. Apakah Anda tinggal di masa lalu, fokus pada masa sekarang, atau rencana untuk masa depan? Mengapa Anda menilai diri Anda seperti yang Anda lakukan?
  3. CE. Perkirakan berapa kali Anda telah mencari informasi tentang karier dari 1) berbicara dengan orang, 2) membaca informasi pekerjaan, 3) sumber-sumber online tentang informasi tentang pekerjaan, atau 4) konsultasi sumber informasi lain tentang pekerjaan.
  4. PO. Berapa banyak informasi yang Anda miliki tentang pilihan pekerjaan Anda saat ini? Apa karakteristik yang dibutuhkan oleh para pekerja yang sukses dalam pekerjaan tersebut dan bagaimana hal tersebut cocok dengan karakteristik Anda sendiri?
  5. DM. Beri Anda kemampuan untuk membuat pilihan yang bijaksana kerja pada skala 1 sampai 10. Jelaskan proses Anda mengikuti saat terakhir Anda membuat keputusan besar.

Pelaksanaan bimbingan karier di sekolah dasar ialah sebagai upaya membantu siswa untuk mengenal dirinya sendiri dan mengoptimakan potensi yang dimiliki, sehingga siswa mampu untuk mengenal dirinya sendiri dan mengoptimalkan potensi yang dimiliki, sehingga siswa mampu mengidentifikasi serta dapat belajar dalam membuat pilihan dan memutuskan sesuatu.

Dilaksanakan bimbingan karir disekolah dasar ialah membantu siswa untuk mengidentifikasi perasaan suka, tidak suka, mengetahui minat, dapat menggambarkan peran diri dalam setiap posisi kehidupan, berpikir positif tentnag diri serta mengembangkan cita-cita yang ingin dicapai pada masa yang akan datang. Bimbingan dan konseling memfasilitasi siswa untuk memahami dan menerima agar siswa memiliki konsep diri yang utuh dalam berhubungan dengan orang lain serta mendapatkan pengalaman dan peluang dalam mengambil keputusan. Selain itu, bimbingan karier juga menciptakan lingkungan belajar yang efektif bagi siswa.

Kelebihan dan Kelemahan Teori Super

Kelebihan teori ini terletak pada kemampuan individu untuk mewujudkan konsep diri dalam suatu bidang jabatan yang paling diinginkan untuk mengekspresikan diri sendiri dan juga berkaitan dengan pilihan terhadap peran yang dimiliki. Tersedianya kesempatan untuk mengambil keputusan sepanjang hidup.

Sedangkan kelemahannya, adalah seseorang yang tidak mempunyai konsep diri yang positif akan sulit untuk mewujudkan dirinya pada suatu bidang pekerjaan dan bila perkembangan melalui tahap kehidupan tidak mendapat bimbingan dan arahan akan mendapat kesulitan bagi individu mengembangkan konsep diri dan potensi yang dimiliki.

Hasil-Hasil Penelitian

Teori awal berfokus pada apa yang dianggap sebagai perbedaan antara pengembangan karir pria dan wanita. Super (1957) telah lama khawatir tentang pengembangan karir perempuan, teori lain telah lebih terfokus secara khusus pada isu-isu gender dalam pengembangan karir. Gottfredson (1981) telah berurusan dengan efek peran stereotip seks pada pilihan karir, yang dapat terjadi di awal tahun sekolah dasar. Banyak peneliti telah mendokumentasikan dampak dari peran seks stereotip pada pilihan karir pria dan wanita. Wanita dewasa berkaitan dengan pilihan tentang pernikahan dan anak-anak yang menjadikannya masalah karier yang lebih bervariasi dibandingkan laki-laki. Selama masa kerja mereka, wanita mungkin mengalami krisis karier yang lebih sering daripada laki-laki: diskriminasi, gangguan akibat peningkatan anak, dan pelecehan seksual.

Savickas (2001) dalam hasil penelitiannya menyatakan bahwa teori Super berguna dalam beragam budaya dan negara. Hampir semua orang memiliki keputusan karier, mengatasi tugas perkembangan dan harapan masyarakat tentang bagaimana mereka harus hidup, dan membangun pola hidup. Teori “white bread” juga berhubungan dengan Teori Super. Sharf (2002) meringkas penelitian tentang kematangan karier dari Afrika Amerika dan menyimpulkan bahwa mereka cenderung lebih rendah dalam kematangan karir daripada orang kulit putih. Namun, merangsang kematangan karir, seperti yang didefinisikan oleh Super, dan membantu konseli mengembangkan dan menerapkan konsep diri tampaknya cocok untuk sebagian besar kelompok. Leong dan Serifica (1995) mempertanyakan penerapan ide-ide Super untuk siswa Amerika-Asia karena mereka lebih cenderung memiliki ketergantungan gaya pengambilan keputusan. Perlu ditambahkan bahwa gaya pengambilan keputusan adalah khas bagi individu.

Okoye (2013) berdasarkan hasil penelitiannya menyatakan bahwa teori Super tidak manjur dalam masyarakat Nigeria. Hasil riset menemukan bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan terhadap self-esteem pada dunia pekerjaan. Hal tersebut berarti bahwa Teori Super tidak berlaku pada remaja di Nigeria.

Kesimpulan

Super mencanangkan suatu pandangan tentang perkembangan karier yang berlingkup sangat luas, karena perkembangan jabatan itu dipandang sebagai suatu proses yang mencakup banyak faktor. Faktor tersebut untuk sebagian terdapat pada individu sendiri dan untuk sebagian terdapat dalam lingkungan hidupnya yang semuanya berinteraksi satu sama lain dan bersama-sama membentuk proses perkembangan karier seseorang. Pilihan jabatan merupakan suatu perpaduan dari aneka faktor pada individu sendiri seperti kebutuhan, sifat-sifat kepribadian, serta kemampuan intelektual, dan banyak faktor di luar individu, seperti taraf kehidupan sosial-ekonomi keluarga, variasi tuntutan lingkungan kebudayaan, dan kesempatan/kelonggaran yang muncul. Titik berat dari hal-hal tersebut diatas terletak pada faktor-faktor pada individu sendiri. Unsur yang mendasar dalam pandangan Super adalah konsep diri atau gambaran diri sehubungan dengan pekerjaan yang akan dilakukan dan jabatan yang akan dipegang (vocational self-concept) yang merupakan sebagian dari keseluruhan gambaran tentang diri sendiri.

Pandangan Super mengandung beberapa implikasi bagi pendidikan karier dan konseling karier yang sangat relevan. Konsepsi Super tentang gambaran diri dan kematangan vokasional menjadi pegangan bagi seorang tenaga kependidikan bila merancang program pendidikan karier dan bimbingan karier, yang membawa orang muda ke pemahaman diri dan pengolahan informasi tentang dunia kerja, selaras dengan tahap perkembangan karier tertentu.

 

DAFTAR RUJUKAN

 

Brown, D. 2007. Career Information, Career Counseling, and Career Development. 9th Ed. Boston: Pearson Education, Inc.

Crites, J. D., & Savickas, M. L. 1995. Career Maturity Inventory. Odgenburg, NY: Careerware.

Gottfredson, L. S. 1981. Circumscription and Compromise: a Developmental Theory of Occupational Aspirations. Journal of Counseling Psychology, 28: 545-579.

Leong, F. T. L., & Serifica, F. C. 1995. Career Development and Vocational Behavior of Ethnic and racial Minorities. Mahwah, NJ: Erlbaum.

Okoye. 2013. T he Relative Efficacy of Donald Super’s Theory on Adolescents’ Career Choice in Lagos Metropolis.Journal of Emerging Trends in Educational Research and Policy Studies (JETERAPS), 4(1): 34-37.

Osipow, S.H. 1983. Theories Of Career Development. 3rd Ed. New Jersey: Prentice-Hall International Inc.

Savickas, Mark L. 1995. Donald E. Super (1910-1994). Journal American Psychologist, 50 (9): 794-795.

Savisckas, Mark L. 2001. A Developmental Perspective on Vocational Behaviour: Career Patterns, Salience, and Themes.Journal for Educational and Vocational Guidance, 1: 49–57.

Sharf, R. S. 1992. Applying Career Development Theory to Counseling. USA: Brooks/Cole Publisihing Company.

Super, D. S. 1957. The Psychology of Careers. New York: Harper & Row.

Super, D. E., Thompson, A. S., Jordaan, J. P., & Myers, R. 1984. Career Development Inventory. Palo Alto, CA: Consulting Psychologist Press.

Super, D. E., 1990. A Life-span, Life-space Approach to Career Development. San Francisco: Jossey-Bass.

SOLUTION FOCUS BRIEF COUNSELING

Standard

NAMA PENDEKATAN

Nama pendekatan konseling yang dibahas dalam makalah ini adalah Solution Focus Brief Counseling (SFBC) atau Solution Focus Brief Therapy (SFBT).

 

SEJARAH PERKEMBANGAN

Seperti namanya, ini adalah tentang terapi yang singkat dan berfokus pada solusi, bukan pada masalah. Ketika ada masalah, banyak profesional menghabiskan banyak waktu berpikir, berbicara, dan menganalisis permasalahan, sementara penderitaan yang dialami konseli sedang berlangsung. Terpikir tim profesional kesehatan mental di pusat terapi singkat keluarga yang begitu banyak waktu dan energi, serta sumber daya banyak, dihabiskan untuk berbicara tentang masalah, daripada berpikir tentang apa yang mungkin membantu konseli untuk mendapatkan solusi yang akan membawa pada realistis, bantuan wajar secepat mungkin. Oleh karena itulah muncul terapi singkat berfokus solusi.

Terapi singkat berfokus solusi adalah salah satu pendekatan keluarga, yang dikenal sebagai terapi sistem, yang telah dikembangkan selama 50 tahun terakhir ini, pertama di Amerika Serikat, dan akhirnya berkembang di seluruh dunia, termasuk Eropa. Terapi singkat berfokus solusi disebut hanya sebagai “terapi berfokus solusi (TBS)” atau “terapi singkat”.

Pelopor terapi singkat berfokus solusi adalah Insoo Kim Berg dan Steve de Shazer, serta praktisi konseling singkat berfokus solusi berbasis sekolah dan ahli lainnya. Kita terfokus kepada segi-segi pokok dari teori konseling singkat berfokus solusi, khususnya cara dimana para praktisi berfokus solusi berpikir tentang perubahan, kapasitas konseli, dan sifat resistensi konseli.

Sejak diciptakan pada tahun 1980-an, terapi singkat berfokus solusi (konseling singkat berfokus solusi) perlahan-lahan telah menjadi sebuah pilihan perlakuan yang umum dan diterima bagi beberapa ahli kesehatan jiwa. Dengan penekanannya terhadap kekuatan konseli dan pengobatan jangka pendek, konseling singkat berfokus solusi akan tampak sangat sesuai dengan konteks kesehatan mental (jiwa), dengan berbagai masalah yang timbul di lingkungan sekolah dan muatan kasus yang besar untuk sebagian besar pekerja sosial sekolah (guru BK di sekolah).

Salah satu gagasan yang lebih bebas tentang konseling singkat berfokus solusi adalah bahwa perubahan selalu terjadi, dan menuntut agar perhatian konselor terfokus kepada perubahan-perubahan kecil yang membuat perbedaan-perbedaan besar dalam kehidupan konseli. Apa yang konselor lakukan dengan perubahan-perubahan kecil yang kadang-kadang sulit untuk dilihat adalah apa yang membuat konselor menjadi konselor konseling singkat berfokus solusi. Hal ini membuat konselor bergerak menuju konseling yang lebih berfokus kepada solusi dalam pendekatan-pendekatan mereka terhadap masalah-masalah yang mereka hadapi.

 

HAKIKAT MANUSIA

Terapi singkat berfokus solusi didasarkan pada asumsi yang optimistik bahwa manusia itu sehat dan kompeten serta memiliki kemampuan untuk membangun solusi yang dapat meningkatkan hidupnya. Lepas dari berbentuk seperti apapun konseli yang terlibat dalam terapi adalah mampu. Konseli adalah kompeten dan peran konselor adalah membantu konseli agar menyadari bahwa ia mempunyai kemampuan itu. Proses terapi menyediakan suatu keadaan yang menjadikan individu memfokuskan diri pada pemulihan dan penciptaan solusi ketimbang membicarakan problem mereka.

Sering konseli datang ke terapis/konselor, orientasinya ia dalam keadaan bermasalah kendatipun dia memiliki beberapa solusi, tetapi pandangan mereka telah berbalut dalam kekuatan orientasi masalah. Konseli sering memiliki satu riwayat yang berakar dalam pandangan mereka. Konseling singkat berfokus solusi membalas kehadiran konseli dengan percakapan yang optimistik yang memberikan garis-garis besar keyakinan mereka ke dalam tujuan yang dapat digunakan dan dicapai yang ada di sekitar ruangan. Konselor menjadi alat di dalam membantu orang dalam melakukan perpindahan dari suatu keadaan bermasalah ke suatu dunia yang memiliki berbagai kemungkinan. Konselor mendorong dan menantang konseli untuk menulis suatu cerita yang berbeda yang dapat mengarah kepada suatu tujuan baru.

PERKEMBANGAN PERILAKU

Struktur Kepribadian

Struktur  kepribadian manusia berdasarkan teori konseling singkat berfokus solusi adalah sebagai berikut.

  1. Konseling singkat berfokus solusi tidak menggunakan teori kepribadian dan psikopatologi yang ada saat ini.
  2. Konselor tidak bisa memahami secara pasti tentang penyebab masalah individu.
  3. Konselor perlu tahu apa yang membuat orang memasuki masa depan yang lebih baik dan sehat, yaitu tujuan yang lebih baik dan sehat.
  4. Individu tidak bisa mengubah masa lalu, tetapi bisa mengubah tujuannya.
  5. Tujuan yang lebih baik dapat mengatasi masalah dan mengantarkan masa depan yang lebih produktif.
  6. Konselor perlu mengetahui karakteristik tujuan konseling yang baik dan produktif, proses positif, saat ini, praktis, spesifik, kendali konseli dan bahasa konseli.
  7. Sebagai ganti teori kepribadian dan psikopatologi, masalah dan masa lalu, konseling singkat berfokus solusi berfokus pada saat ini yang dipandu oleh tujuan positif  yang spesifik yang dibangun berdasarkan bahasa konseli dan dibawah kendalinya.

Pribadi Sehat dan Bermasalah

Pribadi sehat berdasarkan konseling singkat berfokus solusi adalah sebagai berikut:

  1. Manusia pada dasarnya kompeten, memiliki kapasitas untuk membangun, merancang/merekonstruksikan solusi-solusi sehingga mampu menyelesaikan masalahnya.
  2. Tidak berkutat pada masalah, tetapi fokus pada solusi dan bertindak mewujudkan solusi yang diinginkan.

Sedangkan pribadi bermasalah menurut konseling singkat berfokus solusi adalah sebagai berikut:

  1. Mengkonstruk kelemahan diri. Dengan cara mengkonstruk cerita yang diberi label “masalah” dan meyakini bahwa ketidakbahagiaan berpangkal pada dirinya.
  2. Berkutat pada masalah dan merasa tidak mampu  menggunakan solusi yang dibuatnya.

 

HAKIKAT KONSELING

Konseling berfokus solusi sebagai model yang menerangkan bagaimana orang berubah dan bagaimana mereka dapat meraih tujuan mereka. Berikut ini beberapa asumsi dasar konseling singkat berfokus solusi:

  1. Individu-individu yang datang konseling telah mempunyai kemampuan berperilaku efektif, meskipun keefektifan tersebut mungkin untuk sementara terhambat oleh pikiran negatif. Pikiran berfokus masalah mencegah orang dari mengenali cara efektif mereka dalam menangani masalah.
  2. Ada  keuntungan untuk fokus positif pada solusi dan di masa depan. Jika konseli dapat mereorientasi diri mereka dengan mengarahkan kekuatan mereka menggunakan “solution-talk”, merupakan suatu kesempatan bagus dalam konseling singkat.
  3. Proses konseling diorientasikan pada peningkatan kesadaran eksepsi (harapan-harapan yang  menyenangkan) terhadap pola masalah yang dialami dan pemilihan proses perubahan.
  4. Konseli sering mengatakan satu sisi dari diri mereka. Konseling singkat berfokus solusi mengajak konseli untuk memerika sisi lain dari cerita hidupnya yang disampaikan.
  5. Perubahan kecil membuka jalan bagi perubahan besar. Seringkali, perubahan kecil adalah semua yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah yang dibawa konseli ke konseling.
  6. Konseli ingin berubah, memiliki kemampuan untuk berubah, dan melakukan yang terbaik untuk membuat perubahan terjadi. Konseli harus mengambil sikap kooperatif dengan konseli daripada merancang strategi sendiri untuk mengendalikan  hambatan. Ketika konselor mencari cara untuk kooperatif dengan konseli, maka perlawanan/resistensi tidak akan terjadi.
  7. Konseli bisa percaya pada niat mereka untuk menyelesaikan masalah mereka. Tidak ada solusi yang “benar” untuk masalah spesifik yang dapat diaplikasikan pada semua orang. Setiap individu unik dan begitu juga pada setiap penyelesaian masalahnya.

 

KONDISI PENGUBAHAN

Bertolino dan O’Hanlon menekankan pentingnya membuat kolaborasi  hubungan terapeutik  dan  perlu dilakukan untuk keberhasilan konseling. Diakui bahwa konselor memiliki keahlian dalam  menciptakan konteks untuk perubahan, mereka menekankan bahwa konseli adalah ahli dalam kehidupan mereka dan sering memiliki perasaan yang bagus tentang apa yang harus dan tidak harus dilakukan di masa lalu dan begitu juga apa yang mungkin dilakukan di masa depan. SFBC mengasumsikan  pendekatan kolaboratif dengan konseli berbeda dengan sikap edukatif yang biasanya dikaitkan dengan model terapi tradisional. Jika konseli terlibat dalam proses terapeutik dari awal sampai akhir, perubahan  meningkat sehingga konseling akan sangat berhasil. Singkatnya, hubungan kolaborasi dan kooperatif  cenderung lebih efektif dari pada hubungan hierarki dalam konseling.

Tujuan

Tujuan dari terapi singkat berfokus solusi adalah sebagai berikut:

  1. Mengubah perilaku yang tidak sehat menjadi sehat.
  2. Mengantar konseli/manusia meraih kehidupan yang lebih sehat dan lebih bahagia baik masa kini maupun ke masa depan.
  3. Membantu konseli mengidentifikasi perubahan-perubahan yang diinginkan konseli, terjadi di dalam kehidupan mereka dan terus terjadi.
  4. Membantu konseli membangun visi yang dipilih untuk masa depan mereka.
  5. Membantu konseli mengidentifikasi hal-hal yang baik untuk kehidupan mereka saat ini dan ke masa depan.
  6. Membantu konseli membawa kesuksesan sekecil apapun ke dalam kesadaran mereka.
  7. Membantu konseli untuk mengulang keberhasilan yang pernah mereka lakukan.
  8. Pengubahan pandangan mengenai situasi atau kerangka berpikir, pengubahan cara menghadapi situasi problematik, dan merekam sumber-sumber dan kekuatan konseli.
  9. Adanya keterlibatan dalam pemberian bantuan konseli untuk menerima pergantian bahasa dan penyikapan dari bicara tentang masalah ke bicara tentang solusi. Konseli didorong untuk terlibat dalam perubahan atau bicara solusi daripada bicara masalah/problem, dengan asumsi bahwa apa yang kita katakana kebanyakan akan menjadi apa yang kita hasilkan. Bicara tentang masalah akan menghasilkan masalah berikutnya. Bicara tentang perubahan akan menghasilkan perubahan. Begitu individu/konseli itu belajar berbicara dalam pengertian apa yang mereka mampu untuk lakukan secara baik, sumber-sumber dan kekuatan apa yang mereka punyai, dan apa yang mereka telah lakukan dan bisa terlaksana, mereka telah mencapai tujuan utama terapi.

Sikap, Peran dan Tugas Konselor

Sikap, peran, dan tugas konselor dalam terapi singkat berfokus pada solusi adalah:

  1. Mengidentifikasi dan memandu konseli mengeksplorasi kekuatan-kekuatan dan kompetensi yang dimiliki konseli
  2. Membantu konseli mengenali dan membangun perkecualian-perkecualian pada masalah, yaitu saat-saat ketika konseli telah melakukan (memikirkan, merasakan) sesuatu yang mengurangi atau membatasi dampak masalah
  3. Melibatkan konseli untuk berpikir tentang masa depan mereka dan apa yang mereka inginkan yang berbeda di masa depan
  4. Konselor mengambil posisi “tidak mengetahui” untuk meletakkan konseli pada posisi sebagai ahli mengenai kehidupan mereka sendiri. Konselor tidak mengasumsikan diri sebagai ahli yang mengetahui tindakan dan pengalaman konseli
  5. Membantu konseli dalam mengarahkan perubahan tetapi tidak mendikte konseli apa yang ingin diubah
  6. Konselor berusaha membentuk hubungan yang kolaboratif dan menciptakan suatu iklim yang respek, saling menghargai dan membangun suatu dialog yang bisa menggali konseli untuk mengembangkan kisah-kisah yang mereka pahami dan hayati dalam kehidupan mereka
  7. Konsisten dalam membantu konseli berimajinasi bagaimana mereka menginginkan hal yang berbeda dan apa yang akan dilakukan untuk membawa perubahan tersebut terjadi dengan menanyakan “apa yang Anda inginkan dari datang kesini?”, “apa yang akan membuat perbedaan untukmu?” dan “apa kemungkinan-kemungkinan yang Anda tandai bahwa perubahan yang Anda inginkan terjadi?”.

Sikap, Peran dan Tugas Konseli

Sikap, peran, dan tugas konseli dalam konseling singkat berfokus solusi adalah:

  1. Mau dan mampu berkolaborasi dengan konselor
  2. Aktif terlibat dalam  proses konseling
  3. Memiliki motivasi untuk menyelesaikan masalah

Situasi Hubungan

Karena terapi berfokus solusi dirancang untuk perlangsungan singkat,tak pelak terapis memainkan peran lebih aktif dalam menggeser fokus secepat mungkin, dari fokus yang tercurah ke problem fokus yang tercurah ke solusi. Strategi relasiaonal mendasar difungsikan untuk memicu prakarsa konseli, membantu konseli menumbuhkembangkan tanggung jawab (kemampuan merespon atau response ability) mereka dan menggunakan kemampuan merespon itu dengan lebih baik. Begitu konseli bisa berfokus pada solusi, dia pun akan banyak bisa memegang kendali dan bertanggung jawab.

Konseli pada dasarnya adalah ahli (expert) yang paling mengetahui tujuan-tujuan apa yang ingin mereka bangun. Tujuan-tujuan itu selalu unik bagi setiap konseli dan dibangun konseli untuk menciptakan hari depan yang lebih baik. Sedangkan klinikus berfokus solusi adalah pakar tentang proses dan struktur teraapi,pakar dalam membantu konseli membangun tujuan-tujuan mereka dalam kerangka kerja yang lebih baik menghasilkan solusi yang sukses. Setiap pakar yaitu konseli dan terapis memberikan andil untuk penumbuhkembangan solusi bersama. Relasi terapis dengan konseli ditujukan untuk meraih suatu manfaat atau tujuan. Konseli datang ke terapi karena suatu alasan dan ingin mencapai suatu manfaat dan tujuan. Kedua kolaborator (konseli dan terapis) perlu membuat kriteria kemajuan atau keberhasilan pencapaian tujuan, sehingga mereka pun bisa mengakhiri terapi paada waktu yang tepat.Berdasarkan uraian tersebut kami merumuskan hubungan antara konselor dan konseli pada terapi singkat berfokus solusi sebagai berikut :

  1. Konselor berperan lebih aktif dalam menggeser dari fokus yang tercurah pada problem/masalah ke solusi.
  2. Konselor mendorong konseli dalam menumbuhkan tanggung jawab, kemampuan merespon (response ability).
  3. Konseli pada dasarnya lebih ahli (expert) atau yang paling mengetahui tujuan yang akan mereka bangun.
  4. Hubungan/relasi konselor dan konseli dalam terapi singkat berfokus solusi bersifat kolaboratif.

 

MEKANISME PENGUBAHAN

Tahap-Tahap Konseling

Tahap-tahap dalam konseling singkat berfokus solusi adalah sebagai berikut:

  1. Establishing rapport. Yaitu pembentukan hubungan baik agar proses konseling berjalan lancar seperti yang diharapkan. Agar tercipta iklim yang kolaboratif antara konselor dengan konseli.
  2. Identifying a solvable complaint. Yaitu mengidentifikasi keluhan-keluhan yang akan dipecahkan.
  3. Establishing goals atau menetapkan tujuan yang akan dicapai dalam proses konseling.
  4. Deigning an intervention atau merancang intervensi
  5. Strategic task  that promote change. Yaitu tugas tertentu yang diberikan oleh konselor untuk mendorong perubahan. Misalnya dengan meminta konseli untuk mengamati  dengan mengatakan: ”antara sekarang dan waktu mendatang kita bertemu, saya meminta anda untuk mengamati, sehingga Anda dapat menggambarkan pada saya pada pertemuan mendatang, apa yang terjadi di kehidupan Anda yang Anda inginkan terjadi secara berkelanjutan”. Penugasan tersebut mendorong konseli bahwa perubahan yang diinginkan pasti terjadi dan tidak terelakkan. Hal tersebut sangat penting dipahami sebelum mereka memulai merancang perubahan.
  6. Identifying & emphazing new behavior & changes. Yaitu mengidentifikasi dan menguatkan perilaku baru dan perubahan.
  7. Stabilization atau stabilisasi
  8. Termination. Pada tahap terminasi, ciri-ciri pertanyaan yang diajukan konselor untuk mengidentifikasi keberhasilan knseling yaitu: “apa hal berbeda yang diperlukan dalam hidup Anda yang dihasilkan dengan datang kemari sehingga Anda mengatakan bahwa pertemuan kita bermanfaat?”, dan “ketika masalah Anda teratasi, hal berbeda apa yang akan Anda lakukan?”.

Teknik-Teknik Konseling

Dalam konseling singkat berfokus solusi, terdapat teknik-teknik yang dapat digunakan dalam proses konseling. Adapun teknik-teknik tersebut adalah sebagai berikut.

  1. Exeption-Finding Questions: Pertanyaan tentang saat-saat dimana konseli bebas dari masalah. KONSELING SINGKAT BERFOKUS SOLUSI didasarkan pada gagasan dimana ada saat-saat dalam hidup konseli ketika masalah yang mereka identifikasi tidak bermasalah. Waktu tersebut disebut pengecualian dan disebut “news of difference”. Konselor SFBC mengajukan ask exeption question untuk menempatkan konseli pada waktu-waktu ketika tidak ada masalah, atau ketika masalah yang ada tidak kuat. Pengecualian merupakan pengalaman hidup konseli di masa lalu ketika dimungkinkan  masalah tersebut masuk akal terjadi, tetapi entah bagaimana hal itu tidak terjadi. Dengan membantu konseli mengidentifikasi dan memeriksa pengecualian tersebut kemungkinan meningkatkan mereka dalam bekerja menuju solusi. Eksplorasi ini mengingatkan konseli bahwa masalah tidak selalu kuat dan  ada selamanya; juga menyediakan kesempatan untuk meningkatkan sumberdaya, melibatkan kekuatan, dan  menempatkan solusi yang mungkin. Konselor menanyakan pada konseli apa yang harus dilakukan agar pengecualian ini lebih sering terjadi. Dalam istilah konseling singkat berfokus solusi, hal ini disebut “change-talk”.
  2. Miracle Questions: Pertanyaan yang mengarahkan konseli berimajinasi apa yang akan terjadi jika suatu masalah dialami secara ajaib terselesaikan. Konselor menanyakan “jika suatu keajaiban terjadi dan masalah Anda terpecahkan dalam waktu semalam, bagaimana Anda tahu bahwa masalah tersebut terselesaikan, dan apa yang akan berbeda?”. Konseli kemudian terdorong untuk menegaskan apa yang mereka inginkan agar merasa lebih percaya diri dan aman, konselor bisa mengatakan: “biarkan dirimu berimajinasi bahwa kamu meninggalkan kantor hari ini dan kamu dalam  rel untuk bertindak lebih percaya diri dan aman. Hal berbeda apa yang akan kamu lakukan?”. Mengubah hal yang dilakukann dan cara pandang terhadap masalah  mengubah masalah tersebut. Meminta konseli untuk mempertimbangkan keajaiban tersebut dapat membuka celah kemungkinan di masa depan. Konseli didorong untuk mengikuti mimpinya sebagai cara dalam mengidentifikasi perubahan apa saja yang paling ingin mereka lihat. Pertanyaan ini memiliki fokus masa depan bahwa konseli dapat mulai  mempertimbangkan hal yang berbeda dalam hidupnya yang tidak didominasi oleh masalah tertentu. Intervensi ini menggeser penekanan  dari masa lalu dan masalah saat ini menuju kehidupan yang lebih memuaskan di masa depan.
  3. Scaling Questions: Pertanyaan yang meminta konseli menilai kondisi dirinya (masalah, pencapaian tujuan) berdasarkan skala 1-10. Konselor konseling singkat berfokus solusi juga menggunakan teknik ini ketika mengubah pengalaman konseli yang tidak mudah diobservasi, seperti perasaan, keinginan atau komunikasi. Sebagai contoh, seorang perempuan mengatakan bahwa dia merasa panik atau cemas, bisa ditanyakan:” pada skala 0-10, dengan 0 adalah apa yang Anda rasakan ketika Anda pertama kali datang konseling dan 10 sebagai perasaan Anda hari ini setelah keajaiban terjadi dan  masalah Anda teratasi, bagaimana Anda menyatakan  skala kecemasan Anda sekarang?”. Bahkan jika konseli hanya berkembang dari 0 ke 1, dia telah berkembang. Bagaimana dia melakukan itu? Apa yang dia perlukan untuk meningkatkan skala? Pertanyaan skala memungkinkan konseli untuk lebih memperhatikan apa yang mereka lakukan dan bagaimana mereka dapat mengambil langkah yang akan memandu perubahan yang mereka inginkan.
  4. Coping Questions: Pertanyaan yang meminta konseli mengemukakan pengalaman sukses dalam menangani masalah yang dihadapi.
  5. Compliments: Pesan tertulis yang dirancang untuk memuji konseli atas kelebihan, kemajuan, dan karakteristik positif bagi pencapaian tujuannya.

 

KELEBIHAN DAN KELEMAHAN

Konseling singkat berfokus solusi memiliki kelemahan dan kelebihan. Adapun kelebihan konseling singkat berfokus solusi adalah sebagai berikut.

  1. Pendekatan  ini menekankan pada singkatnya waktu konseling
  2. Pendekatan ini fleksibel dan mempunyai banyak riset yang membuktikan keefektifannya
  3. Pendekatan ini bersifat positif untuk digunakan dengan konseli yang berbeda-beda. Maksudnya, teori konseing ini didasarkan pada asumsi optimis bahwa setiap manusia adalah sehat dan kompeten serta memiliki kemampuan dalam mengkonstruk solusi dalam meningkatkan kualitas hidup mereka dengan optimal.
  4. Pendekatan ini difokuskan pada perubahan dan dasar pemikiran yang menekankan perubahan kecil pada tingkah laku
  5. Pendekatan ini dapat dikombinasikan dengan pendekatan konseling lainnya

Sedangkan kelemahan konseling singkat berfokus pada solusi adalah sebagai berikut.

  1. Pendekatan ini hampir tidak memperhatikan riwayat konseli
  2. Pendekatan ini kurang memfokuskan pencerahan
  3. Pendekatan  ini menggunakan tim, setidaknya beberapa praktisi, sehingga membuat perawatan ini mahal


 

SUMBER RUJUKAN

 

Corey, Gerald. 2009.Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy Eigh Edition. USA: Thomson Higher education.

Palmer, Stephen. 2011.  Introduction to Counselling and Psychotherapy (terjemahan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Gladding, Samuel T. 2012. Counseling a Comprehensive Profession, sixth edition (terjemahan). Jakarta Barat: PT Indeks.

IDENTIFIKASI PROBLEMATIKA BIMBINGAN KONSELING

Standard

Latar Belakang

Keberadaan konselor dalam sistem pendidikan nasional dinyatakan sebagai salah satu kualifikasi pendidik, sejajar dengan kualifikasi guru, dosen, pamong belajar, tutor, widyaiswara, fasilitator, dan instruktur (UU No. 20 Tahun 2003). Masing-masing kualifikasi pendidik, termasuk konselor, memiliki ekspektasi kinerja yang unik. Ekspektasi kinerja konselor dalam menyelenggarakan  pelayanan  ahli bimbingan dan konseling senantiasa digerakkan oleh motif altruistik, sikap empatik, menghormati keragaman, serta mengutamakan kepentingan konseli, dengan selalu mencermati dampak jangka panjang dari pelayanan yang diberikan (Permendiknas No. 27 tahun 2008). Keberadaan UU No. 20 tahun 2003 dan Pemendiknas No. 27 tahun 2008 tersebut menunjukkan bahwa bimbingan konseling adalah salah satu komponen yang integral dalam mendorong tercapainya tujuan pendidikan. Pada kurikulum 2013 dirancang dengan tujuan untuk mempersiapkan insan Indonesia supaya memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warganegara yang produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia. Dalam rangka implementasi kurikulum 2013 yang mengamanatkan adanya peminatan peserta didik pada kelompok mata pelajaran, lintas mata pelajaran, dan pendalaman mata pelajaran maka diperlukan adanya pelayanan Bimbingan dan Konseling yang dilakukan oleh guru Bimbingan dan Konseling atau konselor. Implementasi kurikulum 2013 tentu membutuhkan usaha dan kinerja yang lebih dari konselor. Berdasarkan pemaparan di atas, profesi bimbingan dan konseling menjadi profesi yang semakin di pandang dan mapan. Profesi bimbingan dan konseling telah diberi kesempatan untuk menjadi profesi yang bermartabat dan diakui oleh masyarakat. Hal ini tentu menjadi sebuah tantangan pada konselor itu sendiri untuk bisa menjawab tantangan tersebut dengan kinerja yang maksimal. Akan tetapi, berbagai macam permasalahan muncul terkait pelaksanaan bimbingan dan konseling di Indonesia. Munculnya masalah-masalah tersebut muncul karena berbagai macam faktor. Baik faktor yang berasal dari konselor itu sendiri maupun dari luar konselor itu sendiri. Faktor yang berasal dari konselor itu sendiri lebih menyoroti pada kemampuan konselor yang belum mampu menampilkan layanan bimbingan konseling yang berkualitas. Sementara itu gejala-gejala berbagai masalah pada usia remaja makin meluas dilihat dari frekuensi maupun variabilitas masalahnya. Permasalahan siswa bukan hanya berkisar pada persoalan belajar dan perkembangan diri, melainkan bergerak ke persoalan-persoalan kriminalitas dan norma-norma masyarakat seperti penggunaan narkoba, pergaulan lawan jenis yang terlalu bebas. Sedangkan faktor dari luar konselor lebih pada kurangnya dukungan sistem yang dapat menunjang kualitas kinerja konselor. Berikut ini akan diidentifikasi berbagai problematika bimbingan dan konseling di Indonesia. Identifikasi problematika bimbingan dan konseling akan diklasifikasikan menjadi empat yaitu 1) permasalahan pribadi konselor; b) permasalahan manajemen bimbingan dan konseling disekolah; c) permasalahan sarana dan prasarana bimbingan dan konseling; dan d) permasalahan keterampilan konselor dalam melaksanakan layanan konseling.

Permasalahan Pribadi Konselor

  • Konselor berperan sebagai polisi sekolah

Masih banyak anggapan bahwa peranan konselor di sekolah adalah sebagai polisi sekolah yang harus menjaga dan mempertahankan tata tertib, disiplin, dan keamanan sekolah. Tidak jarang pula konselor sekolah diserahi tugas mengusut perkelahian ataupun pencurian. Konselor ditugaskan mencari siswa yang bersalah dan diberi wewenang untuk mengambil tindakan bagi siswa-siswa yang bersalah itu dan cenderung menghukum siswa yang bermasalah. Anggapan seperti itu timbul karena adanya fakta bahwa konselor sekolah belum bisa berperan layaknya seorang konselor sekolah. Terdapat fenomena-fenomena yang ditemukan berdasarkan pengalaman penulis ketika PPL di salah satu SMA di kota Surabaya seperti konselor berdiri di depan gerbang sekolah menunggu siswa yang terlambat dan menghukumnya, konselor memberi tindakan dengan hukuman bagi siswa yang melanggar tata tertib sekolah, konselor melakukan tindakan dengan hukuman bagi siswa yang membolos, konselor memotong rambut siswa yang panjang, konselor memarahi dan mengintrogasi siswa yang dianggap membuat masalah di sekolah, dan sebagainya. Pada desember 2013 yang lalu juga terjadi pemukulan yang dilakukan oleh oknum konselor di Gorontalo. Seorang siswa SMU di Kabupaten Gorontalo, muntah darah setelah dipukul konselornya. Siswa tersebut dipukul hingga tergolek lemas di ruang instalasi gawat darurat (IGD) Rumah Sakit Umum (RSU) dr Dundo Limboto (Sindonews.com, diakses 12 Februari 2014). Fenomena ini tentunya akan mencederai profesi konselor yang sesungguhnya adalah profesi yang mulia. Fenomena-fenomena yang terjadi seperti yang telah disebutkan di atas tentunya akan berdampak negatif pada hubungan antara konselor dan konseli. Konselor yang seharusnya menjadi sahabat siswa, tapi seakan menjadi pribadi yang ditakuti, dihindari, dan bahkan dijauhi oleh siswa. Berdasarkan wawancara yang dilakukan penulis dengan beberapa konselor di tempat penulis PPL, fenomena-fenomena tersebut timbul karena banyak diantara mereka yang menganggap bahwa jika konselor tidak melakukan tindakan dengan hukuman, maka tidak akan membuat perubahan pada siswa dan tidak akan memberikan efek jera pada siswa yang suka melanggar peraturan. Selain itu, juga ada anggapan bahwa teori dan fakta dilapangan itu jauh berbeda dan bahkan bertolak belakang. Oleh karena itu, akan sulit membantu anak menemukan alternatif-alternatif untuk membuat perubahan pada siswa jika menganut teori yang dipelajari di perguruan tinggi. Konselor berperan sebagai polisi sekolah pada hakekatnya bukanlah profil konselor yang sesungguhnya. Konselor yang berperan sebagai polisi sekolah tersebut hanya akan membuat hubungan yang tidak baik antara konselor dan konseli. Hal ini tidak sesuai dengan pernyataan Rogers (dalam Frankel & Sommerbeck, 2008) menyatakan bahwa hubungan antara konselor dan konseli adalah kekuatan utama dalam melaksanakan konseling. Rogers (1957) menyatakan terdapat tiga kualitas pribadi konselor yang mencakup a) kesesuaian (keaslian, atau realitas); b) penghargaan positif tak bersyarat (penerimaan dan peduli); dan c) pemahaman empatik yang akurat (kemampuan untuk sangat memahami dunia subjektif dari orang lain).

  • Konselor tidak menunjukkan sikap disiplin

Konselor sebagai tenaga pendidik profesional sudah selayaknya menjadi contoh yang baik untuk siswa dalam menunjukkan sikap disiplin. Akan tetapi, sikap disiplin belum sepenuhnya bisa ditunjukkan oleh konselor. Salah satu konselor di SMA kota Surabaya kurang menunjukkan sikap disiplin, seperti datang tidak tepat waktu dan terlambat masuk kelas. Konselor yang menunjukkan sikap disiplin tidak sesuai dengan Permendiknas No. 27 tahun 2008. Pada kompetensi kepribadian dijelaskan bahwa konselor harus menampilkan kinerja berkualitas tinggi yang bersemangat, berdisiplin, dan mandiri. Penyataan tersebut mengindikasikan bahwa sudah selayaknya bagi konselor untuk tampil sebagai pribadi yang disiplin di sekolah. Dalam dunia pendidikan ada istilah ing ngarso sung tulodho yang memiliki arti yang di depan memberi contoh. Pernyataan tersebut memberi arti bahwa konselor sebagai pendidik profesional sudah selayaknya memberi contoh yang baik kepada peserta didik berkaitan dengan disiplin. Konselor memberi contoh yang baik kepada siswa dalam menunjukkan sikap disiplin karena konselor sebagai pendidik adalah model yang ditiru oleh siswa. Bandura dengan teori pembelajaran observasional(modeling) menyatakan bahwa perilaku anak muncul karena adanya proses observasi terhadap model. Bandura menetapkan beberapa tahapan terjadinya proses modeling, yaitu a) atensi; b) retensi; c) reproduksi; dan d) motivasi (Burger, 2011; Boeree, 2007; Feist & Feist, 2006).

  • Kurangnya kesadaran multibudaya dalam konseling

Perbedaan budaya antara satu daerah dengan daerah lain dan  antara satu etnis dengan etnis lainnya dalam menyelenggarakan berbagai  tradisi, tentunya mempengaruhi perilaku individu dan dapat menjadi  sumber permasalahan individu. Di samping itu, tata pergaulan individu  dalam lingkup keluarga, tetangga, sekolah dan masyarakat, memuat  budaya tertentu. Menghadapi bebagai situasi tersebut adakalanya  seseorang memerlukan bantuan orang lain (konselor). Konselor sebagai individu memiliki budaya dan  konseli sebagai  individu juga memilki budaya. Permasalahan dapat terjadi dalam  interaksi antara konselor dan konseli yang berbeda budaya dan atau ada sumber masalah konseli berkaitan dengan budaya. Sehubungan  dengan itu, penting artinya mengenal dan memahami budaya konseli. Sebagai seorang konselor profesional, harus mampu mengalihkan perhatian mereka untuk melakukan konseling dengan memasukkan isu-isu lintas budaya (Wolfgang, 2011). Terlebih lagi Indonesia memiliki budaya yang sangat beragam (Goodwin & Giles, 2003). Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang  Sistem  Pendidikan Nasional Pasal 1 butir 2 dinyatakan bahwa “Pendidikan  nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar  pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman”. Sehubungan dengan hal tersebut, tuntutan terhadap pentingnya konseling keberagaman budaya  (multikultural) di Indonesia sejalan dengan amanat dari Undang-Undang  Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan  Nasional, yang secara jelas mengakomodasikan nilai-nilai pancasila, nilai-nilai agama, kebudayaan, hak asasi manusia dan semangat  multikultural. Sue & Sue (2008) menyatakan terdapat tiga kompetensi lintas budaya yang harus dimiliki konselor, yaitu: a) konselor menyadari asumsi-asumsi, nilai-nilai, dan bias-bias yang dimiliki individu; b) memahami pandangan dunia dari keberagaman budaya konseli; dan c) mengembangkan strategi dan teknik intervensi yang sesuai. Amanat Undang-Undang  Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan  Nasional tentang pentingnya kesadaran multi budaya dalam konseling tidak sejalan dengan fakta yang ada dilapangan. Berdasarkan pengalaman penulis ketika melaksanakan PPL di salah satu SMA kota Surabaya, konselor belum memiliki kesadaran multibudaya. Salah satu contohnya adalah konselor terkesan memaksanakan nilai-nilai yang dimiliki konselor untuk ditanamkan pada konseli. Hal ini akan berdampak pada terdistorsinya hubungan antara konselor dan konseli. Padahal hubungan konseling yang kuat dapat berpengaruh terhadap keberhasilan pencapaian tujuan konseling.

  • Konselor membeberkan rahasia konseli

Penyelenggaraan layanan bimbingan dan konseling selain dimuati oleh fungsi dan didasarkan pada prinsip-prinsip tertentu, juga dituntut untuk memenuhi sejumlah asas bimbingan. Pemenuhan asas-asas bimbingan itu akan memperlancar pelaksanaan dan lebih menjamin keberhasilan layanan, sedangkan pengingkarannya akan dapat menghambat atau bahkan menggagalkan pelaksanaan, serta mengurangi atau mengaburkan hasil layanan/kegiatan  bimbingan dan konseling itu sendiri. Betapa pentingnya asas-asas bimbingan konseling ini sehingga dikatakan sebagai jiwa dan nafas dari seluruh kehidupan layanan bimbingan dan konseling. Apabila asas-asas ini  tidak dijalankan dengan baik, maka penyelenggaraan bimbingan dan konseling akan berjalan tersendat-sendat  atau bahkan terhenti sama sekali. Salah satu asas bimbingan dan konseling yang menjadi sorotan adalah asas kerahasiaan (confidentiality). Dengan adanya asas kerahasiaan (confidentiality) akan memberikan batasan kepada konselor dalam berbagi informasi dengan guru, orang tua, dan staf sekolah (Davis, Williamson & Scarboro, 2008). Menjaga kerahasiaan permasalahan konseli termasuk tindakan yang sangat fundamental dan dalam profesi konseling, yang selanjutnya, kepercayaan konseli pada konselor akan terbangun dengan baik (Lazovsky, 2008). Akan tetapi, Banyak konselor yang kurang memperhatikan dan lalai dalam menjaga kerahasiaan permasalahan yang dialami konseli. Berdasarkan pengalaman penulis ketika melaksanakan PPL di salah satu SMA di kota Surabaya, ditemukan fenomena-fenomena yang terjadi terkait kerahasiaan permasalahan konseli yang seharusnya dijaga oleh konselor. Fenomena-fenomena tersebut antara lain konselor membicarakan permasalahan konseli dengan guru-guru yang lain, konselor dengan mudah menceritakan kepada wali kelas dari konseli yang bersangkutan terkait permasalahannya, dan tidak jarang masalah yang dialami oleh konseli menjadi bahan tertawaan konselor dan guru-guru yang lain. Berbagai macam alasan muncul mengapa konselor tidak mampu menjaga kerahasiaan permasalahan konseli. Berdasarkan wawancara yang dilakukan penulis, beberapa konselor sering tidak menyadari bahwa ia sudah membeberkan permasalahan konseli, konselor kurang berhati-hati dalam menyimpan data-data terkait permasalahan konseli, konselor berdiskusi dengan konselor lain terkait permasalahan konseli tanpa persetujuan konseli, dan adanya tekanan dari wali kelas maupun pihak-pihak terkait untuk menceritakan permasalahan dari konseli. Bahkan, ada anggapan dari oknum-oknum tertentu bahwa masalah-masalah konseli harus dilaporkan kepada guru untuk pertimbangan nilai siswa. Konselor tidak mampu menjaga kerahasiaan permasalahan konseli tentunya akan berdampak negatif baik pada profesionalitas konselor itu sendiri dan konseli yang bersangkutan. Untuk profesinalitas konselor itu sendiri dampaknya adalah kepercayaan konseli pada konselor akan menurun sehingga siswa akan enggan melakukan konseling dengan konselor karena takut jika permasalahannya akan diketahui oleh orang lain. Sedangkan dampak pada konseli yang permasalahannya diketahui oleh orang lain adalah motivasi konseli untuk terbuka dalam proses konseling selanjutnya cenderung menurun karena takut permasalahannya akan diketahui oleh orang lain. Fenomena-fenomena seperti yang disebutkan di atas tentunya bertolak belakang dengan kode etik Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN). Dalam kode etik ABKIN terdapat empat poin yang dijelaskan terkait kerahasiaan (confidentiality).

  • Konselor kurang termotivasi mengembangkan profesionalitasnya

Saat ini masih terus terdengar suara-suara sumbang tentang kinerja konselor terkait fungsi dan tanggung jawabnya, masih ditemukan adanya perilaku kurang profesional. Perilaku-perilaku konselor yang kurang profesional memunculkan impresi maupun persepsi kurang positif. Juntika 1993 (dalam Akhmadi, 2012) menemukan bahwa pelaksanaan konseling oleh guru pembimbing belum sesuai dengan yang diharapkan, yakni masih kurangnya kemampuan pembimbing dalam menangani dan menggali masalah yang dihadapi siswa. Marjohan 1994 (dalam Akhmadi, 2012) menemukan bahwa baru 39,47% guru pembimbing yang dapat menerapkan kemampuan profesional konseling dalam kategori “tinggi”, sedangkan 60,53% baru mampu menerapkan kemampuan tersebut pada kategori “sedang”. Dengan adanya hasil penelitian yang disebutkan di atas, seorang konselor sudah selayaknya terus mengembangkan profesionalitas dirinya secara berkelanjutan, akan tetapi, tidak semua konselor punya kesadaran akan hal itu. Masih banyak konselor yang tidak punya kesadaran untuk mengembangkan profesionalitasnya secara berkelanjutan. Adapun beberapa fenomena yang ditangkap penulis baik melalui wawancara dan observasi dengan beberapa konselor di kota Ngawi adalah tidak munculnya kesadaran bahwa mengikuti seminar dan lokakarya adalah penting, konselor cenderung enggan mengikuti seminar dan lokakarya karena kurang terfasilitasi oleh sekolah, konselor kurang termotivasi mengikuti kegiatan-kegiatan MGBK, dan konselor tidak termotivasi untuk membaca buku-buku yang bisa menunjang berkembangnya pengetahuan konselor. Konselor yang kurang termotivasi mengembangkan profesionalitasnya, akan berdampak negatif pada tingkat profesional dan perkembangan diri konselor itu sendiri. Dampak negatif yang terjadi adalah konselor ketinggalan informasi-informasi baru bidang bimbingan dan konseling. Selain itu, konselor tidak memiliki hubungan yang baik dengan konselor-konselor lain untuk berbagi informasi dan berdiskusi terkait informasi-informasi baru di dunia bimbingan konseling. Dampak-dampak negatif tersebut tentunya akan berpengaruh pula pada keberhasilan dan keefektifan konselor dalam memberikan layanan bimbingan dan konseling kepada siswa. Fenomena-fenomena yang disebutkan di atas bertolak belakang dengan Permendiknas nomor 7 tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik Dan Kompetensi Konselor yang menyatakan bahwa konselor harus mengembangkan pribadi dan profesionalitas konselor secara berkelanjutan. Lebih jauh, dijelaskan lebih rinci dalam kode etik ABKIN terkait konselor harus mengembangkan pribadi dan profesionalitas konselor secara berkelanjutan adalah a) beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, b) menunjukkan integritas dan stabilitas kepribadian berkarakter serta kinerja profesional, c) memiliki kesadaran dan komitmen terhadap etika profesional, d) mengimplementasikan kolaborasi intern di tempat bekerja, e) berperan dalam organisasi dan kegiatan profesi bimbingan dan konseling, f) mengimplementasikan kolaborasi antarprofesi, dan g) mengembangkan diri untuk meningkatkan dan mengembangkan kemampuan dalam bidang profesi melalui pendidikan dan pelatihan, penelitian dan penulisan karya ilmiah, mengikuti seminar lokakarya dalam bidang Bimbingan dan Konseling.

Permasalahan Manajemen Bimbingan Konseling di Sekolah

  • Adanya persepsi konselor bahwa bimbingan konseling mampu bekerja sendiri

Pelayanan bimbingan dan konseling bukanlah proses yang tersendiri dan tidak terkait dengan pihak-pihak terkait dalam suatu sekolah. Konselor perlu bekerjasama dengan orang-orang yang diharapkan dapat membantu penanggulangan masalah yang dihadapi oleh konseli. Di sekolah misalnya, masalah-masalah yang dihadapi oleh siswa tidak berdiri sendiri. Masalah itu seringkali terkait dengan orangtua siswa, guru dan pihak-pihak lain. Selain itu, terkait pula dengan berbagai unsur lingkungan rumah, sekolah dan masyarakat sekitarnya. Oleh sebab itu, penanggulangan tidak dilakukan sendiri oleh konselor saja. Dalam hal ini peranan guru, orang tua dan pihak-pihak lain sering kali sangat menentukan. Konselor harus pandai menjalin hubungan kerjasama yang saling mengerti dan saling menunjang demi terbantunya siswa yang mengalami masalah. Disamping itu, konselor harus pula memanfaatkan berbagi sumber daya yang ada dan dapat diadakan untuk kepentingan pemecahan masalah siswa. Fakta dilapangan menunjukkan tidak semua konselor bisa bekerja sama dengan pihak-pihak terkait dalam upaya penanganan masalah konseli. Konselor seringkali bekerja sendiri, tanpa memperhatikan pihak-pihak lain yang terkait dalam upaya menangani masalah konseli. Hal ini tentunya akan berdampak pada beratnya tugas konselor, terhambatnya tujuan konseling yang akan dicapai, serta kurang maksimalnya bantuan konselor dalam penyelesaian masalah yang dialami konseli. Fenomena-fenomena tersebut tampak pada konselor di salah satu SMA di kota Ngawi. Konselor tidak bisa bekerja sendirian, akan tetapi perlu adanya partnership, kerja sama, kolaborasi, dan konsultasi dengan pihak-pihak terkait (Hall & Hornby, 2003). Pernyataan tersebut didukung oleh Neukrug (2012) yang menyatakan bahwa konselor sekolah harus bekerja dengan kolega dan mitra kerja yang terkait untuk memastikan bahwa layanan bimbingan dan konseling yang diberikan kepada siswa berhasil dan efektif. Kemudian, Schellenberg (2008) menyatakan bahwa perlu kerja sama antara konselor dan stakeholders, staf administrasi sekolah, orang tua untuk mencapai keberhasilan program bimbingan konseling yang dibuat. Pernyataan-pernyataan tersebut memberikan gambaran kepada konselor bahwa dalam memberikan layanan bimbingan dan konseling kepada siswa, konselor harus bekerja sama dengan pihak-pihak terkait seperti kepala sekolah, guru, wali kelas, staf sekolah, dan orang tua siswa. Hal ini dilakukan untuk keberhasilan layanan bimbingan dan konseling yang diberikan konselor kepada siswa. Tidak menutup kemungkinan pula bagi konselor menangani permasalahan konseli di luar wewenang dan ranah konselor. Dalam hal ini konselor dapat menjalin kerja sama dengan lembaga-lembaga di luar sekolah seperti psikolog, psikiater, pekerja sosial, tokoh agama, dan konselor yang lain dengan persetujuan konseli (Sederholm, 2003).

  • Tidak adanya manajemen Bimbingan Konseling yang baik di sekolah

Manajemen bimbingan konseling merupakan salah satu unsur penting dalam pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah. Dalam modul pelatihan implementasi kurikulum 2013 untuk konselor dijelaskan bahwa kelancaran jalannya pelayanan bimbingan dan konseling memerlukan manajemen yang cukup efektif dan efisien, baik manajemen untuk terlaksanaannya layanan bagi masing-masing materi layanan, maupun ketatalaksanaan keseluruhan pelayanan bimbingan konseling pada satuan unit kerja. Dengan adanya manajemen bimbingan konseling yang baik, akan menghasilkan alur kinerja konselor yang jelas. Sehingga kinerja konselor akan menjadi lebih efektif dan efisien. Pemaparan yang disebutkan di atas tidak sejalan dengan fenomena yang ada di lapangan. Tidak semua konselor menyadari pentingnya manajemen bimbingan konseling di sekolah. Di salah satu SMK di kota Ngawi misalnya, belum jelas bagaimana manajemen bimbingan konseling di sekolah. Bentuk-bentuk kerja sama antara konselor, guru mata pelajaran, wali kelas dan staf sekolah tidak jelas. Berbeda dengan di salah satu SMA di kota Surabaya, terdapat papan manajemen bimbingan konseling di ruang bimbingan konseling, tetapi pelaksanaan manajemen bimbingan konseling tidak berjalan dengan baik. Sehingga, dampaknya muncul kerancuan kinerja guru, wali kelas, dan konselor. Permasalahan-permasalahan psikologis anak yang seharusnya konselor yang menangani, tapi bukan konselor yang menangani, melainkan wali kelasnya.

  • Tidak melaksanakan evaluasi program bimbingan dan konseling

Konselor sekolah profesional sebagai bagian dari tim pendidik di sekolah memiliki kinerja yang menunjang pencapaian tujuan yang dicanangkan oleh sekolah (Dahir & Stone, 2009). Kinerja konselor sekolah tersebut tertuang dalam program layanan konseling dan program tersebut terbukti keefektifannya dalam pencapaian tujuan sekolah dan peningkatan prestasi belajar siswa (Astramovich, Coker & Hoskins, tanpa tahun). Untuk menguji keefektifan dan memperbaiki program layanan bimbingan dan konseling perlu dilakukan eveluasi. Evaluasi program layanan bimbingan  konseling juga bisa menyediakan sumber informasi yang dibutuhkan untuk memverifikasi kekuatan program layanan konseling (Otto, 2001). Fakta di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua konselor melaksanakan evaluasi. Berdasarkan observasi yang pernah dilakukan penulis di salah satu SMA di Kabupaten magetan, konselor tidak melakukan evaluasi program layanan bimbingan dan konseling. Sehingga tidak ada perbaikan program layanan bimbingan dan konseling dari tahun ke tahun. Banyak alasan konselor tersebut tidak melakukan evaluasi program layanan, antara lain, ketidakmampuan konselor melakukan evaluasi, minimnya minat konselor untuk belajar melakukan evaluasi program layanan bimbingan konseling, dan minimnya pelatihan yang diberikan kepada konselor untuk mengevaluasi program layanan bimbingan dan konseling.

Permasalahan Sarana dan Prasarana Bimbingan Konseling

  • Ruang bimbingan dan konseling yang kurang memadai

Salah satu aspek pendukung dalam keefektifan proses konseling adalah keberadaan ruang bimbingan dan konseling yang layak. Akan tetapi, belum semua sekolah mampu memfasilitasi keberadaan ruang bimbingan konseling yang layak dan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Berdasarkan pengalaman penulis, ditemukan ruang bimbingan konseling yang tidak layak digunakan sebagai ruang bimbingan konseling. Ruang bimbingan konseling di salah satu SMK di kota Ngawi bersanding dengan ruang UKS, tidak memiliki ventilasi, dan ruang bimbingan konseling yang berada di bawah tangga. Selain beberapa fakta tersebut, ada juga beberapa sekolah di kota Ngawi yang tidak mempunyai ruang bimbingan konseling sama sekali sehingga konselor berada di ruang guru. Selanjutnya, ruang bimbingan konseling di salah satu kota Padang letaknya jauh dari kelas tempat proses belajar mengajar siswa sehingga tidak ada minat siswa untuk mendatangi ruang bimbingan konseling, bahkan ada siswa yang tidak tahu letak ruang bimbingan konseling. Penulis juga menemukan ruang bimbingan konseling yang pada dasarnya sangat layak, akan tetapi pihak konselor belum mampu memanfaatkan ruang tersebut secara maksimal. Salah satu SMA di kota Surabaya memiliki ruang bimbingan konseling sangat luas, terdapat lemari-lemari penyimpan data siswa yang memadai, dan terdapat dua bilik ruang konseling individu. Akan tetapi, ruang konseling individu kurang dimanfaatkan sesuai dengan fungsinya dan difungsikan sebagai tempat menghukum siswa yang melanggar tata tertib. Selanjutnya, salah satu SMP di kota Surabaya  memiki ruang bimbingan konseling yang luas, ber-AC dan nyaman. Akan tetapi, ruang bimbingan konseling tersebut lebih banyak digunakan oleh guru-guru yang sedang tidak bertugas hanya untuk mengobrol, merokok, dan bahkan tidur. Berikutnya salah satu SMK di Pringsewu, Lampung juga memiliki ruang bimbingan konseling yang layak dan memadai. Akan tetapi, ruang konseling individu tidak difungsikan sesuai fungsinya. Ruang konseling individu lebih banyak difungsikan untuk menyimpan buku-buku dan barang-barang yang tidak terpakai. Terdapat kriteria-kriteria ruang bimbingan dan konseling untuk optimalisasi manfaat ruang bimbingan dan konseling. Dalam hal ini, ABKIN (2007) merekomendasikan kriteria ruang bimbingan dan konseling di sekolah, yaitu a) lokasi ruang bimbingan dan konseling mudah diakses (strategis) oleh konseli tetapi tidak terlalu terbuka sehingga prinsip-prinsip konfidensial tetap terjaga; b) jumlah ruang bimbingan dan konseling disesuaikan dengan kebutuhan jenis layanan dan jumlah ruangan; c) antar ruangan sebaiknya tidak tembus pandang; dan d) jenis ruangan yang diperlukan meliputi ruang kerja, ruang administrasi/data, ruang konseling individual, ruang bimbingan dan konseling kelompok, ruang biblio terapi, ruang relaksasi/desensitisasi, dan ruang tamu. Sementara itu, BNSP memberikan gambaran yang berbeda tentang standar sarana yang terkait dengan ruang bimbingan dan konseling di sekolah. Adapun standar ruang bimbingan dan konseling adalah a) ruang konseling berfungsi sebagai tempat peserta didik mendapatkan layanan konseling dari konselor berkaitan dengan pengembangan pribadi, sosial, belajar, dan karir; b) Luas minimum ruang konseling 9 m2; c) ruang konseling dapat memberikan kenyamanan suasana dan menjamin privasi peserta didik, dan d) ruang konseling dilengkapi berbagai sarana penunjang lainnya (http://akhmadsudrajat.wordpress.com, diakses 12 Februari 2014). Jika dalam suatu sekolah sudah terdapat ruang bimbingan konseling, sudah selayaknya bagi konselor untuk memanfaatkan ruang bimbingan dan konseling dengan baik. Selain itu, selayaknya konselor memanfaatkan ruang bimbingan dan konseling sesuai dengan fungsinya. Dengan adanya ruang bimbingan dan konseling yang sesuai dengan standar, akan turut mempengaruhi keberhasilan pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah (ABKIN, 2007).

  • Keengganan konselor bekerja ketika sarana dan prasarana tidak memadai

Ketiadaan sarana dan prasarana pendukung pelaksanaan layanan bimbingan konseling memang menjadi salah satu problematika. Ketiadaan sarana dan prasarana seperti ruang bimbingan konseling, ruang konseling individu, lemari penyimpan data dan yang lainnya akan menghambat kinerja konselor itu sendiri. Akan tetapi, ketiadaan sarana dan prasarana itu seharusnya tidak menjadi halangan bagi konselor untuk mengupayakan pelaksanaan layanan bimbingan konseling yang optimal untuk membantu siswa. Fakta dilapangan menunjukkan bahwa terdapat oknum konselor di salah satu SMA di kota Ngawi yang menyatakan bahwa ia tidak bisa melakukan layanan konseling individu, layanan bimbingan kelompok, layanan konseling kelompok dan layanan-layanan lainnya karena tidak adanya ruang bimbingan konseling. Fakta serupa juga terjadi di salah satu SMP di kota Ngawi, yang juga tidak melakukan layanan bimbingan konseling secara optimal dengan alasan tidak adanya ruang bimbingan konseling. Keengganan konselor bekerja ketika sarana dan prasarana tidak memadai akan menjadi masalah pada pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling di sekolah. Hal ini akan berakibat pada semakin kompleksnya problematika bimbingan dan konseling di sekolah. Salah satu akibat yang paling terlihat adalah siswa yang seharusnya mendapat dan membutuhkan layanan bimbingan dan konseling akhirnya tidak bisa mendapatkannya. Fenomena seperti ini menunjukkan kurangnya motivasi dan kreatifitas konselor dalam memberikan layanan bimbingan konseling dengan fasilitas yang kurang mendukung. Konselor yang enggan melaksanakan layanan bimbingan dan konseling tentu akan menambah masalah yang ada. Walau sarana dan prasarana dirasa masih kurang, sudah seharusnya layanan bimbingan dan konseling tetap berjalan. Dalam Permendiknas No. 27 tahun 2008 dijelaskan dalam kompetensi kepribadian bahwa konselor harus menampilkan tindakan yang cerdas, kreatif, inovatif, dan produktif. Kreatifitas sangat dibutuhkan konselor dalam mengatasi permasalahan-permasalahan dalam pelaksanaan bimbingan dan konseling (Nicholson & Golsan, 1983). Berani berpikir bebas dan kreatif atau out of the box merupakan hal mendasar yang harus dikembangkan oleh guru bimbingan dan konseling. Hal itu diperlukan agar layanan bimbingan dan konseling tetap bisa dilaksanakan.

Permasalahan Keterampilan Konselor dalam Melaksanakan Layanan Konseling

  • Konselor hanya memberikan nasehat dalam proses konseling

Pelayanan bimbingan dan konseling menyangkut seluruh kepentingan konseli dalam rangka pengembangan pribadi konseli secara optimal. Dalam proses konseling masih banyak konselor yang hanya memberikan nasehat daripada menerapkan pendekatan-pendekatan konseling. Banyak faktor mengapa konselor lebih banyak memberikan nasehat daripada menerapkan pendekatan-pendekatan konseling. Berdasarkan wawancara yang dilakukan penulis pada salah satu konselor SMA di kota Ngawi, alasan pertama adalah konselor tidak berasal dari latar belakang bimbingan konseling sehingga tidak memahami hakekat konseling dengan benar dan alasan kedua adalah pemberian nasehat dirasa konselor lebih mudah daripada melakukan konseling dengan pendekatan-pendekatan konseling. Konseling pada hakekatnya bukanlah hanya pemberian nasehat semata, akan tetapi, banyak keterampilan lain yang bisa digunakan dalam proses konseling. Pemberian nasehat lebih cenderung pada counselor-centered bukan client-centered yang bisa berpotensi menghacurkan hubungan konseling (Neukrug, 2012). Jika mengacu pada teori person-centered yang dicetuskan oleh Rogers, manusia pada dasarnya dapat dipercaya, memiliki akal, mampu memahami diri dan pengarahan diri sendiri, mampu membuat perubahan yang konstruktif, dan mampu untuk hidup efektif dan produktif (Corey, 2009). Jika merujuk pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa proses konseling bukanlah sebuah proses pemberian nasehat, akan tetapi bagaimana konselor memanfaatkan potensi yang dimiliki manusia untuk mengarahkan dirinya dalam mencapai kehidupan yang efektif dan produktif.

  • Konselor kurang memiliki keterampilan dasar konseling yang memadai

Konselor yang profesional dituntut memiliki keterampilan dasar konseling yang memadai, akan tetapi, fakta terjadi masih banyak konselor yang kurang terampil dalam mempraktekkan keterampilan dasar konseling. Berdasarkan pengalaman penulis pada waktu PPL, beberapa fenomena yang terjadi adalah konselor kurang menyambut konseli dengan baik ketika konseli ingin konseling dengan konselor, konselor kurang memperhatikan kenyamanan konseli dalam melakukan konseling, konselor tidak melakukan konseling tidak di ruang konseling, konselor melakukan konseling dengan kurang memberikan perhatian pada konseli, konselor melakukan konseling sambil berbicara dengan guru yang lain, konselor memberikan respon yang kurang menyenangkan pada pernyataan konseli, dan sebagainya. Fenomena-fenomena seperti yang disebutkan di atas tentunya akan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan proses konseling itu sendiri. Sebagai seorang konselor tentunya harus memiliki berbagai keterampilan dasar konseling agar mencapai tujuan konseling yang efektif (Cormier, Nurius & Osborn, 2009; Shertzer & Stone, 1980). Terdapat beberapa keterampilan dasar konseling, yaitu a) keterampilan attending;b) listening responses yang meliputi klarifikasi, paraprase, refleksi, dan menyimpulkan; dan c) influencing responses yang meliputi keterampilan bertanya, interpretasi, pemberian informasi, immediacy, self-disclosure, dan konfrontasi (Cormier, Nurius & Osborn, 2009). Lebih jauh Neukrug (2011) menjelaskan terdapat beberapa keterampilan dasar konseling yang dibagi menjadi 4 jenis, yaitu a) foundational skills yang meliputi keterampilan mendengarkan, empati dan memahami secara mendalam, dan diam;b) commonly used skills yang meliputi keterampilan bertanya, self- disclosure, modeling, memberikan afirmasi dan dorongan, dan penawaran alternatif, pemberian informasi, pemberian nasehat;c) commonly used advanced skills yang meliputi keterampilan konfrontasi, interpretasi, dan kolaborasi;dan d) advanced and specialized counseling skills yang meliputi keterampilan metapora, pengubahan pola berpikir, narratives dan storytelling, therapeutic touch, dan role-playing.

  • Konselor hanya menangani anak bermasalah

Banyak opini yang muncul bahwa guru bimbingan dan konseling (konselor sekolah) adalah pihak yang berwenang dalam menangani anak bermasalah saja. Contohnya adalah anak yang sering melanggar tata tertib, anak yang sering terlambat, anak yang kurang memperhatikan guru saat proses belajar dan mengajar, dan anak yang membolos. Dan fakta di lapangan memang masih banyak guru bimbingan dan konseling yang fokusnya hanya menangani anak-anak seperti itu. Hal tersebut dibuktikan dengan pengalaman pribadi penulis ketika melaksanakan PPL di salah satu SMA di Surabaya. Konselor lebih banyak fokus pada penanganan anak yang bermasalah saja. Akan tetapi, anak-anak yang punya potensi baik di bidang akademik atau non akademik kurang mendapat bimbingan secara berkelanjutan agar potensi mereka semakin berkembang secara optimal. Fenomena yang tersebut di atas tentu tidak sesuai dengan Permendiknas No. 27 tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik Dan Kompetensi Konselor. Dalam Permendiknas No. 27 tahun 2008 tersebut disebutkan tentang konteks tugas konselor berada dalam kawasan pelayanan bimbingan dan konseling yang bertujuan mengembangkan potensi dan memandirikan konseli dalam pengambilan keputusan dan pilihan untuk mewujudkan kehidupan yang produktif, sejahtera, dan peduli kemaslahatan umum. Konselor adalah pengampu pelayanan ahli bimbingan dan konseling, terutama dalam jalur pendidikan formal dan nonformal. Dari pernyataan tersebut jelas bahwa konselor tidak hanya menangani anak bermasalah, akan tetapi, lebih kepada pengembangan potensi yang dimiliki konseli, memandirikan konseli dalam pengambilan keputusan, dan peduli pada kemaslahatan umum.

  • Kurangnya kesadaran konselor akan pentingnya need assesment sebagai dasar pembuatan program bimbingan konseling

Need assement menjadi salah satu aspek penting yang perlu dilakukan konselor dalam membuat progam bimbingan dan konseling yang komprehensif (Gysbers & Henderson, 2006). Suatu program yang disusun secara jelas, sistematis, dan terarah dan dikembangkan secara tepat guna. Program bimbingan mencakup perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program bimbingan dan konseling (Winkel, 2007). Informasi yang dihimpun dengan pelaksanaan need assesment dapat membantu konselor untuk mengidentifikasi kebutuhan siswa yang kemudian sebagai dasar pemberian layanan bimbingan dan konseling (Astramovich, 2011). Jika program bimbingan dan konseling disusun berdasarkan kebutuhan siswa, maka diharapkan program bimbingan dan konseling efektif diberikan kepada siswa. Tidak semua konselor melakukan need assesment sebagai dasar pembuatan program bimbingan dan konseling. Beberapa konselor tidak melakukan need assesment. Fenomena ini terjadi pada konselor di salah satu konselor di SMA kota Surabaya. Konselor tidak melakukan need assesment sebagai dasar pembuatan progam bimbingan dan konseling. Konselor hanya melakukan copy paste dari program tahun-tahun sebelumnya. Berbagai alasan konselor tidak melakukan need assesment muncul. Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan konselor di salah satu SMA di kota Surabaya, muncul pengakuan bahwa program yang dibuat dirasakan sudah baik dan tidak perlu dilakukan need assesment. Muncul pengakuan pula bahwa need assesment akan membutuhkan waktu lama, dan tidak ada jaminan kebenaran dari need assesment yang telah dilakukan. Rendahnya kesadaran konselor akan pentingnya need assesment sebagai dasar pembuatan program bimbingan dan konseling akan berdampak negatif terhadap keefektifan layanan bimbingan dan konseling yang diberikan oleh konselor. Hal ini akan berdampak pada rendahnya keefektifan dan keberhasilan dari program bimbingan dan konseling yang diberikan. Hal ini terjadi karena siswa tidak membutuhkan informasi-informasi yang diberikan oleh konselor yang termuat dalam program bimbingan dan konseling. Kesimpulan Pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling di Indonesia diharapkan dapat mendorong tercapainya tujuan pendidikan. Hal tersebut membutuhkan kinerja yang maksimal dari konselor. Akan tetapi, berbagai macam problematika bimbingan dan konseling muncul dan bisa menghambat tercapainya tujuan pendidikan. Diperlukan upaya yang maksimal dari konselor untuk segera berbenah diri untuk menjawab tantangan bahwa profesi konselor adalah profesi yang bermartabat.

 

Daftar Pustaka

ABKIN.2007. Rambi-Rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. Bandung: ABKIN

ABKIN. 2011. Kode Etik Profesi Bimbingan dan Konseling Indonesia ABKIN. Semarang: ABKIN.

Ahmad, Z. 2013. Guru Pukuli SIswa Hingga Muntah Darah. (Online), (Sindonews.com), diakses 12 Februari 2014.

Akhmadi, A. 2012. Peningkatan Kemampuan Konselor Profesional, Kajian Materi Diklat Jarak Jauh Guru Bimbingan Konseling. (Online), (www.himcyoo.files.wordpress.com) diakses 12 Februari 2014.

Astramovich, R. L., Coker, J. K., & Hoskins, W. J. Tanpa tahun. Training school counselors in program evaluation. American School Counseling Association.

Astramovich, R.L. 2011. Needs Assesment: A Key Evaluation Tool for Professional Counselors. (Online), (http://counselingoutfitters.com), diakses 12 Februari 2014.

Boeree, C.G. 2007. Personality Theories: Melacak Kepribadian Anda Bersama Psikolog Dunia. Alih Bahasa: Inyiak Ridwan Muzir. Jogjakarta: Prismasophie.

Burger, J.M. 2011. Personality. USA: Wadswarth Cengage Learning.

Corey, G. 2009. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. USA: Thomson Brooks/Cole.

Cormier, S., Nurius, P.S. & Osborn, C.J. 2009. Interviewing and Change Strategies for Helpers: Fundamental Skills and Cognitive Behavioral Interventions. USA: Brooks/Cole.

Dahir, C.A. & Stone, C.B. 2009. School Counselor Accountability: The Path to Social Justice and Systemic Change. Journal of Counseling & Development, 87: 12-20.

Davis, K.M., Williamson, L.L. & Scarboro, B.A. 2008. Professional Activities in Professional School Counseling. Dalam H.L.K Coleman & C. Yeh (Ed.), Handbook of School Counseling (hlm. 811-824). New York: Routledge.

Feist, J. & Feist, G.J. 2006. Theories of Personality. New York: McGraw-Hill Companies, Inc.

Frankel, M & Sommerbeck, L. 2008. Nondirectivity: Attitude or Practice?. The Person-Centered Journal, 15: 1-2: 58-78.

Goodwin, R., & Giles, S. 2003. Social Support Provision and Cultural Values in Indonesia and Britain. Journal of Cross-Cultural Psychology, 34 (10): 1-6.

Gybers, C.N. & Henderson, P. 2006. Developing & Managing Your School Guidance and Counseling Program. American Counseling Association: Alexandria.

Hall, C. & Hornby, G. 2003. Learning to Collaborate: Working Across the Divide. Dalam G. Hornby, C. Hall& E. Hall(Ed.),Counselling Pupils in Schools: Skills and Strategies for Teachers (hlm. 141-151). London: Routledge Falmer.

Kemendikbud. 2013. Modul Pelatihan Implementasi Kurikulum 2013 untuk Guru BK/Konselor: Implementasi Pelayanan Bimbingan dan Konseling dalam Kurikulum 2013. Jakarta: Kemendikbud.

Lazovsky, R. 2008. Maintaining Confidentiality with Minors: Dilemmas of School Counselors. (Online), (www.schoolcounselor.org), diakses 12 Februari 2014.

Neukrug, E.S. 2012. The World of the Counselor: An Introduction to the Counseling Profession. USA: Brooks/Cole.

Nicholson, J.A. & Golsan, G. 1983. The Creative Counselor. USA: McGraw-Hill, Inc.

Otto, C.N.C. 2001. An Evaluation of the School Counseling Program at Stillwater Area Schools in Stillwater, Minnesota. University of Wisconsin-Stout: The Graduate College.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2008 tentang Standar kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor (Online), (unnes.ac.id/wp-content/uploads/Permendiknas-no.-27-tahun-2008.pdf‎), diakses 12 Februari 2014.

Rogers, C.H. 1957. The Necessary and Sufficient Conditions of Therapeutic Personality Change. Journal of Consulting Psychology, 21: 95–103.

Schellenberg, R. 2008. The New School Counselor: Strategies for Universal Academic Achievement. USA: Rowman & Littlefield Education.

Sederholm, G.H. 2003. Counselling Young People in School. London and Philadelphia: Jessica Kingsley Publishers.

Shertzer, B. & Stone, S.C. 1980. Fundamental of Counseling. Boston: Houghton Mifflin Company.

Sudrajad, A. 2013. Standar Ruang Bimbingan dan Konseling. (Online), (http://akhmadsudrajat.wordpress.com/), diakses 12 Februari 2014.

Sue, D.W. & Sue, D. 2008. Counseling the Culturally Diverse: Theory and Practice. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.

Undang-Undang Republik Indonesia No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Online), (www.inherentdikti.net/files/sisdiknas.pdf), diakses 12 Februari 2014.

Winkel, W.S. & Hastuti, S. 2007. Bimbingan dan Konseling di Intitut Pendidikan. Jakarta: Gramedia.

Wolfgang, J, dkk. 2011. Developing Cross Cultural Competence: Applying Development and Prevention Ideals to Counseling Young Children. Makalah disajikan pada the annual convention of the Association for Counselor Educators and Supervisors (ACES), Nashville, 26-30 Oktober 2011. Dalam Eric database, (Online), (http://eric.ed.gov/), diakses 18 Desember 2013.

BIMBINGAN DAN KONSELING SEBAGAI PROFESI (SYARAT, IDENTITAS, SIFAT DASAR DAN WAWASAN KONSELOR)

Standard

A. Bimbingan dan Konseling Sebagai Profesi
“Guidance is the process of helping people make important choices that affect their lives, such as choosing a preferred lifestyle” (Gladding, 2009:5). Bimbingan merupakan sebuah proses pemberian bantuan kepada seseorang dalam membuat pilihan penting yang berpengaruh pada kehidupan mereka, seperti pilihan gaya hidup. Pengertian konseling menurut Nugent (1981: 5) yaitu “Counseling is defined as a confidential, accepting, non-evaluative, permissive, face to face relationship, in which counselor uses his knowledge and competencies to assist the pupil to resolve better those problems and issues which he would normally resolve less satisfactorily without counseling assistance.” Ini berarti konseling didefinisikan sebagai sesuatu yang bersifat rahasia, penerimaan, non-evaluasi, permisif, hubungan tatap muka, dimana konselor menggunakan kemampuan dan kompetensinya untuk membantu siswa mengatasi dengan lebih baik permasalahan yang dihadapi, dimana nantinya siswa diharapkan dapat mengatasi masalahnya dengan memuaskan tanpa bantuan konseling. Istilah Bimbingan dan konseling sangat berkaitan erat. Konseling merupakan jantung hatinya bimbingan, dimana konseling sebagai alat utama dalam pelayanan bimbingan. Profesi adalah suatu jabatan/pekerjaan yang menuntut keahlian khusus dari penyandang profesi. Bimbingan dan konseling sebagai profesi adalah proses pelayanan bantuan yang diberikan oleh tenaga profesional (konselor) kepada konseli secara tatap muka dengan menggunakan berbagai teknik konseling untuk mendorong pengembangan diri konseli. Profesi erat kaitannya dengan pekerjaan. Akan tetapi tidak semua pekerjaan merupakan profesi. Pekerjaan disebut sebagai profesi jika memiliki fungsi sosial, yaitu pengabdian kepada masyarakat dan didalamnya tersimpul suatu keharusan kompetensi agar profesi tersebut menjalankan fungsinya dengan sebaik-baiknya. Untuk dapat dikatakan sebagai sebuah profesi, pekerjaan tersebut hendaknya memenuhi syarat-syarat sebuah profesi.
Syarat profesi menurut Mc Cully (dalam Prayitno, 1987: 101-102), antara lain: (1) para anggotanya menampilkan pelayanan sosial yang khusus/unik secara nyata, (2) penampilan pelayanan yang khusus itu pertama-tama didasarkan pada teknik-teknik intelektual, (3) masyarakat telah mempercayakan penyelenggaraan pelayanan yang khusus itu secara eksklusif kepada orang-orang yang tergolong kedalam pkerjaan itu yaitu mereka yang benar-benar berkualifikasi untuk pelayanan tersebut, (4) para anggotanya memiliki kerangka ilmu yang sama yang dapat dipelajari dan dikomunikasikan melalui proses intelektual di perguruan tinggi, (5) untuk dapat memasuki dan menyelenggarakan pekerjaan itu diperlukan pendidikan dan latihan dalam periode waktu yang memadai, (6) para anggotanya secara tegas dituntut memiliki kompetensi minimum melalui prosedur seleksi, pendidikan dan latihan serta lisensi maupun sertifikasi, (7) dalam menyelenggarakan pelayanan tersebut para anggotanya disertai tanggungjawab pribadi dalam menetapkan pertimbangan dan keputusan tentang apa yang akan dilakukannya berkenaan dengan penyelenggaraan pelayanan profesional yang dimaksud, (8) Baik sebagai perorangan maupun kelompok, para anggotanya lebih mementingkan pelayanan yang bersifat sosial daripada pelayanan yang mengejar keuntungan ekonomis, (9) Standar tingkah laku profesional bagi anggotanya dirumuskan secara tersurat (eksplisit) melalui kode etik yang benar-benar dijalankan, dan (10) selama berada pada pekerjaan itu, anggotanya terus menerus berusaha menyegarkan dan meningkatkan kompetensinya dengan jalan mengikuti secara cermat literatur dalam peerjaan itu menyelenggarakan dan memahami hasil-hasil riset serta berperan aktif dalam pertemuan sesama anggota.
Dalam profesi dikenal istilah profesional, profesionalitas, profesionalisasi. Pengertian dari profesional yaitu orang yang menyandang suatu profesi dan penampilan seseorang dalam melakukan pekerjaan yang sesuai dengan profesinya. Profesionalitas adalah sikap para anggota profesi terhadap profesinya serta derajat pengetahuan keahlian mereka miliki dalam rangka melakukan pekerjaannya. Profesionalisasi adalah proses peningkatan kualifikasi maupun kemampuan para anggota suatu profesi dalam mencapai kriteria yang standar dalam penampilannya sebagai anggota suatu profesi. Profesionalisasi merupakan serangkaian proses pengembangan keprofesionalan, baik dilakukan melalui pendidikan/latihan prajabatan (pre-service training) maupun pendidikan/latihan dalam jabatan (in-service training).
Bimbingan dan Konseling merupakan sebuah profesi, karena:
1. Memiliki layanan yang unik
Layanan yang diberikan oleh profesi Bimbingan dan konseling memiliki keunikan tersendiri yaitu layanan bersifat sosial, bertujuan untuk membantu konseli supaya tercapai kemandirian dalam pemahaman diri, penerimaan diri, pengarahan diri, dan perwujudan diri dalam mencapai tingkat perkembangan yang optimal dan penyesuaian diri dengan lingkungan. Layanan diberikan dengan menggunakan berbagai macam teknik sehingga mempersyaratkan dimilikinya pengetahuan dan keterampilan dalam melaksanakannya. Pendekatan yang dilakukan berbeda-beda untuk tiap siswa disesuaikan dengan jenis permasalahan yang dihadapi dan keunikan siswa. Dalam penyelenggaraannya, Bimbingan dan Konseling dilaksanakan dengan memegang teguh beberapa asas, yaitu asas kerahasiaan, kesukarelaan, keterbukaan, kekinian, kemandirian, kedinamikaan, kegiatan, keterpaduan, kenor-matifan, keahlian, alih tangan dan tut wuri handayani. Salahsatu layanan yang menjadi ciri khas dari profesi bimbingan dan konseling adalah layanan konseling.
2. Memiliki tenaga profesional (konselor)
Profesi bimbingan dan konseling dilaksanakan oleh tenaga profesional yang disebut dengan konselor. Persyaratan formal untuk menjadi konselor profesional yaitu minimal lulusan S1 bimbingan dan konseling, berpengalaman dalam melakukan praktik konseling selama dua tahun (melalui PPK), dan memiliki kecocokan pribadi (Radjah, 1993: 60-61). Kepribadian konselor sebagai tenaga profesional, seharusnya menunjukkan kualitas pribadi yang matang, empati dan penuh kehangatan, memiliki semangat altruistik dan tidak mudah sedih atau frustasi, sehingga konseli yang datang pada konselor dapat berharap bahwa keputusan mereka untuk mendapatkan bantuan pelayanan dalam konseling adalah tepat (Gladding, 2009: 34).
Sifat dasar konselor antara lain: empathy, genuineness, acceptance, open mindedness, mindfulness, psychological adjustment, relationship building, dan competence ( Neukrug, 2003: 15).
Wawasan konselor yaitu hendaknya konselor memiliki pengetahuan terkait dengan faktor sosio-kultural, dinamika tingkah laku, dan perkembangan manusia, teori kepribadian, teori dan teknik konseling individu, kelompok dan keluarga, keterampilan sistem interpersonal, mengetahui kode etik dan legal, inventori/tes yang berkaitan dengan vokasional (pekerjaan), pendidikan dan pribadi/ pembuatan saran interpersonal. Sedangkan untuk konselor lulusan program Doktor, hendaknya memiliki pengetahuan dan keterampilan konseling individu maupun kelompok, konsultasi, penelitian, pengetahuan dan keterampilan bimbingan karir, teori belajar, pelancaran tes dan evaluasi, statistik dan desain penelitian (Nugent, 1981: 10).
3. Layanan bersifat kemasyarakatan
Bimbingan dan Konseling dijalankan seiring usaha pendidikan, khususnya pendidikan di sekolah. Tujuan Bimbingan dan Konseling dan sekolah memiliki nilai kemasyarakatan. Masyarakat mengamanatkan tugas mendidik anak-anak kepada sekolahdan bimbingan dan konseling sebagai bagian dari program pendidikan sekolah mengemban amanat khusus bidang pengembangan pribadi dan usaha memajukan taraf kesejahteraan jiwa anak-anak. Peranan bimbingan dan konseling memiliki fungsi sosial yaitu fungsi untuk berlangsungnya mobilitas sosial dan fungsi diferensiasi sosial. Bimbingan dan Konseling memiliki peranan sentral dalam identifikasi potensi dan bakat anak, usaha pengembangan serta penyaluran dalam rangka pengembangan sumber daya insani terdidik.
4. Memiliki kode etik profesi
Kode etik berisi tentang kualifikasi dan kegiatan profesional konselor, hubungan kelembagaan, Praktik Mandiri dan Laporan kepada pihak lain, Ketaatan kepada profesi. Kode etik ini berfungsi untuk mengatur bagaimana seharusnya seorang konselor bertindak dalam layanannya.
5. Memiliki organisasi profesi
Organisasi profesi yang menaungi profesi bimbingan dan konseling bernama IPBI (Ikatan Petugas Bimbingan indonesia) berdiri pada tanggal 17 Desember 1975 di Malang dan pada tanggal 15-17 Maret 2001 berubah nama menjadi ABKIN (Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia) . ABKIN berfungsi sebagai pengikat profesi para konselor, melindungi konselor dalam melaksanakan tugasnya, serta melaksanakan standar profesionalisasi bimbingan dan konseling.Tujuan organisasi profesi yaitu untuk pengembangan ilmu, pengembangan pelayanan dan penegakan kode etik profesi.
6. Memiliki hak untuk penyelenggaraan dan pelayanan
Bimbingan dan konseling telah diakui keberadaannya oleh masyarakat. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya beberapa landasan hukum yang memperkuat pengakuan profesi bimbingan dan Konseling. Landasan hukum itu, antara lain: UU no. 2 tahun 1989 tentang sitem pendidikan nasional diikuti Perpem no. 28 dan 29 tahun 1990 (adanya pelayanan bimbingan pada satuan-satuan pendidikan), SK Menpan no. 84/1993 tentang jabatan fungsional guru dan angka kreditnya, SK Mendikbud dan Kepala BAKN no. 1433/1993 tentang petunjuk pelaksanaan jabatan fungsional guru dan angka kreditnya, SK Mendikbud no. 25/O/1995 tentang petunjuk teknis ketentuan pelaksanaan jabatan fungsional guru dan angka kreditnya, Undang- Undang no. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 6 (menetapkan konselor sebagai salah satu jenis kualifikasi pendidik).
7. Memiliki ilmu dan keterampilan khusus
Ilmu yang dimiliki adalah ilmu terkait dengan psikologi, sosiologi, antropologi, kesehatan, perilaku dan lain-lain. Ketrampilan khusus tersebut adalah keterampilan dalam melaksanakan konseling. Konseling dilakukan dengan teknik dan pendekatan yang berbeda-beda disesuaikan dengan jenis masalah dan karakteristik konseli.
8. Anggotanya senantiasa mengembangkan dirinya
Anggota profesi bimbingan dan konseling (konselor) senantiasa mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya dengan ikut serta dalam kegiatan seminar, lokakarya, workshop dan MGBK (Musyawarah Guru Bimbingan dan Konseling)

 

B. Sejarah Perkembangan Profesi Bimbingan dan Konseling
Bimbingan dan Konseling mulai dikenal di Indonesia pada tahun 1960 diawali dengan adanya wacana tentang bimbingan dan penyuluhan di tanah air. Pada tahun 1971 Berdiri proyek perintis sekolah pembangunan (PPSP) pada delapan IKIP menghasilkan Buku Pola dasar rencana dan Pengembangan Bimbingan penyuluhan pada PPSP. Pada tahun 1975 lahir kurikulum SMA 1975 yang salahsatunya memuat tenatng Buku pedoman Bimbingan dan Penyuluhan, dibentuknya organisasi profesi bimbingan bernama IPBI, tersusun AD/ART IPBI dan kode etik jabatan konselor. Tahun 1978 diselengarakan program PGSLP dan PGSLA Bimbingan dan Penyuluhan di IKIP tujuannya untuk menghasilkan tenaga bimbingan dan penyuluhan pendidikan yang berkualifikasi setaraf diploma (D2/D3) yang secara resmi diangkat oleh pemerintah untuk bekerja di sekolah.
Tahun 1989 dikeluarkan surat Kepmen Pendayagunaan aparatur negara no. 026/Menpan/1989 tentang angka kredit jabatan guru dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (ditetapkan secara resmi adanya kegiatan bimbingan dan penyuluhan di sekolah),dan Undang-Undang RI no. 2 tahun 1989 dan PP no. 28 dan 29 tahun 1990 secara tegas mencantumkan adanya pelayanan bimbingan pada satuan-satuan pendidikan. Tahun 1991-1993 dibentuk divisi-divisi IPBI (IPKON, IGPI, ISKIN) dan diperjuangkannya jabatan fungsional tersendiri bagi petugas Bimbingan di sekolah.
Tahun 1993-1996 diberlakukan SK Menpan no 84/1993 tentang jabatan fungsional guru dan angka kreditnya (nama Bimbingan dan Penyuluhan diganti menjadi Bimbingan dan Konseling), SKB Mendikbud dan Kepala BAKN no 1433/1993 tentang Petunjuk pelaksanaan jabatan fungsional guru dan angka kreditnya dan SK Mendikbud no 25/O/1995 tentang petunjuk teknis ketentuan pelaksanaan jabatan fungsional guru dan angka kreditnya. Pada tahun 1996 dimunculkan istilah BK Pola 17, S1 BK lulusan PPB diangkat menjadi guru pembimbing di sekolah, digalangnya kerjasama IPBI dengan Dirjen dikdasmen dan IKIP Malang dalam menyelenggarakan Sertifikasi kewenangan Testing bagi para profesional bimbingan dan konseling, serta dibentuk divisi baru yaitu IDPI dan IIBKIN.
Tahun 1996-2000 diterbitkan dan dilaksanakannya MGP, diterbitkannya majalah Suara Pembimbing, disusunnya sejumlah panduan untuk digunakan dalam pelaksanaan bimbingan dan konseling oleh guru pembimbing di sekolah. Disusun dan diterbitkannya SPP-BKS, Perubahan 10 IKIP Negeri menjadi Universitas Negeri dan dua STKIP Negeri menjadi IKIP Negeri, Jurusan PPB diubah menjadi Bimbingan dan Konseling, diselenggarakan program rintisan PPK, diberdayakannya UPBK (Unit Pelayanan Bimbingan dan Konseling) di perguruan tinggi.
Tahun 2001-2002 diselenggarakan kongres IX IPBI di Lampung mengubah nama IPBI menjadi ABKIN, dimulai langkah profesionalisasi tenaga kependidikan oleh Dirjen Dikti, disusun kompetensi guru pembimbing oleh Direktorat SLTP Dirjen Dikdasmen, dilanjutkan program rintisan PPK di Universitas Negeri Padang, diubahnya Suara Pembimbing menjadi Jurnal Bimbingan dan Konseling, dan diterbitkan jurnal konselor.
Tahun 2003-2005 dikeluarkan UU RI no. 20 tahun 2003 pasal 1ayat 6 yang menyatakan bahwa konselor merupakan salah satu kualifikasi pendidik, dikeluarkannya Naskah Dasar Standardisasi Profesi Konseling, Konvensi Nasional di Bandung diahas mengenai pembangunan profesi BK , penyusunan Panduan Bimbingan dan Konseling di Sekolah Berbasis Kompetensi, Izin Praktik bagi Konselor, Beasisw untuk Mahasiswa PPK, Pengembangan BK Pola-17 menjadi BK Pola-17 Plus. Pada tahun 2006 diberlakukan BK KTSP yang mengarah pada pengembangan diri siswa dan tahun 2013 diberlakukan kurikulum 2013 dimana arah kerja Bimbingan dan Konseling ditujukan pada arah peminatan siswa.

 

C. Profesi Bimbingan dan Konseling pada kurikulum 2013
Peran Konselor pada kurikulum 2013 semakin urgen, yaitu pada arah peminatan siswa. Siswa dibantu agar dapat memilih dan menentukan secara tepat arah minat kelompok mata pelajaran dan mata pelajaran yang akan diikutinya. Pelayanan bimbingan dan konseling arah peminatan dipahami sebagai upaya advokasi dan fasilitasi perkembangan peserta didik agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diuperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (arahan pasal 1 angka 1 UU No. 20 tahun 2003) sehingga mencapai perkembangan optimum.
Dalam melaksanakan arah peminatan kelompok mata pelajaran, konselor bekerja sama dengan guru mata pelajaran, dan wali kelas untuk mengidentifikasi kemampuan, bakat, minat dan kecenderungan pilihan masing-masing siswa serta dukungan dari orang tua sehingga akan dapat menjalani kehidupan dalam belajar yang sesuai dengan kekuatan dirinya, efektif, bermakna, kreatif, menyenangkan dan dinamis serta kemungkinan keberhasilan tinggi.Tujuan dari BK arah peminatan adalah mewujudkan “the right man on the right place”.
Konselor harus memiliki profesionalisme didalam menjalankan profesinya sehingga kinerjanya bermutu sesuai dengan sifat, tugas, dan kegiatannya. Untuk meningkatkan profesionalisme dibutuhkan profesionalisasi konselor yaitu proses peningkatan kualifikasi kompetensi konselor sebagai anggota profesi dalam mencapai kriteria standar dan dalam kinerjanya menjalankan tugas utama profesi. Profesionalisasi dilakukan melalui pendidikan/latihan prajabatan maupun pendidikan /latihan dalam jabatan. Pengembangan diri berkelanjutan merupakan wujud dari profesionalisasi konselor dalam rangka menjadikan dirinya kompeten dalam menjalankan tugasnya.
Pada kurikulum 2013 konselor hendaknya memiliki tujuh belas kompetensi dalam melaksanakan arah peminatan. Ketujuhbelas kompetensi tersebut diatur dalam permendiknas no. 27 tahun 2008 tentang SKAKK. Tujuh belas Kompetensi tersebut disebut sebagai “Kompetensi Pola 17 yang kemudian dirinci menjadi 76 kompetensi. Profesi konseling menjadi semakin kokoh, eksis dan kepercayaan publik (public trust) akan segera dapat diwujudkan dengan didukung oleh konselor sebagai tenaga profesional dengan mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan RI no. 27 tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor.
Konselor yang telah memenuhi standar kualifikasi akademik dan kompeten dalam mengelola kegiatan pelayanan konseling harus berfokus pada empat pilar kegiatan, yaitu: (1) Membuat perencanaan layanan dan kegiatan pendukung, (2) mengorganisasikan beberapa unsur dan sarana yang akan dilibatkan dalam kegiatan, (3) melaksanakan konseling dengan berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung, (4) mengontrol pelaksanaan pelayanan dalam bentuk penilaian hasil dan proses kegiatan serta mempertanggungjawabkan kepada pihak-pihak yang terkait. Pelayanan Bimbingan dan Konseling peserta didik diamanatkan dalam kurikulum 2013 sebagai bagian integral dari pelayanan bimbingan dan konseling secara keseluruhan pada setiap satuan pendidikan.
Konselor dikatakan mampu melaksanakan tugasnya secara profesional jika mampu mewujudkan hal-hal berikut, antara lain: (1) pelayanan konseling sebagai pelayanan sosial yang disertai oleh penyikapan sosial-altruistik, (2) pelayanan yang ditampilkan adalah unik, (3) Penampilan layanan atas dasar kaidah-kaidah intelektual, (4) Menjalankan kode etik profesional, dan (5) Wawasan terhadap body of knowledge konseling.

 

D. Permasalahan-Permasalahan terkait Bimbingan dan Konseling sebagai Profesi
Permasalahan yang terjadi di lapangan atau di lingkungan persekolahan terkait dengan Bimbingan dan Konseling sebagai profesi, antara lain: (1) Konselor dipandang sebagai polisi sekolah, yang ikut menangani masalah ketertiban, (2) Layanan yang diberikan (konseling) sama dengan curhat, tidak perlu teknik khusus sehingga pekerjaan konselor bisa dilaksanakan siapa saja, (3) Konseli datang kepada konselor untuk mendapatkan solusi, (4) Metode penyampaian informasi yang diberikan konselor hanya dengan metode ceramah saja/bercerita, (5) Konselor enggan melakukan referal atas permasalahan konseli yang sebenarnya membutuhkan penanganan oleh ahli lain. (6) Konseling cukup dilaksanakan dengan satu kali proses konseling.
Penyebab munculnya permasalahan tersebut salahsatunya adalah masih adanya guru BK di sekolah berasal dari kualifikasi akademik non-BK. Selain itu, kurangnya wawasan konselor terhadap body of knowledge konseling yaitu konsep mengenai “apa, mengapa dan bagaimana konseling itu” akibatnya konseling yang diberikan kurang mengajarkan kemandirian pada konseli, kurangnya wawasan mengenai teknik-teknik bimbingan kelompok yang memberikan informasi dengan berbagai metode seperti, diskusi, game, sosiodrama, simulasi, karya wisata, dan lain-lain. Akibatnya layanan keunikan dari Bimbingan dan Konseling tidak terlihat jelas.
Pemecahan Masalah ini yaitu: (1) Untuk meningkatkan wawasan terhadap body of knowledge konseling, maka konselor mengikuti Pendidikan Profesi Konselor, (2) Konselor melaksanakan tugas yang merupakan wewenangnya, (3) Konselor memperbanyak mengikuti kegiatan pengembangan keterampilan dan pengetahuan seperti workshoop, seminar maupun lokakarya, (4) Konselor memegang teguh kode etik profesi dalam menjalankan layanannya, dengan kata lain akan melaksanakan referal jika permasalahan siswa mengarah pada kewenangan ahli lain.

 

E. Kesimpulan.
Bimbingan dan Konseling sebagai profesi akan semakin kuat kedudukannya jika ditunjang oleh keprofesionalan konselor dalam melaksanakan layanan bimbingan dan konseling di sekolah. Dimana konselor tersebut sebelumnya telah memenuhi syarat formal, kepribadian, sifat dasar dan wawasan. Konselor yang telah memenuhi syarat akan menampilkan keunikan layanan Bimbingan dan Konseling dan selanjutnya keberadaan Bimbingan dan Konseling akan semakin dibutuhkan oleh masyarakat (memperoleh public trust dari masyara-kat).

 

Daftar Rujukan
—-. 2003. Materi Pelatihan Implementasi Kurikulum 2013: Bimbingan Konseling. 2013. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Badan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan).
Gladding, Samuel T. 2009. Counseling: A Comprehensive Profession (Sixth Edition). USA: Pearson Education International.
Neukrug, Ed. 2003. The World of the Counselor. Australia: Thomson Brooks/Cole
Nugent, Frank A. 1981.Professional Counseling: An Overview. California: Brooks/Cole Publishing Company.
Prayitno. 1987. Profesionalisasi Konselor dan Pendidikan Konselor. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Dirjen Dikti.
Radjah, Carolina Ligya. 1993. Orientasi Profesi Bimbingan dan Konseling. Malang: Depdikbud IKIP Malang (Proyek OPF).
Santoso, Djoko Budi. 2008. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Malang: Universitas Negeri Malang

PAST, PRESENT, AND FUTURE LAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING DI INDONESIA

Standard

A. Latar Belakang
Bimbingan dan Konseling merupakan bagian integral dari sistem pendidikan. Hal ini ditunjukkan dengan salah satunya yaitu bimbingan konseling yang pelaksananya adalah konselor, beserta guru bersama-sama memberikan kontribusi dalam pengembangan diri siswa agar tercapai perkembangan optimal. Bimbingan merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa dalam rangka upaya menemukan pribadi, mengenal lingkungan, dan merencanakan masa depan. Sedangkan konseling adalah alat yang paling penting dalam keseluruhan program bimbingan.
Istilah Bimbingan dan Konseling masih asing bagi sebagian orang meskipun Bimbingan dan Konseling sudah jelas sebagai bagian integral dari kurikulum pendidikan untuk siswa. Jika ada masyarakat yang mengetahui tentang BK, sebagian dari mereka beranggapan bahwa pelaksana BK (konselor) adalah polisi sekolah. Padahal jika dilihat dari sejarahnya, tidak ada peraturan atau hal-hal yang menyatakan bahwa BK bertindak sebagai polisi sekolah. Pengertian dan pemahaman mengenai Bimbingan dan Konseling akan lebih baik jika dimulai dengan pemahaman mengenai sejarahnya. Berikut dalam makalah ini disajikan mengenai sejarah Bimbingan dan Konseling, baik di Amerika maupun Indonesia.

 

B. Sejarah Bimbingan dan Konseling di Amerika
Bimbingan dan konseling di Indonesia berasal dari bangsa asing, yakni Amerika. Parsons (dalam Shrivastava, 2003: 3-6) memfokuskan tentang kecepatan perubahan sosial. Ia mengusulkan dan mengembangkan program occupational counseling bagi remaja yang mencari pekerjaan. Parson mengembangkan konseling kejuruan yang dapat digunakan individu untuk memenuhi kebutuhannya secara lebih efisien. Hal tersebut disebabkan adanya tuntutan dalam pekerjaan yang akan dilakukan individu. Parson juga disebut sebagai bapak bimbingan karena berhasil mengembangkan informasi mengenai pekerjaan.
Peran konselor pada program occupational counseling yakni memberikan penekanan pada kemauan dan kemampuan individu untuk berubah dan memenuhi tuntutan pekerjaan. Bahkan, Parson memiliki ketakutan mengenai adanya otomatisasi dan cybernation yang membuat individu tidak mau belajar dalam konsep yang tradisional. Dengan demikian, muncul kekhawatiran tentang kehidupan individu secara keseluruhan dan di masa depan. Alasan lain, disampaikan oleh Jesse B. Davis, pada tahun 1908 menambahkan bimbingan vokasional mencakup beberapa aspek bimbingan moral, pilihan kursus, berhubungan dengan aktivitas konseling kokurikuler, dan kepedulian terhadap sisi sosial kehidupan dengan menggunakan bimbingan kelompok. Walter Dill Scott dan Robert M. Yerkes mengembangkan tes selama Perang Dunia I dan dikembangkan secara luas pada Perang Dunia II. Perkembangan tes di sekolah-sekolah menyangkut tentang cacatan kumulatif dan pengenalan tes kecerdasan.
Informasi berbagai pekerjaan terus bermunculan sejak jaman Parson. Demikian pula perkembangan tes, berupa eksperimen, improvisasi, dan pemerikasaan ulang, sehingga Mental Measurements Yearbook diterbitkan selama lima sampai sepuluh tahun dan tidak diulang. Yearbook ini menjelaskan tentang pembaharuan pengembangan tes kecerdasan, kepribadian, dan bidang studi, serta mengevaluasi kegunaan dan konstruksi ilmiah. Pertumbuhan informasi dan tes secara signifikan telah mampu mengukur dan mencatat manusia jauh lebih terperinci. Namun, diberikan penekanan pada tahun 1930 bahwa data tes mengenai individu merupakan bagian dari studi klinis yang akan diperoleh melalui keterampilan konselor tentang minat, nilai, prasangka, harapan, dan aspirasi.
Konselor harus mampu menilai keefektifan antara penggunaan tes dan wawasan untuk memperoleh data individu. Pada tahun 1909, muncul gerakan mengenai kesehatan mental dan pengenalan bimbingan klinis anak, yang mencerminkan keprihatinan dalam bimbingan sekolah, terutama pelayanan konselor terhadap siswa, yang diberi nama National Committee for Mental Hygiene. Kesehatan mental dapat didefinisikan sebagai penyesuaian diri individu pada diri sendiri dan dunia pada umumnya secara efektif, puas, ceria, dan perhatian terhadap perilaku sosial, serta kemampuan untuk menghadapi dan menerima kenyataan hidup. The National Vocational Guidance Association (NVGA) ditemukan di USA tahun 1913 yang pada waktu itu terdapat tiga kebutuhan bimbingan yang diidentifikasi, yakni ekonomis, lebih efisien digunakan dan distribusi pekerja dalam industri; pendidikan, kursus yang tepat bagi siswa; dan sosial, ketahanan nilai sosial.
Asosiasi di organisasi diulang pada tahun 1920 yang mementingkan penekanan pada dasar. Terdapat tujuh cabang yang digunakan sebagai elemen federasi. Tahun 1952, telah dikembangkan 86 cabang. Anggotanya adalah pekerja bimbingan sekolah dasar dan menengah, perguruan tinggi konselor, personil pemerintah, industri, dan bisnis. Pada tahun tersebut, terdapat berbagai macam minat dan pemahaman ke bimbingan vokasional yang kemudian digabungkan dengan beberapa asosiasi yang memiliki fokus yang sama. The American Personnel and Guidance Association merupakan organisasi baru yang terdiri dari beberapa divisi yang memiliki beberapa jurnal yang telah diterbitkan, yaitu American College Personnel Association, Journal of College Student Personnel; Association for Counsellor Education and Supervision, Counsellor Education and Supervision (quarterly); National Vocational Guidance Association, Vocational Guidance Quarterly; Student Personnel Association for Teacher Education, The SPATE Journal (3 issues yearly); American School Counsellor Association, The School Counsellor (quarterly); American Rehabilitation Counselling Association, Rehabilitation Counselling Bulletin (quarterly); Association for Measurement and Evaluation in Guidance Newsletter (frequency open to need); dan National Employment Counsellors Association.
Komite penasehat presiden tentang pendidikan membuat rekomendasi bimbingan pada tingkat nasional pada tahun 1936. The George- Dean Act of 1936 menekankan kembali tujuan dari the Smith-Hughes Act of 1917 dalam mendukung pendidikan vokasional di sekolah. Kemudian, pada tahun 1946 diperluas aktivitasnya sebagai dukungan terhadap layanan bimbingan. The National Defense Education Act of 1958 menyediakan under Title V-A, dukungan bagi sekolah lokal dalam memberikan fasilitas yang terbaik, program testing, dan aktivitas bimbingan untuk sekolah menengah. Pemberian nama V-B untuk membentuk pendidikan bimbingan dan konseling bagi mereka yang ingin mempersiapkan atau meningkatkan kualifikasi mereka untuk konseling sekolah menengah. Selanjutnya, pada tahun 1964 tindakan tersebut direvisi untuk membuat ketentuan yang sama bagi sekolah dasar dan personilnya dengan menerbitkan materi mengenai anak berbakat, putus sekolah, dan potensi untuk putus sekolah, serta pengaruh budaya dengan memberikan penekanan pada konselor. Pada tahun 1966, terdapat minat yang kuat dalam menetapkan sebuah posisi dan kebijaksanaan dari peraturan dan persiapan konselor di sekolah dasar.
Pada abad 21, konseling mengalami perubahan yang sangat pesat karena terjadi pergeseran penelitian, teori, dan praktek. Kekuatan di dalam dan di luar profesi telah mengubah cara praktek konselor dalam memilih treatment, mengadakan penelitian, dan konsep mengenai klien. Konselor bekerja dalam area yang lebih luas dengan beberapa klien. Mereka menghadapi teknologi baru dan dilema etis yang telah tidak dianggap beberapa tahun yang lalu. Charles Gelso and Bruce Fretz menyatakan menghindari stagnan atau ketidakberubahan dan harus berubah. Konseling secara pasti mengalami perubahan. Isinya mencerminkan antara sejarah di masa lalu dan penerapan yang baru. Banyak topik yang menaruh minat pada praktek dan teori. Beberapa topik mencerminkan ide yang dapat diterima secara umum dan yang lainnya menjadi kontroversi. Beberapa pihak mendefinisikan banyak topik yang didiskusikan dan menunjukkan bagaimana pengaruh topik tersebut bagi konselor saat ini dan di masa yang akan datang. Selain itu, mereka juga menemukan banyak topik yang menghubungkan aplikasi pendekatan suatu treatment dan teknik terapi dalam hubungan konseling. Isinya terdiri dari penerapan khusus di area kesehatan, transisi kehidupan, assessment, pemuda atau keluarga, dan pendekatan treatment yang inovatif. Semua penerapan tersebut menjelaskan istilah treatment ke praktek saat ini dan juga best-practice. Lalu bagaimana kaitannya dengan sejarah BK di Indonesia? Berikut pembahasannya.

 

C. Sejarah Bimbingan dan Konseling di Indonesia
Pendidikan, administrasi, dan bimbingan merupakan pilar bangsa Indonesia, hal tersebut yang mendorong munculnya bimbingan dan penyuluhan di Indonesia, karena adanya kebutuhan untuk memperbaiki kualitas diri msyarakat Indonesia. Pemikiran tentang diadakannya bimbingan dan penyuluhan di Indonesia diawali pada tahun 1960, dinamakan bimbingan dan penyuluhan karean pada masa itu belum ditemukan istilah yang sesuai untuk menspesifikkan kerangka kinerja bimbingan dan konseling yang sebenarnya. Pemikiran tersebut merupakan salah satu hasil konferensi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (disingkat FKIP, yang kemudian menjadi IKIP) di Malang tanggal 20–24 Agustus 1960, dimana bimbingan dan penyuluhan masuk pada setting sekolah yang pada saat itu dinamakan bimbingan dan penyuluhan.
Penerapan BP yang dapat dilakukan secara inovatif, menyebabkan BP dapat diterima di Indonesia, tentu saja disesuaikan dengan budaya bangsa Indonesia. Pada tahun 1962 BP masuk ke sistem pendidikan di SMA, yang disebut SMA Gaya Baru. Penjurusan di SMA tidak lagi dilakukan di kelas I, melainkan dikelas II. Hal tersebut dikarenakan siswa kelas II, dianggap sudah mampu berpikir secara objektif untuk memilih program studi yang sesuai dengan kemampuannya. Kegiatan pengembangan pelayanan BP dilakukan dalam bentuk rapat kerja, penataran, dan lokakarya, sebab dari sini akan diperoleh pemikiran-pemikiran baru guna mengembangkan layanan BP pada waktu itu. Berhubungan dengan adanya BP di sekolah, maka terbentuklah jurusan BP di FIP IKIP, guna memasukkan mata kuliah BP dan melayani kebutuhan akademik individu yang tertarik untuk mempelajari BP. Kemudian, langkah-langkah konkrit lainnyapun dilakukan yakni anjuran diberlakukannya BP di sekolah-sekolah guna memenuhi perkembangan peserta didik, dan publikasi kepustakaan yang berkaitan dengan bimbingan dan penyuluhan.
Gerakan untuk memasyarakatkan BP disekolah dan di masyarakat Indonesia tidaklah mulus seperti yang diharapkan, terdapat beberapa kesulitan yang dialami, antara lain ketidakpedulian masyarakat dan penyelenggaraan BP yang belum merata di sekolah-sekolah. Semua masalah itu disebabkan karena masyarakat belum menyadari akan keberadaan BP di tengah-tengah mereka, mereka merasa asing dengan kegiatan “menceritakan masalah” yang dialami kepada individu lain. Hal tersebut wajar, sebab mereka baru pertama kali bertemu, harus memberikan kepercayaan mengenai masalahnya pada individu lain, yang belum diketahui latar belakangnya, yakni Guru BP.
Tahun 1970/1971 berdiri Sekolah Pembangunan yang didalamnya terdapat program BP Sekolah Menengah Pembangunan Persiapan (SMPP) yang dimaktubkan dalam SK Kemendikbud No. 0199/1973. SMPP merupakan bentuk persiapan dan peralihan yang kemudian dieksperimentasi dan menghasilkan pembaharuan pendidikan berupa Proyek Perintis Sekolah Pembanguan (PPSP) pada delapan IKIP, yaitu IKIP Padang, IKIP Jakarta, IKIP Bandung, IKIP Yogyakarta, IKIP Semarang, IKIP Surabaya, IKIP Malang, dan IKIP Manado. Melalui proyek ini bimbingan dan penyuluhan mengalami perkembangan dan berhasil disusun “Pola Dasar Rencana dan Pengembangan Bimbingan dan Penyuluhan“ pada PPSP. Kemudian, lahir Kurikulum 1975 untuk Sekolah Menengah Atas yang didalamnya memuat Pedoman Bimbingan dan Penyuluhan dan diadakannya konvensi nasional di Malang, diantaranya pembentukan organisasi IPBI dan diikuti beberapa kali konvensi dan kongres di Salatiga, Bandung, Jogjakarta, Denpasar, Padang, Surabaya, dan Lampung. Tahun 1978 diselenggarakan program PGSLP dan PGSLA Bimbingan dan Penyuluhan di IKIP (setingkat D2 atau D3) untuk mengisi jabatan guru bimbingan dan penyuluhan di sekolah yang sampai saat itu belum ada jatah pengangkatan guru BP dari tamatan S1 Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan, maka tidak jarang dijumpai guru BP yang berasal dari jurusan lain, seperti program studi bahasa.
Pengangkatan Guru Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah mulai diadakan sejak adanya PGSLP dan PGSLA Bimbingan dan Penyuluhan. Keberadaan Bimbingan dan Penyuluhan secara legal diakui tahun 1989 dengan lahirnya SK Menpan No 026/Menpan/1989 tentang Angka Kredit bagi Jabatan Guru dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Di dalam Kepmen tersebut ditetapkan secara resmi adanya kegiatan pelayanan bimbingan dan penyuluhan di sekolah. Kepmen tersebut juga didukung oleh lahirnya UU RI No.2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan PP No.28 dan 29 Tahun 1990 yang mencantumkan adanya pelayanan bimbingan pada satuan pendidikan. Akan tetapi pelaksanaan BP di sekolah masih belum jelas seperti pemikiran awal untuk mendukung misi sekolah dan membantu peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan mereka.
Tahun 1991-1993 terbentuk divisi IPBI yaitu Ikatan Pendidikan Konselor Indonesia (IPKON), Ikatan Guru Pembimbing Indonesia (IGPI), dan Ikatan Sarjana Konseling Indonesia (ISKIN). Selain itu, diperjuangkan pula jabatan fungsional bagi petugas bimbingan di sekolah. Pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah tidak jelas, parahnya lagi pengguna terutama orang tua murid berpandangan kurang bersahabat dengan BP. Muncul anggapan bahwa anak yang ke BP identik dengan anak yang bermasalah dan jika orang tua murid diundang ke sekolah oleh guru BP maka mereka berpikiran bahwa anaknya di sekolah memiliki masalah. Bahkan, tidak jarang guru BP dianggap sebagi polisi sekolah karena sering menghukum siswa-siswinya.
Tahun 1993-1996, lahir SK Menpan No. 83/1993 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kredit yang di dalamnya memuat aturan tentang Bimbingan dan Konseling di sekolah. Ketentuan pokok dalam SK Menpan tersebut dijabarkan lebih lanjut pada SK Mendikbud dan Kepala BAKN No.1433/1993 sebagai petunjuk pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Di Dalam SK Mendikbud ini istilah Bimbingan dan Penyuluhan diganti menjadi Bimbingan dan Konseling di sekolah karena kata penyuluhan maknanya menjadi ambigu ketika disejajarkan dengan bidang lain, seperti penyuluhan kesehatan.
Oleh karena itu digantilah kata penyuluhan menjadi konseling, yang maknanya lebih di spesifikkan kembali, dan kegiatan BK dilaksanakan oleh guru pembimbing, karena sesuai dengan kualifikasi dan kompetensinya dalam membantu siswa mencapai perkembangan optimal. Apabila kegiatan BK dilaksanakan oleh guru lulusan program studi bahasa inggris, tentu akan berakhir pada pemberian nasehat, dibandingkan menunjukkan jalan kepada peserta didik mengenai tindakan yang dapat dilakukan sesuai dengan kemampuannya. Di sinilah pola pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di sekolah mulai jelas karena sudah diberlakukannya penataran guru-guru pembimbing di SLTP dan SMU di PPPG Kejuruan Jakarta. Pada penataran tersebut muncul BK pola 17 serta dibentuknya divisi baru di IPBI.
Tahun 1996-2000, dibentuk himpunan guru-guru pembimbing BP yang diberi nama Musyawarah Guru Pembimbing (MGP), diterbitkannya majalah Suara Pembimbing oleh IPBI sebanyak setahun dua kali, disusun panduan pelaksanaan BP, diterbitkannya buku seri pemandu pelaksanaan bimbingan dan konseling di sekolah (SPP-BKS), dan adanya perluasan mandat yang berakibat pada munculnya program rintisan pendidikan profesi konselor. Tahun 2001-2002, diselenggarakan kongres IX IPBI di Lampung, adanya langkah profesionalisasi oleh DIKTI, disusun kompetensi guru pembimbing oleh Direktorat SLTP Dirjen DIKDASMEN, dilanjutkan program rintisan PPK di UNP, penggantian majalah Suara Pembimbing menjadi Jurnal BK, dan diterbitkannya jurnal Konselor.
Tahun 2003-2005, munculnya UU No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 1 ayat 6 yang menyatakan bahwa konselor sebagai tenaga pendidik, diberlakukannya standarisasi profesi konselor, adanya konvensi nasional di Bandung pada Bulan Desember 2003, penyusunan panduan BK di sekolah berbasis kompetensi, munculnya izin praktek bagi konselor pada tahun 2004, dan pengembangan BK pola 17 menjadi Konseling Pola 17 plus. Penggantian pola menjadi 17 plus bukannya tanpa tujuan, diharapkan pelayanan BK dapat mencakup seluruh lapisan kehidupan masyarakat. Pelayanan konseling harus mampu memberikan sumbangan terhadap aktualisasi KBK sejak tahun 2004/2005. Pendidikan profesi konselor yang diadakan di perguruan tinggi seperti UNP dan UNNES, bukannya sepi desas-desus. Terdapat anggapan masyarakat yang menyatakan bahwa pendidikan profesi merupakan proyek dari dosen BK, selain itu ada juga yang menganggap pendidikan profesi sebagai syarat untuk mendapatkan sertifikasi. Maka tidak jarang jika ada guru BK atau lulusan BK yang mengambil profesi hanya sebagai tuntutan gaya hidup, bukan karena tuntutan akademik yang harus dikembangkan.
Selain itu, terdapat pula lulusan BK yang mengambil profesi untuk dapat mendirikan izin praktek bagi konselor. Hal tersebut, sebenarnya baik, jika tujuannya memang benar-benar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam mencapai perkembangan yang optimal dan mengatasi permasalahan pribadi maupun sosial yang dihadapi. Namun, hal tersebut akan tidak baik, ketika tujuannya untuk memperoleh income dari kegiatan yang dilakukan, sebagai wujud dari penghargaan orang lain terhadap konselor dalam bentuk meteri.
Alih-alih membicarakan tentang kondisi ideal dan kenyataan, alangkah baiknya ketika para lulusan BK mulai belajar untuk menanyakan pada diri sendiri mengenai komitmennya untuk meningkatkan kualitas BK di Indonesia dalam memberikan pelayanan secara sukarela di sekolah atau masyarakat. Panduan BK di sekolah, masih disusun secara idealisme, menurut tuntutan globalisasi, bukannya disesuaikan dengan kondisi sekolah masing-masing. Guru BK harus mampu mengembangkan panduan BK di sekolah masing-masing yang diampu, sebab hanya guru BK disekolah tersebut yang paham dengan kondisi siswa-siswinya. Panduan yang disusun secara idealisme dapat digunakan sebagai kerangka acuan dalam penyusunan panduan BK yang sebenarnya. Oleh karena itu, tuntutan untuk meningkatkan profesionalisme guru BK dibutuhkan dalam kondisi tersebut.
Tahun 2005-2013, pada Permendiknas No.23/2006, kompetensi peserta didik yang harus dikembangkan melalui pelayanan BK adalah kompetensi kemandirian. Maksudnya adalah peserta didik dapat mengetahui, memahami, dan menentukan sendiri langkah-langkah atau tindakan yang akan dilakukan untuk mencapai perkembangan yang optimal dan merangsang individu agar secara mandiri dapat mengatasi sendiri masalah yang dihadapi. Selanjutnya, program pelayanan BK harus mampu dilaksanakan secara efektif, efisien, dan ekonomis, salah satunya dengan menggunakan teknologi berupa internet. Inilah tantangan yang harus dijawab dan dihadapi oleh konselor masa kini dan masa akan mendatang, sebab perkembangan teknologi yang semakin pesat, menuntut penguasaan IT bagi pelakunya, terutama konselor.
Salah satu media yang sering digunakan peserta didik untuk mencurahkan unek-unek di benaknya, yakni facebook, di mana individu senang membuat status yang menyatakan keresahan hatinya. Konselor juga perlu menganalisis hal tersebut, sebab dikhawatirkan, individu yang nampak baik-baik saja di sekolah, sebenarnya menyimpan banyak masalah yang belum terselesaikan dalam kehidupannya. Parahnya lagi, masalah tersebut lebih senang dibagikan lewat jejaring sosial dibandingkan dengan mengonsultasikannya kepada orang dewasa, yang dianggap layak untuk membantu mengatasi masalahnya, antara lain orang tua atau konselor. Akibatnya, sering dijumpai kasus remaja yang salah pergaulan disebabkan oleh pergaulan keliru yang dilakukan bersama temannya didunia maya.
Selain tuntutan menguasai IT, konselor saat ini dan di masa mendatang juga dituntut untuk memfasilitasi siswa dalam arah peminatan yang berkaitan dengan pendidikan dan kariernya yang secara eksplisit tercantum dalam Kurikulum 2013. Pelayanan bimbingan dan konseling tentang arah peminatan merupakan upaya untuk membantu siswa dalam memilih dan mendalami matapelajaran yang diikuti pada satuan pendidikan, memahami dan memilih arah pengembanagan karier, dan menyiapkan diri serta memilih pendidikan lanjutan sampai ke perguruan tinggi (Kemendikbud, 2013). Guru BK bukan menentukan kemana arah jurusan yang tepat bagi siswa sesuai dengan kemauannya atau kemauan orang tua, melainkan sesuai dengan kemampuannya dan kondisi psikologis lainnya yang mempengaruhi, seperti ketahanan kerja untuk mengerjakan soal matematika, ketika ingin memasuki jurusan IPA.
Proses peminatan yang difasilitasi oleh layanan bimbingan dan konseling tidak berakhir pada penetapan pilihan dan keputusan bidang atau rumpun keilmuan yang dipilih peserta didik di dalam mengembangkan potensinya, melainkan harus diikuti dengan layanan pembelajaran yang mendidik, aksesibilitas perkembangan yang luas dan terdiferensiasi, dan penyiapan lingkungan perkembangan/belajar yang mendukung. Pada konteks ini BK berperan dan berfungsi secara kolaboratif dan merupakan bagian integral dari keseluruhan upaya pendidikan dalam jalur pendidikan formal. Guru BK tidak bekerja sendiri, ketika berada di lingkungan sekolah. Banyak faktor lain yang saling berkait dalam kehidupan individu, seperti guru, orang tua, dan kurikulum. Hal tersebut juga dapat memberikan pengaruh pada kehidupan individu dalam mencapai tugas perkembangannya.
Ekspektasi kinerja konselor tidak menggunakan materi pelajaran dalam konteks layanan keahliannya, melainkan menggunakan proses pengenalan diri peserta didik (konseli) dengan memahami kekuatan dan kelemahannya dengan peluang dan tantangan yang terdapat dalam lingkungannya untuk menumbuhkembangkan kemandirian dalam mengambil berbagai keputusan penting dalam perjalanan hidupnya, sehingga mampu memilih, meraih, serta mempertahankan karier untuk mencapai hidup yang efektif, produktif, dan sejahtera (Kemendikbud, 2013). Adanya kenyataan tersebut, maka terdapat beberapa sekolah yang tidak mengharuskan guru BK untuk masuk di kelas, sebab tugas guru BK bukan untuk menjelaskan mengenai teoritik kepada individu, melainkan secara aplikatif dapat membantu individu terbebas dari gangguan yang menghambat perkembangan kepribadiannya.

 

D. Kesimpulan
Bimbingan dan konseling di Indonesia berasal dari bangsa asing, yakni Amerika. Pemikiran tentang diadakannya bimbingan dan konseling di Indonesia diawali pada tahun 1960 yang merupakan salah satu hasil konferensi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (disingkat FKIP, yang kemudian menjadi IKIP) di Malang tanggal 20–24 Agustus 1960, dimana bimbingan dan konseling masuk pada setting sekolah yang pada saat itu dinamakan bimbingan dan penyuluhan. BP semakin lama semakin berkembang dan masuk pada kurikulum pendidikan, serta BP berubah nama menjadi BK. BK menjadi bagian integral dari sistem pendidikan di Indonesia.

 

DAFTAR RUJUKAN

Frederick T. L. Leong (eds). 2008. Encyclopedia of Counseling. USA: SAGE Publications, Inc.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2013. Panduan Pelayanan Bimbingan dan Konseling Arah Peminatan Siswa. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Santoso, Djoko Budi. 2009. Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling. Malang: Tanpa penerbit.
Shrivastava, K.K. 2003. Principles of Guidance and Counselling. New Delhi: Madan Sachdeva for Kanishka Publishers.

SUPERVISI KONSELING MODEL REFLEKTIF

Standard

Supervisi konseling merupakan pusat pendidikan konselor dan perkembangan profesional konselor secara berkelanjutan. Meskipun peningkatan keterampilan adalah tujuan yang spesifik, proses supervisi juga mendorong kesadaran diri yang lebih besar dan mendorong sebuah identitas profesional dan pribadi yang terpadu terkait dengan peran dan tugas konselor (Holloway, 1995). Berbagai model telah diusulkan untuk membantu supervisor dalam konseptualisasi dinamika pengembangan konselor sebagai konteks belajar yang berbeda dari konseling (Littrell, Lee-Borden, & Lorenz, 1979; Loganbill, Hardy, & Delworth, 1982; Russell, Crimmings, & Prapaskah, 1984; Stoltenberg, 1981; Stoltenberg & Delworth, 1987; Yogev, 1982).
Sebuah tinjauan penelitian menyarankan bahwa (a) model teoritis silang untuk supervisi konseling menggambarkan counselors-in-training sebagai perkembangan yang berkesinambungan dalam meningkatkan tingkat emosional dan disonansi kognitif (Borders, 1990; McNeill, Stoltenberg, & Pierce , 1985; Rabinowitz, Heppner, & Roehlke, 1986; Tracey, Ellickson, & Sherry, 1989); (b) mengubah disonansi pengalaman counselor-training menjadi panduan yang bermakna untuk meningkatnya kompleksitas konseptual dan mengartikulasikan perbedaan antara pemula dan yang sudah berpengalaman (Borders, Fong-Beyette, & Cron, 1988; Cummings, Hallberg, Martin, Slemon, & Hiebert, 1990; Frontman & Kunkel, 1994; Haverkamp, 1994; Lutwak & Hennessy, 1982; Martin, Slemon, Hiebert, Hallberg, & Cummings, 1989; Morran, 1986); dan (c) ikatan belajar yang positif (hubungan supervisi) yang ditandai dengan tingkat kepercayaan dan dukungan adalah prasyarat bagi perkembangan supervisee (Carey, Williams, & Wells, 1988; Frankel, 1990; Heppner, 1994; Kennard, Stewart, & Gluck, 1987; Ladany & Friedlander, 1995; Piercy, 1990; Wark, 1995; Worthen & McNiell, 1996). Meskipun mengidentifikasi elemen-elemen perkembangan supervisee, peneliti telah mengabaikan bagaimana supervisi membantu konselor merekonstruksi pengalaman klinis mereka dalam kaitannya dengan perkembangan profesional mereka.
Tujuan artikel ini adalah untuk menyajikan sebuah model baru supervisi konseling. Model yang diusulkan mengintegrasikan teori pembelajaran reflektif dengan perkembangan supervisees dan hubungan supervisi. Kami mengusulkan bahwa kerangka pedagogis ini akan membantu supervisor bekerja dengan isu-isu kompleks dari hubungan supervisi.

 

A. Reflective Learning Diterapkan untuk Perkembangan Konselor
Dijelaskan dalam berbagai literatur bahwa pendidikan guru sebagai paradigma problem solving (Ross, 1989; Van Manen, 1977), praktek reflektif telah ditafsirkan dalam berbagai cara (Stuessy & Naizer, 1996). Pertama kali didefinisikan oleh Dewey (1938) sebagai “aktif, tekun, dan pertimbangan bijaksana dari suatu keyakinan atau bentuk pengetahuan yang diharapkan dalam menunjukkan alasan yang mendukungnya dan kesimpulan lebih lanjut yang mengacu padanya”. Reflective learning pada dasarnya adalah metamanagemen konsentrasi, pemahaman, dan pengaruh. Wilson, Shulman, dan Richert (1987) mendukung pendapat ini dan menambahkan bahwa profesional reflektif harus merekonstruksi peristiwa, emosi, dan prestasi dari pengalaman profesional.
Penekanan pada merekonstruksi pengalaman profesional merupakan pusat keyakinan Mezirow (1994) bahwa pembelajaran bermakna terjadi hanya melalui pemeriksaan asumsi diri, pola interaksi, dan operasi tindakan. Refleksi diri yang kritis, oleh karena itu, merupakan esensi pembelajaran transformasional. Hal ini diringkas oleh Tremmel (1993), yang menggambarkan Reflective learning sebagai “a dance-like pattern”, sekaligus terlibat dalam desain dan dalam memainkan berbagai peran dalam dunia virtual dan nyata, sementara pada saat yang sama, sisanya cukup terpisah untuk mengamati dan merasakan tindakan yang terjadi, dan untuk merespon. Schon (1 987) memandang hal ini sebagai knowing-in-action dan menjelaskan,
Ketika praktisi mencerminkan tindakan dalam kasus yang dia dianggap unik, memperhatikan fenomena dan permukaan pemahaman intuitif dari mereka, bereksperimen sekaligus eksplorasi, bergerak ke pengujian, dan pengujian hipotesis. Tiga fungsi yang dipenuhi oleh tindakan yang sama.

Dalam kerangka ini, konselor dianjurkan untuk mencerminkan momen tindakan ketika situasi tidak menampilkan diri seperti yang diberikan, dan arah klinis harus dibangun dari peristiwa yang membingungkan, mengganggu, dan tidak pasti (Schon, 1983). Ini adalah pengakuan ketidaknyamanan dalam menanggapi pengalaman profesional yang menyoroti proses pembelajaran reflektif dan menyediakan konteks analisis kritis terhadap asumsi dasar dan keyakinan tentang klien, perubahan, dan praktek seseorang. Memberikan konteks yang mendorong supervisee untuk rela mengeksplorasi pengalaman disonansi konseling dan “bergerak ke tengah situasi belajar, ke pusat keraguan sendiri” (Schon, 1987) adalah inti dari hubungan supervisi reflektif dan perlu bagi konselor untuk beralih ke tatanan yang lebih tinggi dari proses konseptual (Mezirow, 1994).
Reflective learning yang diterapkan pada pengembangan konselor dan supervisi dapat didefinisikan sebagai suatu proses bermakna di mana peserta merekonstruksi pengalaman konseling menggunakan repertoar pemahaman, gambar, dan tindakan untuk membingkai situasi mengganggu sehingga intervensi pemecahan masalah dapat dihasilkan. Dalam menafsirkan interpretasi baru atau revisi arti pengalaman seseorang sebagai panduan untuk bertindak (Colton & Sparks-Langer, 1993; Mezirow, 1994), tingkat kesadaran konselor melalui pengakuan inkonsistensi meningkat.
Reflective learning bergantung pada kualitas hubungan supervisi (Sexton & Whiston, 1994). Hal ini “interaksi dibangun” bahwa pembelajaran aktif terjadi dan pengetahuan tentang bagaimana mengubah perilaku berkembang (Mahon & Altmann, 1991). Ini berarti interaksi siklus supervisi membantu counselor-in-training karena mereka merefleksikan pengalaman konseling dalam supervisi, dan kemudian masuk kembali ke konteks konseling dengan perubahan yang berarti dalam persepsi dan praktek. Hubungan supervisi menjadi wadah untuk meninjau intensionalitas konselor, keyakinan, dan asumsi dasar peristiwa profesional yang membingungkan.
Dinamika siklus ini sebelumnya telah ditunjukkan melalui penelitian Neufeldt, Karno, dan Nelson (1996) dan Worthen dan McNeill (1996). Para penulis ini menemukan bahwa supervisi konseling berasal dari kondisi kausal ketidakpastian, yang dibahas dalam hubungan supervisi. Dalam hubungan ini, pemeriksaan ulang asumsi profesional membantu supervisee dalam mengembangkan metaperspektif dari proses konseling. Akibatnya, seorang sipervisor konseling ditantang untuk menciptakan konteks belajar yang meningkatkan keterampilan supervisee seperti mereka membangun kerangka yang relevan untuk merancang strategi yang efektif dalam bekerja dengan klien (Holloway, 1992).
Berikut ini adalah model yang menghubungkan prinsip-prinsip teori reflective learning dengan dinamika supervisi dan tahap pengembangan supervisi konseling. Ini adalah keyakinan kami bahwa apakah supervisi kontekstual, konseptual, atau klinis, ketidakpastian yang dialami oleh peserta pelatihan konselor menyediakan disonansi belajar yang diperlukan untuk mengembangkan keterampilan konseptual dan klinis dalam supervisi.

 

B. Supervisi berdasarkan Reflective Learning
Gambar 1 (lihat lampiran 1) menguraikan urutan perkembangan supervisee serta siklus interaktif reflective learning antara supervisor dan supervisee. Oleh karena itu, pengalaman sebagai disonansi diubah menjadi skema yang bermakna dan keterampilan konseling yang sesuai, supervisee berkembang dengan melibatkan diri dalam hubungan supervisi. Aliansi belajar ini digambarkan sebagai rangkaian empat tahap yang mewakili proses perkembangan supervisi konseling: orientasi kontekstual, pembangunan kepercayaan, pengembangan konseptual, dan kemandirian klinis. Setiap fase hubungan supervisi menggambarkan pengalaman peserta (supervisor dan supervisee) dan berfokus pada pengalaman reflective learning dari supervisee tersebut. Model ini merupakan dinamia perubahan yang menunjukkan perkembangan supervisees dan hubungan supervisi, yang pada gilirannya mengarah ke kemandirian klinis peserta pelatihan konselor. Deskripsi singkat dari masing-masing tahap dan dua tema yang relevan yang berlaku untuk supervisi konseling dan pendidikan konselor adalah sebagai berikut.
Tahap 1: Orientasi Kontekstual
Konselor pemula terganggu oleh rasa bersalah, cemas, perfeksionisme, kebingungan, dan kemarahan (Friedberg & Taylor, 1994), yang semuanya menantang supervisor untuk bekerja melalui pikiran dan perasaan ini sehingga mereka dapat mempromosikan pengembangan profesional. Pada fase ini, supervisee mengalami tingkat signifikan disonansi emosional dan kognitif saat mereka memasuki iklim konseling. Area fokus supervisi pada tahap ini adalah:

  1. Menghadapi rasa urgensi kontekstual peserta pelatihan dalam orientasi hubungan konseling dan alih tanggung jawab untuk kesejahteraan klien
  2. Mengatasi kesenjangan antara pemahaman akademis dan akuisisi keterampilan klinis
  3. Ambiguitas terkait penerapan prinsip-prinsip etis untuk hubungan konseling

Tahap 2: Membangun Kepercayaan
Mempersepsi supervisor konseling sebagai dukungan telah menunjukkan bukti pentingnya tingkat persepsi kepercayaan (Carey et al, 1988;. Frankel, 1990;. Kennard et al, 1987; Wark, 1995) dan pembelajaran dan pertumbuhan supervisee (Ladany & Friedlander, 1995; Worthen & McNeill, 1996). Mengembangkan dan mempertahankan aliansi belajar positif sangat penting untuk meningkatkan kesediaan supervisee merefleksikan disonansi pengalaman konseling dan juga pada tuntutan konseptual dan klinis yang penting untuk pengembangan konselor selanjutnya.
Tahap 3: Pengembangan Konseptual
Sebagaimana kepercayaan dialami dalam suasana supervisi, disonansi supervisee bergeser dari yang berhubungan dengan orientasi kontekstual ke ketidakpastian konseptual terkait dengan bekerja di sebuah lingkungan konseling. Pentingnya kompleksitas konseptual untuk proses transformasi disonansi pengalaman pelatihan awal ke dalam skema yang bermakna mewakili peserta pelatihan konselor ditunjukkan secara jelas dalam penelitian supervisi konseling sebelumnya (Borders & Fong, 1989; Borders et al, 1988;. Cunimings et al, 1990; Lutwak & Hennessy, 1982; Martin et al, 1989;. Morran, 1986). Kesimpulan penelitian ini, model ini menunjukkan bahwa hubungan supervisi harus mengarah pada disonansi konseptual perserta pelatihan sebelum dapat meningkatkan pemahaman tentang isu-isu klien dan perencanaan kasus.
Tahap 4: Kemandirian Klinis
Pada tahap akhir supervisi konseling ini, supervisee didorong, dilahirkan, dan didukung untuk mengembangkan kemandirian self-assessment dan menghasilkan kegiatan profesional yang berhubungan dengan konseling. Selain itu, hubungan supervisi menyediakan konteks di mana supervisee menjadi lebih percaya diri dalam pengambilan risiko perilaku profesional dan strategi yang berkaitan dengan hubungan konseling.

 

C. Penerapan dalam Supervisi Konseling dan Pendidikan
Tujuan supervisi konseling adalah untuk mempertahankan konteks relasional di mana supervisee mengubah disonansi pengalaman pelatihan menjadi panduan yang berarti untuk praktek profesional mereka. Hal ini dilakukan oleh supervisor yang dapat membangun dan memelihara dialog reflektif dengan supevisi supervisee. Dengan asumsi bahwa supervisee membutuhkan suatu cara untuk berpikir melalui teka-teki yang disajikan oleh klien (Ronnestad & Skovholt, 1993), supervisor dapat membantu peserta pelatihan konselor dalam mengembangkan keterampilan mereka dalam menghasilkan hipotesis dan berpikir sintetik dalam kaitannya dengan diri mereka sendiri dan hubungan konseling. Karakteristik dialog reflektif pengawas disajikan sebagai adalah suatu kerangka kerja praktis untuk menerapkan model hubungan supervisi konseling.

 

D. Dialog Supervisi Reflektif
Karakteristik utama dari dialog supervisi reflektif adalah berfokus pada tematik daripada pola isi laporan supervisee dari sesi konseling. Pengamatan tematik yang terbuka dapat mendorong pergeseran dari tinjauan konten ke percakapan supervisi yang berorientasi pada proses. Supervisor yang mengekspos peserta pelatihan konseling untuk simultan dan menjelaskan yang berlawanan dari dinamika klien/keluarga meningkatkan toleransi peserta pelatihan untuk menghasilkan dan menyeimbangkan beberapa hipotesis. Dialog supervisi yang lebih berfokus pada konten klien dapat menyebabkan pemecahan masalah dini oleh supervisor. Dinamika ini mempertahankan tingkat tertentu dari ketergantungan supervisee pada proses berpikir supervisor, yang pada gilirannya, menghambat kepercayaan supervisee dalam kemampuan konseptual sendiri.
Karakteristik kedua dialog reflektif adalah penekanan pada self-assessment. Sentral teori pembelajaran reflektif, proses internal ditandai dengan kemampuan peserta pelatihan untuk mencerminkan secara objektif pada proses konseling dalam kaitannya dengan kebutuhan klien. Supervisor mendorong peserta untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut mempromosikan self-assessment.

  1. Hipotesis apa yang mungkin untuk menjelaskan kebutuhan klien/keluarga?
  2. Apakah Anda memiliki keterampilan untuk mengatasi kebutuhan ini secara efektif dan etis?
  3. Jika tidak, apa yang perlu Anda lakukan untuk mengatasi kesenjangan ini?

Supervisi juga dapat mempromosikan self-assessment pada supervisee dengan mendorong (a) identifikasi tujuan mengenai isu klien dan proses konseling, dan (b) meningkatkan self-direction untuk mengidentifikasi kesenjangan profesional dan strategi untuk pengembangan keterampilan. Supervisor perlu mendorong supervisee untuk merenungkan “visi belajar profesional” mereka dengan peningkatan penilaian kritis, mengurangi self-judgment, dan meningkatkan kepemilikan untuk mengambil risiko profesional yang disengaja dan tepat.

 

E. Kerangka Supervisi Reflektif
Untuk membantu supervisor dalam menerapkan ajaran model ini ke pekerjaan mereka dengan supervisee, kerangka kerja pedagogis disajikan. Dialog reflektif tujuh langkah ini telah diartikulasikan dalam hubungannya dengan mengklarifikasi pertanyaan dan pernyataan supervisor (lihat lampiran 2).

 

F. Kesimpulan
Meskipun menggambarkan kualitas reflektif seperti self-monitoring (Haverkamp, 1994), self-instruksional kognisi (Borders et al, 1988;. Morran, 1986), dan pengembangan konseptual (Cummings et al, 1990;. Lutwak & Hennessey, 1982; Martin et al., 1989), penelitian supervisi konseling telah memberikan sedikit jalan mengidentifikasi strategi untuk meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan counselor-in-training. Kesenjangan yang dibahas dalam artikel ini dengan presentasi dari model supervisi konselor yang terintegrasi teori pembelajaran reflektif dengan prinsip-prinsip pembangunan perserta pelatihan konselor. Diharapkan bahwa penelitian masa depan akan menyelidiki intervensi fasilitatif yang digunakan oleh supervisor untuk lebih memahami bagaimana teori belajar reflektif dapat dikaitkan dengan dinamika supervisi konseling.
Rujukan

Ward, C.C., & House, R.M. 1998. Counseling Supervision: A Reflective Model. Counselor Education And Supervision, 38: 23-33.

LAMPIRAN

Lampiran 1

Untitled
Lampiran 2
Sebuah Kerangka Pengawas Reflektif
Langkah 1: Mendorong counselor-in-training untuk membayangkan pengalaman konseling baru-baru ini.
Langkah 2: Mendorong counselor-in-training untuk menguji pengaruh.
Apa yang Anda rasakan ketika membayangkan sesi konseling ini?
Penggambarannya. . . . Ini seperti. . .
Langkah 3: Mendorong penilaian kritis dari asumsi counselor-in-training.
Apa artinya bagi Anda untuk merasakan ini?
Apa saran yang ada berikan dari gambaran tersebut?
Bagaimana Anda menafsirkan apa yang terjadi untuk diri sendiri dan klien? Hipotesis Apa yang dapat Anda lakukan?
Ambil beberapa dugaan tentang niat Anda dalam acara konseling ini.
Langkah 4: Mendorong eksplorasi peran baru.
Bagaimana Anda ingin pengalaman ini menjadi berbeda (persepsi dan perilaku)?
Ambil beberapa dugaan tentang apa yang akan berbeda tentang Anda ketika Anda lebih di trek dalam peran Anda sebagai konselor berkaitan dengan sesi konseling ini.
Langkah 5: Merencanakan tindakan.
Apa yang Anda sadari yang membuat pergeseran dalam peran yang terjadi pada Anda (yaitu, hambatan untuk mengubah)?
Apakah pergeseran ini terjadi beberapa saat? Apa yang berbeda pada saat-saat itu?
Langkah 6: Mendapatkan pengetahuan dan keterampilan untuk implementasi.
Apa yang Anda perlu tahu/menyelesaikan/mengatasi hal ini terjadi?
Bagaimana Anda mungkin mengintegrasikan rencana ini ke peran konseling?
Langkah 7: Mencoba peran baru.
Bagaimana Anda akan tahu bila Anda telah berhasil mengintegrasikan peran baru ini ke peran Anda sebagai seorang profesional konseling?
Bagaimana orang lain akan tahu (klien, kolega, dll)?

KONSELING PENDEKATAN PSIKOANALISIS

Standard

A. Sejarah Perkembangan
Menurut Sharf (2012: 29) Sigmund Freud lahir pada 6 mei 1856 di kota Freiburg, Morovia sebuah kota kecil di Austria dan sekarang menjadi bagian dari Republik Ceko. Freud adalah anak pertama dari tujuh bersaudara dari Amalia dan Jacob Freud. Ketika Freud berusia 4 tahun ayahnya berdagang wool, memindah keluarganya ke Vienna untuk mencari keberuntungan dalam berbisnis. Dalam apartemennya yang ramai, Freud diberikan hak istimewa untuk belajar. Ibunya berharap besar kepada anaknya dan mendorong anaknya untuk belajar dan sekolah. Freud tidak hanya belajar bahasa Yunani, Latindan Hebrew, tetapi juga bahasa Inggris, Prancis, Italia dan Spanyol. Menurut Ellenberger (dalam Sharf, 2012: 29) Freud seringkali menjadi juara dikelasnya, dan lulus cum laude pada sekolah keduanya pada tahun 1866 sampai 1873.
Pada tahun 1873 Freud akhirnya melanjutkan studinya di ilmu kedokteran di University of Vienna dan berhasil menyelesaikan 8 tahun kemudian (Sharf, 2012: 29). Hanya 4 tahun setelah memperoleh gelar ilmu kedokteran di University of Vienna, Freud mendapat posisi prestisius sebagai dosen (Corey, 2009: 60). Freud kemudian menikah dengan Martha Bernays tahun 1886 dan dianugrahi 6 anak. Yang termuda adalah Ana Freud yang terkenal dengan teori child analyst, yang mana teorinya sangat berkontribusi untuk perkembangan psikoanalisis (Sharf, 2012: 30).
Menurut Corey (2009: 60) Freud mengabdikan sebagian besar hidupnya untuk mengembangkan psikoanalisis. Fase penting dalam hidupnya ketika Freud mengalami permasalahan emosional dalam dirinya. Selama setidaknya 40 tahun, Freud banyak mengalami gangguan psikosomatik. Dengan mengeksplorasi makna dari mimpinya, Freud memulai memahami dinamika perkembangan kepribadian.Freud pertama kali meneliti memori anak usia dini dan mengalami perseteruan kuat dengan ayahnya. Freud juga memanggil kembali perasaan seksual anak usia dini kepada ibunya, yang menarik hati, mencintai, dan protektif. Freud kemudian memformulasikan teorinya secara klinis dengan mengobservasi kinerja konseli sampai menganalisis masalahnya. Dari penelitiannya tersebut Freud menyimpulkan bahwa perilaku individu ditentukan oleh pengalaman masa kanak-kanak.
Banyak kontribusi lain dari teori psikoanalisis yang dikembangkan oleh Freud, seperti tingkat kesadaran dan konsep kepribadian yaitu id, ego, superego. Freud melalui tahap psikoseksual (oral, anal, dan palic) bahwa kejadian selama 5 tahun pertama, sangat menentukan perkembangan kepribadian (Sharf, 2012: 29).

 

B. Hakikat Manusia
Dalam psikoanalisis istilah insting dan dorongan seringkali digunakan bergantian. Akan tetapi istilah dorongan maknanya lebih luas (Sharf, 2012: 33). Freud memandang perilaku manusia ditentukan oleh dorongan irasional, motivasi-motivasi yang tidak sadar, dan dorongan biologis dan insting seperti bekembangnya tahap penting psikoseksual pada usia enam tahun pertama. Insting adalah pendekatan utama Freud. Meskipun pada awalnya digunakan istilah libido untuk bersinggungan dengan energi seksual, akan tetapi dalam perkembangannya meluas menjadi energi dari semua insting kehidupan. Insting ini bertujuan untuk membuat individu bertahan hidup, dan berorientasi pada pertumbuhan, perkembangan dan kreatifitas (Corey, 2009: 61).
Ketika berumur 60 tahun Freud mempostulatkan teorinya tentang insting kematian, yang mana menjabarkan tentang dorongan agresifitas (Sharf, 2012: 33). Kadang-kadang individu memanifestasi perilaku tidak sadar mereka ke kematian atau menyakiti mereka sendiri atau orang lain. Mengelola dorongan agresifitas ini adalah tantangan penting dalam perjalanan manusia. Dalam pandangan Freud, keduanya seksual dan dorongan agresifitas adalah determinasi yang sangat kuat mengapa individu bertindak seperti apa yang mereka lakukan (Corey, 2009: 61).

 

C. Perkembangan Perilaku

1) Struktur kepribadian
Menurut pandangan psikoanalisis, kepribadian manusia terdiri dari tiga sistem : id, ego, dan superego. Id adalah componen biologi, ego adalah komponen psikologi, dan superego adalah komponen sosial (Corey, 2009: 61).
a. Id
Id adalah sistem kepribadian yang sejati. Ketika bayi baru lahir, semuanya adalah id. Id adalah sumber utama energi psikis dan insting. Id tidak ada organisasi dan buta, menuntuk suatu hal, dan bersikeras (Corey, 2009: 61). Sebagai struktur entitas di dalam kepribadian individu, id berfungsi dalam prinsip kenikmatan dan proses pikiran yang pertama (Flanagan & Flanagan, 2004: 40).
b. Ego
Ego berhubungan dengan dunia luar dari realitas. Ego adalah yang memerintah, mengontrol dan mengatur kepribadian. Seperti “polisi lalu lintas” ego adalah yang menengahi antara insting dan lingkungan sekitar (Corey, 2009: 62). Menurut Sharf (2012: 35) dengan menunggu atau menunda prinsip kenikmatan, ego mengikuti prinsip realitas. Sebagai contohnya anak kecil belajar untuk makan daripada harus menangis langsung ketika kebutuhannya tidak terpenuhi. Berpikir realitas ini disebut dengan proses kedua, yang mana ditandai dengan perbedaan fantasi pada proses pertama. Menurut Flanagan & Flanagan (2004: 40) fungsi ego mencakup memori, problem solving, dan rasional atau proses berpikir logis.
c. Superego
Menurut Corey (2009: 62) superego adalah “komisi yudisial” dari kepribadian. Superego mencakup kode moral masyarakat, apakah tindakan individu yang bersangkutan baik atau buruk, benar atau salah.

2) Level kesadaran
Menurut Sharf (2012: 33) Freud membagi tiga tingkatan kesadaran : alam sadar, alam ambang sadar, dan alam bawah sadar. Alam sadar mencakup sensasi dan pengalaman seseorang yang disadari. Alam ambang sadar mencakup ingatan kejadian dan pengalaman yang dapat dengan mudah didapatkan kembali dengan usaha kecil. Alam bawah sadar adalah wadah ingatan dan emosi yang membahayakan kesadaran dan harus didorong jauh. Juga mencakup kebutuhan dan dorongan-dorongan yang tidak disadari.

3) Mekanisme pertahanan ego
Menurut Cloninger (2004: 45) ego menggunakan berbagai macam strategi untuk memecahkan konflik intrapsikis. Mekanisme pertahanan ego ini diambil jika ekspresi langsung dorongan id tidak dapat diterima superego atau berbahaya di dunia nyata.
Corey (2009: 64) menjelaskan macam mekanisme pertahanan ego sebagai berikut:
a. Repression
Repression (represi) adalah tindakan yang tanpa dikehendaki untuk mengusir pikiran serta perasaan yang menyakitkan, dan mengancam keluar dari kesadaran.
b. Denial
Denial (memungkiri) merupakan tindakan yang enggan untuk mengakui hal-hal yang dianggap dapat mempermalukan dan merugikan dirinya dengan cara mengacaukan apa yang sedang dipikirkan, dirasakan, atau dilihat dalam situasi tertentu Memungkiri ini salah satu bentuk defends mechanism yang paling sederhana.
c. Reaction formation
Salah satu bentuk defend mechanism dengan cara mengembangkan sikap-sikap atau perilaku sadar yang secara diametrik melawan keinginan-keinginan yang menganggu untuk melawan sikap negatifnya.
d. Projection
Proyeksi merupakan salah satu bentuk mekanisme pertahanan diri dengan menempelkan pada orang lain suatu keinginan dan impuls yang sebenarnya ada pada diri sendiri (impuls agresif).
e. Displacement
Merupakan usaha untuk menyalurkan impuls dengan menggeser dari objek yang mengancam kepada sasaran yang lebih aman.
f. Rationalization
Usaha untuk memberikan alasan-alasan logis untuk menghilangkan kecemasan-kecemasan yang dialaminya.
g. Sublimation
Usaha mengubah arah energi seksual atau sikap agresif menjadi perilaku yang kreatif.
h. Regression
Merupakan usaha mengatasi kecemasan atau ketakutan dengan situasi yang sedang dihadapinya dengan kembali ke fase-fase perkembangan sebelumnya.
i. Introjection
Usaha untuk menggabungkan atau menggunakan sistem nilai-nilai yang digunakan orang lain.
j. Identification
Usaha untuk menambah rasa harga diri dengan menyamakan dirinya dengan orang lain yang memiliki pengaruh dengan tujuan meningkatkan kualitas harga diri dan melindungi seseorang dari perasaan gagal.
k. Compensation
Usaha untuk menutupi kelemahan-kelemahan yang dimiliki dengan berpenampilan yang positif untuk menutupi keterbatasan-keterbatasan.

4) Tahap perkembangan psikoseksual
Freud (dalam Cloninger (2004: 50) menyatakan tahap perkembangan psikoseksual individu sebagai berikut:
a. Tahap oral (lahir – 12 bulan)
Pada masa ini individu organ yang mengalami tingkat kepuasan adalah daerah mulut dan bibir. Perilaku yang dilakukan individu adalah menghisap dan menelan makanan. Aktifitas selama tahap oral ini adalah oral-inkoporatif dan oral-agresif. Oral-inkoporatif merupakan stimulasi pada daerah mulut yang mengasikkan. Sedangkan oral-agresif merupakan kondisi dimana individu sudah mulai tumbuh gigi dengan melakukan aktifitas berupa menggigit.
b. Tahap anal (1 sampai 3 tahun)
Pada tahap ini ditandai kenikmatan pada daerah anus. Biasanya pada usia ini anak belajar untuk mengendalikan buang air dengan cara dilatih untuk melakukan toilet training.
c. Tahap Phallic (3 sampai 5 tahun)
Pada tahap ini kenikmatan berpusat pada alat kelamin. Individu mulai mengenali dan membedakan bentuk tubuh antara lak-laki dan perempuan. Selain itu, permasalahan pada tahap ini adalah konflik seksual yaitu pada anak laki-laki sangat mencintai ibunya dan menciptakan permusuhan dengan ayahnya hal ini biasa disebut dengan oedipus complex. Sebaliknya, anak perempuan cenderung menciptakan situasi yang mencintai ayahnya, dan cenderung menciptakan permusuhan dengan ibunya atau disebut dengan eletra complex.
d. Tahap Latency (5 tahun sampai masa puber)
Dimana ketertarikan pada Seksual beralih menjadi sosialisasi, dan anak-anak mengalihkan perhatian padahal yang lebih luas. Dorongan seks disublimasikan ke kegiatan sekolah seperti olahraga dan pramuka.
e. Tahap Genital (masa puber sampai masa dewasa)
Pada usia ini anak mulai tertarik pada lawan jenis, dan mulai memikul tanggung jawab sebaga orang dewasa. Dan mereka mencoba untuk menghindar dan bebas dari hubungan dengan orang tua, dan mengembangkan fase pribadi. Menurut freud, pada masa ini ada masa perkembangan identitas pribadi. Apabila hal ini tidak terjadi maka mengakibatkan krisis identitas diri.

5) Pribadi sehat dan bermasalah
a. Pribadi Sehat
• Dapat mengendalikan ego dengan baik.
• Dalam proses perkembangan tidak mengalami masalah-masalah yang sangat berat (perkembangan baik).
• Keinginannya tersalurkan secara wajar.
• Menerima keadaan lingkungannya.
b. Pribadi Bermasalah
• Tidak seimbangnya antara id, ego dan super ego
• Ketidakmampuan ego mengendalikan keinginan-keinginan dan tuntutan moral.
• Pengalaman masa anak-anak (khususnya 5 tahun pertama kehidupan) yang ditekan terus menerus maka akan dimasukkan ke dalam bawah sadar dan suatu saat dimasukkan kedalam alam sadarnya.
• Mengalami kecemasan-kecemasan, neurosis, dan histeria.

 

D. Hakikat Konseling
Secara umum hakikat konseling adalah mengubah perilaku. Dalam pendekatan psikonanalisa hakikat konseling adalah agar individu mengetahui ego dan memiliki ego yang kuat, yaitu menempatkan ego pada tempat yang benar yaitu sebagai pihak mampu memilih secara rasional dan menjadi mediator antara Id dan Superego. Konseling dalam pandangan psikoanalisis adalah sebagai proses re-edukasi terhadap ego menjadi lebih realistik dan rasional.

 

E. Kondisi Pengubahan

1) Tujuan
Menurut Hansen, Stevic & Warner (1977: 44) tujuan utama koseling dengan pendekatan psikoanalisis adalah membawa manusia mencapai kesadaran dengan merepresi dorongan yang menyebabkan individu mengalami kecemasan.

2) Sikap, peran, dan tugas konselor
Menurut Corey (2009: 69) tugas utama konselor adalah membantu konseli memperoleh kebebasan dalam mencintai, bekerja, dan bermain. Peran yang lain mencakup a) membantu konseli memperoleh kesadaran diri, ketulusan, dan hubungan personal yang lebih efektif, b) berurusan dengan kecemasan dengan jalan relistik, dan c) memperoleh kendali atas impulsif dan perilaku yang irasional.

3) Sikap, peran, dan tugas konseli
Menurut Corey (2009: 70) Konseli yang meminati konseling dengan pendekatan psikoanalisis klasik harus sanggup berkomitmen pada diri mereka untuk mengikuti proses konseling dengan intensif dengan waktu yang relatif lama. Setelah melakukan sesi tatap muka dengan konselor, konseli terlibat dalam proses asosiasi bebas yaitu mengungkapkan semua perasaan, pengalaman, asosiasi, ingatan, dan fantasi yang dialami konseli. Konseli besiap untuk mengakhiri sesi konseling ketika konseli dan konselor sama-sama setuju bahwa mereka telah memecahkan permasalahan yang dialami konseli.

4) Situasi hubungan
Dalam konseling psikoanalisis terdapat 3 bagian hubungan konselor dengan klien, yaitu aliansi, transferensi, dan kontratransferensi.
a. Aliansi yaitu sikap klien kepada konselor yang relatif rasional, realistik, dan tidak neurosis (merupakan prakondisi untuk terwujudnya keberhasilan konseling).
b. Transferensi yaitu pengalihan segenap pengalaman klien di masa lalunya terhadap orang-orang yang menguasainya, yang ditujukan kepada konselor yang merupakan bagian dari hubungan yang sangat penting untuk dianalisis dan membantu klien untuk mencapai pemahaman tentang bagaimana dirinya telah salah dalam menerima, menginterpretasikan, dan merespon pengalamannya pada saat ini dalam kaitannya dengan masa lalunya.
c. Kontratransferensi yaitu kondisi dimana konselor mengembangkan pandangan-pandangan yang tidak selaras dan berasal dari konflik-konfliknya sendiri. Kontratransferensi bisa terdiri dari perasaan tidak suka, atau justru keterikatan atau keterlibatan yang berlebihan, kondisi ini dapat menghambat kemajuan proses konseling karena konselor akan lebih terfokus pada masalahnya sendiri. Konselor harus menyadari perasaaannya terhadap klien dan mencegah pengaruhnya yang bisa merusak. Konselor diharapkan untuk bersikap relatif obyektif dalam menerima kemarahan, cinta, bujukan, kritik, dan emosi-emosi kuat lainnya dari konseli.

 

F. Mekanisme Pengubahan

1) Tahap-tahap konseling
Tahap konseling dengan pendekatan Psikoanalisis adalah sebagai berikut:
a. Opening phase (tahap pembukaan)

  • Rapport dan wawancara awal, menciptakan hubungan kerja dengan konseli
  • Asosiasi bebas dengan menggunakan katarsis
  • Tahap pembukaan ini terjadi pada permulaan interview hingga masalah konseli ditetapkan. Dangan mempelajari riwayat & perkembangan konseli, memahami fantasi, pikiran, perasaan, konflik ketidaksadaran, dan cara konseli mengatasi masalah
  • Di tahap ini dapat terjadi resisten dari konseli. Tahap krisis bagi konseli yaitu kesukaran dalam mengemukakan masalahnya dan melakukan transferensi
  • Bisa dilakukan analisis mimpi

b. Developing of transference (pengembangan transferensi)

  •  Pengembangan transferensi, perasaan konseli mulai ditunjukkan kepada konselor, yang dianggap sebagai orang yang telah menguasai di masa lalunya (significant figure person)
  • Jika pasien tampak sudah siap lalu dilakukan diskusi atau analisis mengenai dorongan dan konflik tidak disadari dari masa lalu yang mempengaruhi hingga masa kini.
  • Diperoleh insight alias gambaran terhadap masa lalu Konseli terutama pada masa kanak-kanaknya

c. Working through (bekerja melalui tranferensi)

  • Pengembangan hubungan transferensi konseli dengan konselor. Merealisasikan hal-hal yang diperoleh dalam tahap insight sehingga reaksi lebih adaptif. Bekerja melalui transferensi, mencakup mendalami pemecahan dan pengertian konseli sebagai seorang yang terus melakukan transferensi, untuk pemahaman diri konseli.

d. Resolution of transference (resolusi tranferensi)

  • Fase penutup (termination phase) dari konseling
  • Resolusi transferensi, memecahkan perilaku neurosis konseli yang ditunjukkan kepada konselor sepanjang hubungan konseling.
  • Jika konseli dan konselor merasa puas, tujuan utama konseling tercapai, makan transference dipahami dan berhasil sehingga mendapat insight baru atau kehidupan yang baru.

2) Teknik-teknik konseling
Menurut Corey (2009: 74) terdapat enam teknik dasar konseling psikoanalisis yaitu a) menegaskan analisis kerangka kerja, b) asosiasi bebas, c) interpretasi, d) analisis mimpi, e) analysis resistance, dan f) analysis tranference.
a. Menegaskan analisis kerangka kerja
Proses konseling psikoanalisis menekankan pada kerangka kerja tertentu yang ditujukan pada tercapainya tujuan konseling.
b. Asosiasi bebas
Yaitu mengupayakan konseli untuk menjernihkan atau mengikis alam pikirannya dari alam pengalaman dan pemikiran sehari-hari sekarang, sehingga konseli mudah mengungkapkan pengalaman masa lalunya.
c. Interpretasi
Yaitu mengungkap apa yang terkandung di balik apa yang dikatakan Konseli, baik dalam asosiasi bebas, mimpi, resistensi, dan transferensi Konseli. Konselor menetapkan, menjelaskan dan bahkan mengajar Konseli tentang makna perilaku yang termanifestasikan dalam mimpi, asosiasi bebas, resitensi dan transferensi.
d. Analisis mimpi
Yaitu konseli diminta untuk mengungkapkan tentang berbagai kejadian dalam mimpinya dan konselor berusaha untuk menganalisisnya. Teknik ini digunakan untuk menilik masalah-masalah yang belum terpecahkan. Menurut Freud, mimpi ini ditafsirkan sebagai jalan mengekspresikan keinginan-keinginan dan kecemasan yang tak disadari.
e. Analysis resistance
Resistensi berati penolakan, analisis resistensi ditujukan untuk menyadarkan Konseli terhadap alasan-alasan terjadinya penolakannya (resistensi). Konselor meminta perhatian Konseli untuk menafsirkan resistensi.
f. Analysis tranference
Transferensi adalah mengalihkan, bisa berupa perasaan dan harapan masa lalu. Dalam hal ini, konseli diupayakan untuk menghidupkan kembali pengalaman dan konflik masa lalu terkait dengan cinta, seksualitas, kebencian, kecemasan yang oleh konseli dibawa ke masa sekarang dan dilemparkan ke konselor.

 

G. Hasil – Hasil Penelitian
Hasil Penelitian psikoanalisis di masa kini contohnya penelitian mengenai “pengaruh katarsis dalam menulis ekspresif sebagai intervensi depresi ringan pada mahasiswa”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh katarsis yang sangat signifikan dalam menulis ekspresif terhadap depresi ringan pada mahasiswa. Hal ini menunjukkan bahwa pada mahasiswa yang mengalami depresi ringan, melalui menulis ekspresif pengalaman-pengalaman emosional sebagai katarsis atau pelepasan emosi dapat menurunkan tingkat depresi ringan mereka.

 

H. Kelemahan dan Kelebihan

1) Kelemahan
Teori psikoanalisis tidak lepas dari kritik tokoh-tokoh lain. Beberapa kelemahan teori psikoanalisis menurut Hall & lindzey (1970: 68) adalah Freud menjelaskan bahwa perilaku seseorang hanya disebabkan oleh dorongan-dorongan seksual. Kelemahan yang lain dari teori psikoanalisis adalah prosedur empiris validasi hipotesis yang dibuat oleh Freud. Ini ditunjukkan dengan observasi yang dilakukan Freud dalam kondisi yang tidak terkontrol. Freud mengakui bahwa dia tidak membuat langsung verbatim selama proses konseling, akan tetapi membuatkan beberapa jam setelah proses konseling. Selain itu teori psikoanalisis juga memiliki kelemahan dalam

2) Kelebihan
Beberapa kelebihan konseling pendekatan psikoanalisis menurut Shertzer & Stone (1980: 202) adalah a) Freud membuat jelas bahwa manusia sering berpikir dan berperilaku dengan dorongan yang tidak mereka akui, b) Freud berani dan tanggap melakukan observasi yang membuahkan teori kepribadian pertama dan teknik psikoterapi pertama yang efektif, c) Freud mengidentifikasi pengaruh dini bentuk perkembangan kepribadian yang berimplikasi pada perkembangan anak, d) Freud mengembangkan model mewawancara sebagai kendaraan konseling, e) Freud adalah salah satu yang pertama yang menekankan pentingnya sikap yang ditunjukkan konselor saat proses konseling, dan f) Psikoanalisis menyatakan sebuah sistem yang memiliki kesesuaian yang tinggi antara teori dan teknik.

 

Sumber Rujukan

Hall, C. S. & Lindzey, G. 1970. Theories of Personality. USA : John Wiley & Sons, Inc.
Cloninger, S. C. 2004. Theories of Personality : Understanding Person. New Jersey : Upper Suddle River.
Corey, G. 2009. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. USA : Thomson Brooks/Cole.
Flanagan, S. J., & Flanagan, S. R. 2004. Counseling and Psychotherapy Theories in Context and Practice. New Jersey : John Wiley & Sons, Inc.
Hansen, J. C., Stevic, R. R., & Warner, R. W. 1977. Counseling : Theory and Process. USA : Allyn and Bacon, Inc.
Qonitatin, N., Widyawati, S., & Asih, G. Y. 2011. Pengaruh katarsis dalam menulis ekspresif sebagai Intervensi depresi ringan pada mahasiswa. Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro, 9 (1).
Sharf, R. S. Theories of Psychotherapy and Counseling: Concepts and Cases. USA : Brooks/Cole.
Shertzer, Bruce & Stone, Shelley C. 1980. Fundamental of Counseling. Boston : Houghton Mifflin Company.

 

PUNISHMENT BY STIMULUS PRESENTATION

Standard

Hukuman kadang-kadang digunakan sebagai tindakan retribusi pada sebagian dari orang atau lembaga hukum, atau untuk memberikan “pelajaran bagi orang lain” tentang bagaimana berperilaku. Namun, sebagai prinsip perilaku, punishment bukan tentang menghukum orang tersebut; Punishment merupakan respon – konsekuensi kemungkinan yang dapat menekan frekuensi respon yang sama kedepannya.

 

  1. Definisi dan Hakekat Punishment

1.        Menjalankan punishment dan memahami efek punishment

Seperti reinforcement, ada dua istilah dalam punishment yaitu, behaviorconsequence, hubungan secara fungsional dilihat dari frekuensi terjadinya efek kedepannya. Punishment terjadi saat respon segera diikuti dengan perubahan stimulus yang menurunkan frekuensi pada respon yang sama kedepannya (Azrin & Holz, 1966). Menurunnya frekuensi respon yang diberi punishment karena diikuti oleh punishment tidak akan terlihat hingga perilaku timbul oleh perubahan stimulus yang diberi punishment telah berhenti. Karena dampak timbulnya perubahan stimulus hukuman diarah yang sama sebagai perubahan kedepannya dikarenakan punishment adalah respon konsekuensi (melemahnya perilaku yang di beri punishment) bekasnya dapat dengan mudah disalahartikan sebagai yang terakhir. Faktor lain yang berkontribusi terhadap sulitnya menentukan efektivitas sebenarnya dari punishment adalah bahwa penurunan tingkat respon sering dikacaukan oleh efek extinction yang disebabkan oleh penahanan reinforcement untuk perilaku bermasalah (sesuatu yang seharusnya merupakan bagian dari punishment berdasarkan intervensi jika sewaktu-waktu memungkinkan) (Iwata, Pace, Cowdery, & Miltenberger, 1994).

2.        Positive punishment dan negative punishment

Seperti reinforcement, punishment dapat dilakukan dengan salah satu dari dua jenis cara pengubahan stimulus. Punishment positif terjadi ketika presentasi stimulus (atau peningkatan intensitas stimulus yang sudah ada) segera mengikuti hasil perilaku saat menurunnya frekuensi perilaku. Punishment negatif mengenai pengakhiran stimulus sudah ada (atau penurunan intensitas stimulus yang sudah ada) segera mengikuti perilaku yang dihasilkan saat menurunnya frekuensi perilaku dimasa datang.

Cara mengubah perilaku dengan punishment negatif termasuk hilangnya kemungkinan bisanya reinforcers segera mengikuti perilaku (yaitu, response cost, sebuah prosedur mirip dengan denda) atau menghilangkan kesempatan untuk mendapatkan reinforcers tambahan untuk jangka waktu tertentu (misalnya, timeout dari reinforcement, prosedur mirip dengan dipinggirkan pemain selama pertandingan). Punihment negatif dalam bentuk response cost dan timeout.

Kunci untuk mengidentifikasi dan membedakan punishment positif bersamaan dan reinforcement negatif yang kemungkinan melibatkan kejadian stimulus aversif yang sama:

  1. Mengetahui dampak sebaliknya dari dua kemungkinan pada frekuensi tingkah laku kedepannya
  2. Menyadari bahwa dua perilaku yang berbeda harus terlibat karena samanya konsekuensi (yaitu, perubahan stimulus) punishment positif dan reinforcement negatif tidak bisa dijalankan untuk perilaku yang sama.

Pada sebuah kemungkinan punishment positif, stimulus tidak hadir sebelum respon dan disajikan sebagai konsekuensinya. Sedangkan pada kemungkinan reinforcement negatif, stimulus hadir sebelum respon dan dihapus sebagai konsekuensinya. Punishment adalah konsekuensi perilaku yang saling terkait, dan ancaman apa yang mungkin terjadi jika seseorang kemudian berperilaku dengan cara tertentu merupakan peristiwa antecedent untuk perilaku.

3.        Perbedaan efek dari punishment

Punishment tidak bekerja dalam ruang kontekstual yang hampa. Situasi stimulus yang di mana punishment terjadi memainkan peran penting dalam menentukan kondisi lingkungan di mana efek penekan hukuman akan diamati. Tiga kemungkinan istilah untuk fungsi hubungan operant termasuk punishment dapat dinyatakan seperti itu yang melibatkan reinforcement:

  1. Dalam situasi stimulus tertentu (S),
  2. Beberapa jenis perilaku (R), saat segera diikuti oleh
  3. Perubahan stimulus tertentu (Sp), menunjukkan frekuensi masa mendatang penurunan kejadian yang sama atau dalam situasi yang sama (Michael, 2004).

Jika punishment hanya terjadi dalam beberapa kondisi stimulus dan tidak pada orang lain (misalnya, seorang anak dimarahi saat ingin mengambil kue di toples sebelum makan malam, hanya ketika orang dewasa ada di dalam ruangan), dampak penekan punishment yang paling umum adalah dalam kondisi seperti itu (Azrin & Holz, 1966; Dinsmoor, 1952).

4.        Pemulihan setelah punishment

Ketika punishment dihentikan, efek penekanan saat merespon biasanya tidak permanen. Fenomena yang sering disebut pemulihan dari punishment, yang dianalogikan dengan extinction, kadang-kadang tingkat merespons setelah punishment dihentikan, tidak hanya akan kembali tetapi juga semakin melebihi tingkat di mana hal itu terjadi sebelum punishment (Azrin, I960; Holz & Azrin, 1962). Tingkatan respon sebelum diberi punishment akan sembuh seperti saat terjadinya punishment ringan ketika seseorang mampu membedakan kemungkinan punishment tidak ada lagi. Walaupun melemahnya respon yang berdampak pada punishment sering diperkuat sebelumnya ditempatkan pada extinction (Vollmer, 2002).

Michael (2004) menekankan bahwa perdebatan mengenai penggunaan punishment dalam penurunan perilaku. “Jangan menggunakan hukuman karena efeknya hanya sementara”. Tapi tentu saja argumen yang sama dapat digunakan untuk reinforcement bukan hanya punishment.

5.        Unconditioned dan conditioned punishers

Sebuah punisher adalah perubahan stimulus yang segera mengikuti terjadinya perilaku dan mengurangi frekuensi masa depan jenis perilaku tersebut.

a.         Unconditioned punishers

Suatu unconditioned punisher adalah stimulus yang menyajikan fungsi sebagai punishment tanpa dipasangkan dengan punishers lainnya (beberapa penulis menyebutnya primary punisher atau unlearned punisher sebagai persamaan kata untuk unconditioned punisher) karena unconditioned punishers adalah hasil dari evolusi sejarah dari spesies (phylogeny), semua anggota secara biologis yang masih utuh dari spesies yang lebih rentan terhadap punishment dengan unconditioned punishers yang sama.

Namun, hampir semua stimulus yang reseptor suatu organisme yang sensitif terhadap cahaya, suara, dan suhu, untuk beberapa nama dapat ditingkatkan ke titik bahwa penyampaiannya akan menekan perilaku meskipun stimulus berada di bawah kadar yang benar-benar menyebabkan kerusakan jaringan (Bijou & Baer, 1965).

Tidak seperti unconditioned reinforcers, seperti makanan dan air, yang tergantung pada efektivitas pembangunan operasi yang relevan, di bawah kondisi umumnya unconditioned punishers akan menekan perilaku yang mendahului pada mulanya. Sebagai contoh, suatu organisme tidak harus “kehilangan stimulasi listrik” untuk awal sengatan listrik yang berfungsi sebagai punishment. Namun, perilaku organisme yang baru saja menerima banyak sengatan dalam waktu singkat, terutama sengatan intensitas ringan, mungkin relatif tidak terpengaruh oleh sengatan lain.

b.        Conditioned punishers

Suatu conditioned punisher adalah sebuah perubahan stimulus berfungsi sebagai punishment sebagai hasil dari sebuah sejarah pengkondisian manusia. Beberapa penulis menyebutnya secondary punisher atau learned punisher sebagai sinonim untuk conditioned punisher. Suatu conditioned punisher memperoleh kemampuan yang berfungsi sebagai punisher melalui stimulus yang dipasangkan dengan satu atau lebih dari unconditioned atau conditioned punishers.

Misalnya, sebagai hasil dari pada awalnya atau sangat dekat waktu yang sama seperti sengatan listrik, perubahan yang sebelumnya netral, seperti bunyi terdengar, akan menjadi conditioned punisher yang mampu menekan perilaku segera mendahului bunyi ketika terjadi kemudian tanpa adanya shock (Hake & Azrin, 1965). Jika conditioned punisher yang berulang kali disajikan tanpa punisher yang mana awalnya dipasangkan, efektivitasnya sebagai punishment akan berkurang sampai punisher tidak ada lagi.

6.        Faktor yang mempengaruhi keefektifan punishment

Lima variabel-variabel berikut sebagai kunci untuk keefektifan punishment adalah kesegeraan punishment, intensitas punishment, jadwal atau frekuensi punishment, ketersediaan reinforcement untuk perilaku sasaran, dan ketersediaan reinforcement untuk perilaku alternatif.

a.         Kesegeraan

Efek penekanan yang maksimum diperoleh saat punisher terjadi sesegera mungkin setelah terjadinya respon sasaran. Semakin lama penundaan antara terjadinya respon dan terjadinya perubahan , semakin kurang efektifitas hukuman akan mengubah frekuensi respon yang relevan, tapi tidak banyak yang diketahui tentang batas tertinggi. (Michael, 2004, p. 36)

b.        Intensity/Magnitude (Kekuatannya/Besarnya)

Dasar penelitian menguji efek dari punishers dari berbagai intensitas atau kekuatannya (dalam hal jumlah atau durasi) telah melaporkan tiga temuan yang dapat diandalkan: (1) hubungan positif antara intensitas stimulus yang diberi punishment dan penekanan respon: maka semakin besar pula kekuatasn stimulus yang di beri punishmnet, semakin cepat dan benar-benar dapat menekan terjadinya perilaku (e.g., azrin & holtz, 1966); (2) pemulihan dari punishment berkorelasi negatif dengan intensitas menghukum: semakin intens punisher tersebut, semakin kecil kemungkinan respon itu akan terulang kembali ketika punishment dihentikan (e.g., hake, azrin, & oxford, 1967); dan (3) sebuah intensitas tinggi mungkin tidak efektif sebagai hukuman jika digunakan sebagai punishment, pada awalnya jika intensitas rendah dan secara bertahap meningkat (e.g., terris & barnes, 1969).

Apakah semakin banyak suatu stimulus dalam memberi punishment dapat menekan kejadian dari perilaku bermasalah? Lerman dan Vorndran (2002) merekomendasikan: Walaupun dalam memberi punishment harus cukup intensif untuk penerapan yang efektif, tidak boleh lebih intens dari yang diperlukan. Sampai diterapkan penelitian selanjutnya tentang kuatnya dilakukan, praktisi harus memilih kekuatan yang telah terbukti aman dan efektif dalam studi klinis, selama besarnya dianggap dapat diterima dan praktis oleh mereka yang akan menerapkan perlakuan (p. 443).

c.         Penjadwalan

Efek penekanan suatu sebuah punisher dimaksimalkan oleh jadwal hukuman yang berkelanjutan (FR 1) di mana setiap terjadinya perilaku yang diikuti oleh konsekuensi saat memberi punishment. Azrin dan Holz (1966) merangkum efek perbandingan punishment pada jadwal berkelanjutan dan berselang sebentar sebagai berikut:

Prosedur punishment berkelanjutan lebih dapat menekan daripada intermittent punishment (hukuman berselang sebentar) selama kemungkinnnya punishment dipertahankan. Namun, setelah kumunculan punishment telah dihentikan, punishment berkelanjutan memungkinkan pemulihan yang lebih cepat dari respon, mungkin karena tidak adanya punishment maka dapat dibedakan lebih cepat, (p. 415)

 

d.        Reinforcement untuk target sasaran

Efektivitas punishment dimodulasi oleh kemungkinan reinforcement mempertahankan perilaku masalah. Jika masalah perilaku ini terjadi pada frekuensi yang cukup untuk menimbulkan kekhawatiran, itu mungkin menghasilkan reinforcement. Jika respon sasaran tidak pernah diperkuat, maka “punishment akan jarang memungkinkan karena respon akan jarang terjadi” (Azrin & HolZ; 1966).

Jika reinforcement tidak dapat mengurangi atau menghilangkan perilaku bermasalah dengan cara pengukuhan, maka punishment akan lebih efektif. Extinction menjalankan dan mempercepat dapat dicapai hanya dengan prosedur menghilangkan yang mustahil pada semua peristiwa memperkuat yang dihasilkan dari gerakan dengan wilayahnya. Beberapa metode reduksi lainnya, seperti punishment harus digunakan.

e.         Reinforcement untuk perilaku alternatif

Holz, Azrin, dan Ayllon (1963) menemukan bahwa punishment tidak efektif dalam mengurangi psychotic behavior ketika perilaku itu satu-satunya sarana yang pasien bisa dicapai reinforcement. Namun, ketika pasien bisa memancarkan respon alternatif yang mengakibatkan reinforcement, maka punishment efektif dalam mengurangi perilaku mereka yang tidak pantas.

7.        Kemungkinan efek samping dan masalah Punishment

Berbagai efek samping dan masalah seringkali berhubungan dengan penerapan punishment, termasuk munculnya respon emosional yang tidak diinginkan dan agresi, seperti  escape dan avoidance,  dan tingkat peningkatan masalah perilaku di bawah kondisi non punishment (misalnya,  Azrin & Hok 1966, Hutchinson,  1977; Linscheid & Meinhold, 1990).

 

  1. Reaksi emosional dan agresif

Punsihment kadang-kadang membangkitkan reaksi emosional dan agresif yang dapat melibatkan kombinasi dari perilaku responden dan operant terkondisi. Punihment, terutama punishment positif dalam bentuk aversive stimulation, mungkin menimbulkan perilaku agresif pada responden dan komponen operant (Azrin & Holz, 1966). Contohnya, seorang mahasiswa yang dihukum dengan keras mungkin mulai melempar dan menghancurkan material yang ada dalam jangkauannya. Atau, mencoba untuk menyerang orang yang memberikan hukuman. Meskipun peneliti dasar, penggunaan punishers secara intens, telah menghasilkan responden dan operant agresi pada hewan bukan manusia, tapi banyak penelitian terapan hukuman melaporkan tidak ada bukti agresi (misalnya, Linscheid & Reichenbach, 2002: Risley, 1968).

  1. Melarikan diri dan menghindar

Melarikan diri dan menghindar adalah reaksi alami untuk emulasi tidak menyenangkan. Perilaku melarikan diri dan menghindar terdiri dari berbagai bentuk, beberapa di antaranya mungkin menjadi masalah lebih besar dari perilaku sasaran yang dihukum. Misalnya, seorang mahasiswa yang ditegur berulang kali karena bekerja ceroboh atau datang ke kelas terlambat. Seseorang mungkin berbohong, menipu, menyembunyikan, atau menunjukkan perilaku yang tidak diinginkan lainnya untuk menghindari hukuman. Orang terkadang melarikan diri menghukum lingkungan dengan mengambil obat-obatan atau alkohol, atau hanya dengan “tuning out”.

Ketika intensitas punisher meningkat, kemungkinan melarikan diri dan menghindar juga meningkat. Sebagai contoh, dalam sebuah studi yang mengevaluasi efektivitas sebuah gagang rokok yang dirancang khusus yang dialiri sengatan listrik kepada pengguna sebagai intervensi untuk mengurangi merokok, Powell dan Azrin (1968) menemukan bahwa “ketika intensitas punishment meningkat, durasi menurun dimana subjek akan tetap berhubungan dengan kontinjensi, akhirnya intensitas dicapai di mana mereka menolak untuk mengalami hal itu sama sekali “(hal. 69). Melarikan diri dan menghindar adalah efek dari punishment, seperti reaksi emosional dan agresif, dapat diminimalkan atau dihilangkan sama sekali dengan menyediakan respon alternatif yang diinginkan individu untuk perilaku masalah, baik menghindari pengiriman hukuman dan memberikan penguatan.

  1. Behavioral contrast

Reynolds (1961) memperkenalkan istilah behavioral contrast untuk merujuk pada fenomena di mana perubahan dalam satu komponen dari rencana, beberapa meningkatkan atau menurunkan laju dalam merespon yang disertai dengan perubahan tingkat respons pada arah yang berlawanan dari yang lain, komponen berubah dari rencana. Behavioral contrast dapat terjadi sebagai akibat dari perubahan reinforcement atau kepadatan punishment pada salah satu komponen dari berbagai rencana (Brethower & Reynolds, 1962; Lattal & Griffin, 1972). Sebagai contoh, behavioral contrast pada punsihment terdapat dalam bentuk umum berikut: (a) respon yang terjadi pada tingkat yang sama pada dua komponen dari beberapa rencana (misalnya, merpati mematuk kunci backlit, yang bergantian antara biru dan hijau, reinforcement yang diberikan ketika burung mematuk kedua warna kunci, dan akhirnya burung mematuk burung yang lain yang memiliki kesamaan warna kunci); (b) respon pada satu komponen rencana dihukum, sedangkan respon pada komponen lain terus dibiarkan begitu saja (misalnya, mematuk pada kunci biru dihukum, dan mematuk pada kunci hijau dibarkan, sehingga ini akan menghasilkan reinforcement untuk mematuk pada kunci hijau); (c) tingkat respon menurun pada komponen dihukum dan kenaikan pada komponen dihukum (misalnya, mematuk pada kunci biru ditekan dan mematuk pada kunci hijau meningkat meskipun mematuk pada produk kunci hijau tidak lebih penguatan dari sebelumnya).

  1. Punishment melibatkan modeling yang tidak diinginkan

Sebagian besar pembaca sudah familiar dengan contoh orangtua yang memukul anak, dengan mengatakan, “Ini akan mengajarkan Anda untuk tidak memukul teman bermain Anda!” Sayangnya, anak mungkin lebih cenderung untuk meniru tindakan orang tua, bukan par­kataan orang tua. Lebih dari dua dekade penelitian telah menemukan korelasi kuat antara anak-anak yang mengalami hukuman berat dengan perilaku antisosial dan gangguan perilaku sebagai remaja dan orang dewasa (Patterson, 1982; Patterson, Reid, & Dishion, 1992; Sprague & Walker, 2000). Meskipun penggunaan taktik yang tepat dari perubahan perilaku didasarkan pada prinsip punishment tidak melibatkan perlakuan kasar atau interaksi pribadi yang negatif, praktisi harus memperhatikan (1969) nasihat Bandura dalam hal ini:

Siapa saja yang berusaha untuk mengendalikan respon bermasalah harus menghindari pemodelan bentuk hukuman dari perilaku yang tidak hanya melawan efek dari pelatihan langsung tetapi juga meningkatkan kemungkinan bahwa pada kesempatan masa depan individu dapat menanggapi menggagalkan antarpribadi dengan cara meniru, (hal. 313)

  1. Negative reinforcement menghukum perilaku agen

Negative reinforcement menjadi alasan untuk digunakan secara luas (terlalu sering tidak efektif dan tidak perlu) dan ketergantungan (kebanyakan terbimbing) punishment dalam membesarkan anak, pendidikan, dan masyarakat. Ketika si A memberikan teguran atau konsekuensi permusuhan lainnya ke si B untuk nakal, efek langsung sering penghentian perilaku mengganggu, yang berfungsi sebagai negative reinforcement untuk perilaku si A. Atau, seperti Ellen Reese (1966), meringkas, “punisment memperkuat Punisher” (hal. 37). Alber dan Heward (2000) menggambarkan bagaimana kontinjensi alami di tempat kerja di sebuah kelas khusus bisa memperkuat penggunaan teguran oleh guru untuk perilaku mengganggu sementara merusak penggunaan pujian dan perhatian untuk perilaku yang tepat.

Memperhatikan siswa ketika mereka berperilaku tidak sesuai (misalnya, ”Carlos, Anda perlu duduk sekarang !”) diberikan negative reinforcement oleh penghentian segera perilaku yang tidak pantas (misalnya, Carlos berhenti berjalan sekitar dan kembali ke tempat duduknya). Akibatnya, guru lebih mungkin untuk menemui gangguan siswa di masa depan…. Meskipun beberapa guru harus diajarkan menegur siswa untuk menangani kenakalan, banyak guru perlu meningkatkan frekuensi mereka untuk memuji prestasi siswa. Perilaku guru yang memuji biasanya tidak diperkuat seefektif perilaku guru yang menegur. Memuji siswa untuk perilaku yang sesuai biasanya menghasilkan efek langsung anak terus melakukan pekerjaan ketika dipuji. Meski memuji siswa untuk bekerja secara produktif pada sebuah tugas dapat meningkatkan kemungkinan masa depan perilaku itu, tidak ada konsekuensi langsung bagi guru. Sebaliknya, menegur siswa sering menghasilkan perkembangan dalam dunia guru (jika hanya sementara) yang berfungsi sebagai negative reinforcement yang efektif untuk menegur, (hlm 178-179).

Meskipun teguran mungkin tidak efektif dalam menekan frekuensi perilaku masa depan, efek langsung menghentikan perilaku menjengkelkan adalah penguatan kuat yang meningkatkan frekuensi yang guru akan mengeluarkan teguran saat berhadapan dengan kenakalan.

 

  1. Contoh Intervensi Positive Punishment
  2. Teguran

Contoh pertama intervensi positive reinforcement adalah teguran. Penyampaian teguran lisan menyusul terjadinya kenakalan adalah tanpa diragukan lagi bentuk paling umum dari positive reinforcement yang dicoba. Namun, sejumlah studi telah menunjukkan bahwa menegur seperti “Tidak!” atau “Stop! jangan lakukan itu!” segera disampaikan pada terjadinya perilaku dapat menekan respon selanjutnya (Balai et al, 1971; Jones & Miller, 1974; Sajwaj, Culver , Hall, & Lehr , 1972; Thompson et al, 1999). Meskipun penggunaan teguran dalam upaya untuk menekan perilaku yang tidak diinginkan telah meluas, sangat sedikit studi yang meneliti efektivitas teguran sebagai punishers. Hasil dari serangkaian percobaan oleh Van Houten, Nau, Mackenzie-Keating, Sameoto, dan Colavec-Chia (1982) dirancang untuk mengidentifikasi variabel yang meningkatkan efektivitas teguran sebagai punishers untuk perilaku yang mengganggu di kelas menemukan bahwa (a) teguran disampaikan dengan kontak mata dan pemahaman yang kuat dari pundak siswa lebih efektif daripada teguran tanpa komponen nonverbal, dan (b) teguran yang disampaikan di dekat siswa lebih efektif daripada teguran disampaikan dari seberang ruangan.

Guru yang berulang kali mengingatkan murid-muridnya untuk duduk dengan suara yang keras, “DUDUK!”. Ketika perintah dikeluarkan sekali, siswa lebih cenderung untuk mengikuti. Jika perintah diberikan berulang kali, siswa dapat melihat frekuensi meningkat, dan teguran secara bertahap akan kehilangan efeknya sebagai sebuah Punisher. Sebuah teguran dengan suara keras, bagaimanapun, belum tentu lebih efektif daripada teguran dinyatakan dengan suara normal. Sebuah studi oleh O’Leary, Kaufman, Kass, dan Drabman, 1970) menemukan bahwa teguran yang tenang yang terdengar hanya 3 anak lebih efektif dalam mengurangi perilaku yang mengganggu dari teguran keras yang bisa didengar oleh banyak anak-anak di kelas.

  1. Response blocking

Response blocking adalah intervensi secara fisik secepat mungkin setelah orang mulai mengeluarkan perilaku masalah atau “block” penyelesaian respon. Response blocking telah terbukti efektif dalam mengurangi frekuensi beberapa perilaku bermasalah (Lalli, Livezy, & Kates, 1996; Lerman & Iwata, 1996; Reid, Parsons, Phillips, & Green, 1993). Disamping mencegah terjadinya respon dengan menggunakan paling sedikit kontak fisik dan menahan diri, terapis mungkin mengeluarkan teguran lisan atau prompt untuk berhenti terlibat dalam perilaku (Hagopian & Adelinis, 2001).

Lerman dan Iwata (1996) menggunakan response blocking dalam menangani chronic hand mouthing (kontak antara setiap bagian tangan dan bibir atau mulut) Paulus. Ia seorang pria 32 tahun dengan keterbelakangan mental yang mendalam. Seorang terapis duduk dibelakangnya dan memblokir upaya untuk meletakkan tangannya di mulutnya. Paul tidak dicegah dari membawa tangannya ke mulutnya, namun, terapis memblokir tangan memasuki mulut dengan menempatkan telapak tangannya sekitar 2 cm di depan mulut Paulus (hal. 232).

  1. Contingent exercise

Contingent exercise adalah intervensi di mana orang tersebut perlu untuk melakukan respon yang tidak secara topografi terkait dengan perilaku bermasalah. Latihan kontingen telah ditemukan efektif sebagai hukuman untuk stimulasi diri, stereotip, mengganggu, agresi, dan membahayakan diri (Luiselli, 1984). Latihan kontingen sebagai Punisher Luce, Delquadri, dan Salam (1980) menemukan bahwa pengulangan kontingen olahraga ringan pada perilaku agresif oleh dua anak laki-laki dengan cacat berat dikurangi menjadi mendekati tingkat nol.

  1. Overcorrection

Overcorrection adalah teknik penurunan perilaku di mana tergantung pada masing-masing terjadinya perilaku bermasalah, pelajar diwajibkan untuk terlibat dalam perilaku effortful yang secara langsung atau secara logis berhubungan dengan masalah. Awalnya dikembangkan oleh Foxx dan Azrin (1972, 1973; Foxx & Bechtel, 1983) sebagai metode untuk mengurangi perilaku mengganggu dan maladaptif orang dewasa dengan retardasi mental dalam pengaturan kelembagaan. Overcorrection menggabungkan efek supresi dari punishment dan efek edukatif praktek positif. Overcorrection termasuk salah satu atau kedua dari dua komponen: restitution dan positive practice.

Dalam overcorrection restitutional, bergantung pada perilaku bermasalah, pelajar perlu untuk memperbaiki kerusakan yang disebabkan oleh perilaku masalah dengan mengembalikan lingkungan ke kondisi semula dan kemudian terlibat dalam perilaku tambahan yang membawa lingkungan ke kondisi jauh lebih baik daripada sebelum perilaku tersebut. Orang tua menerapkan overcorrection restitutional dengan seorang anak yang berulang kali membawa lumpur ke lantai dapur mungkin membutuhkan anak untuk pertama menyeka lumpur dan membersihkan sepatunya dan kemudian untuk koreksi berlebihan efek kelakuan buruknya dengan mengepel sebagian lantai dan memoles sepatunya.

Azrin dan Foxx (1971) menggunakan overcorrection restitutional dalam program toilet training dengan mengharuskan orang yang mengalami menjatuhkan bajunya, mencuci pakaiannya, menggantung sampai kering, mandi, berpakaian dengan pakaian bersih, dan kemudian membersihkan WC. Azrin dan Wesolowki (1975) menghilangkan mencuri makanan oleh orang dewasa keterbelakangan mental yang dirawat di rumah sakit dengan mengharuskan mereka untuk kembali tidak hanya makanan yang dicuri, atau bagian yang tersisa, tetapi juga membeli item tambahan makanan untuk diberikan kepada korban.

Pada positive practice overcorrection, kontingen pada terjadinya perilaku bermasalah, pelajar diwajibkan untuk berulang kali melakukan bentuk yang benar dari perilaku, atau perilaku yang tidak sesuai dengan perilaku bermasalah, untuk jangka waktu atau jumlah respon tertentu. Positive practice overcorrection memerlukan komponen edukatif dalam hal itu membutuhkan seseorang untuk terlibat dalam perilaku alternatif yang tepat. Orang tua yang anaknya membawa lumpur ke dalam rumah bisa menambahkan komponen praktik positif dengan meminta dia untuk berlatih menyeka kakinya di luar pintu dan memasuki rumah selama 2 menit atau 5 kali berturut-turut. Overcorrection yang mencakup restitutional dan positive practice overcorrection membantu mengajarkan apa yang harus dilakukan selain apa yang tidak boleh dilakukan.

Ketika positive practice efektif untuk menekan perilaku bermasalah, belum jelas mekanisme perilaku bertanggung jawab untuk perubahan perilaku. Punishment dapat mengakibatkan penurunan frekuensi respon, karena orang tersebut terlibat dalam perilaku untuk berusaha sebagai konsekuensi dari perilaku bermasalah. Penurunan frekuensi perilaku bermasalah sebagai hasil dari positive practice juga merupakan fungsi dari peningkatan frekuensi perilaku yang tidak kompatibel, perilaku yang benar yang diperkuat dalam repertoar seseorang sebagai hasil dari praktik berulang dan intensif. Azrin dan Besalel (1999) mengemukakan bahwa alasan mengapa praktek positif efektif bervariasi tergantung pada apakah perilaku masalah adalah “sengaja” atau hasil dari defisit keterampilan:

Positive practice mungkin efektif karena ketidaknyamanan dan usaha yang terlibat, atau karena memberikan pembelajaran tambahan. Jika kesalahan anak disebabkan oleh kesengajaan, upaya ekstra yang terlibat dalam praktek yang positif akan mencegah misbehaviors masa depan. Tetapi jika perilaku tersebut merupakan hasil belajar yang tidak memadai, anak akan menghentikan perilaku-atau kesalahan-karena latihan intensif dari perilaku yang benar, (hal. 5).

Meskipun prosedur khusus untuk menerapkan overcorrection sangat bervariasi tergantung pada perilaku bermasalah dan dampaknya terhadap lingkungan, seting, perilaku alternatif yang diinginkan, dan keterampilan peserta didik, beberapa pedoman umum dapat disarankan (Azrin & Besalel, 1999; Foxx & Bechtel, 1983; Kazdin, 2001; Miltenberger & Fuqua, 1981):

  1. Segera setelah terjadinya perilaku bermasalah (atau penemuan efek), dengan tenang, tanpa emosi nada suara, memberitahu pembelajar bahwa ia telah bertingkah dan memberikan penjelasan singkat mengapa perilaku harus dikoreksi. Jangan mengkritik atau memarahi. Overcorrection memerlukan konsekuensi logis untuk mengurangi kejadian perilaku masalah masa depan; kritik dan omelan tidak meningkatkan efektivitas taktik dan dapat membahayakan hubungan antara pelajar dan praktisi.
  2. Memberikan instruksi lisan eksplisit yang menggambarkan urutan overcorrection yang dilakukan pelajar.
  3. Melaksanakan urutan overcorrection sesegera mungkin setelah perilaku bermasalah telah terjadi. Ketika keadaan mencegah segera memulai urutan overcorrection, memberitahu peserta didik saat proses overcorrection akan dilakukan.
  4. Memantau seluruh aktivitas overcorrection Menyediakan jumlah minimal respon prompt, termasuk bimbingan fisik yang lembut, diperlukan untuk memastikan bahwa pelajar melakukan urutan overcorrection seluruhnya.
  5. Menyediakan pelajar dengan umpan balik minimal untuk respon yang benar. Jangan memberikan terlalu banyak pujian dan perhatian terhadap pelajar selama urutan overcorrection.
  6. Memberikan pujian, perhatian, dan bentuk lainnya mungkin reinforcement untuk pelajar setiap kali dia “spontan” melakukan perilaku yang tepat selama kegiatan. (Meskipun secara teknis bukan bagian dari prosedur overcorrection, memperkuat perilaku alternatif merupakan pelengkap dianjurkan untuk semua punishment-based interventions).

Praktisi harus menyadari beberapa potensi masalah dan keterbatasan yang terkait dengan overcorrection. Pertama, overcorrection adalah padat karya, prosedur memakan waktu yang memerlukan perhatian penuh dari praktisi mengimplementasikannya. Kedua, untuk overcorrection efektif sebagai punishment, waktu yang pelajar habiskan dengan orang yang memantau urutan overcorrection harus tidak memperkuat. Ketiga, seorang anak yang sering bertingkah mungkin tidak mengeksekusi daftar panjang pembersihan perilaku hanya karena ia diperintahkan untuk melakukannya. Azrin dan Besalel (1999) merekomendasikan tiga strategi untuk meminimalkan kemungkinan penolakan untuk melakukan urutan overcorrection: (1) mengingatkan peserta didik tindakan disipliner apa yang akan dilakukan dan, jika penolakan terus berlanjut, maka menjatuhkan sanksi; (2) membahas perlunya koreksi sebelum perilaku bermasalah terjadi; dan (3) membuat koreksi sebagai harapan dan kebiasaan rutin untuk setiap perilaku yang mengganggu. Jika anak menolak dengan keras atau menjadi agresif, overcorrection mungkin bukan pengobatan yang layak. Pelajar dewasa harus secara sukarela membuat keputusan untuk melakukan rutinitas overcorrection.

  1. Contingent electric stimulation

Contingent electric stimulation sebagai punishment melibatkan penyajian stimulus listrik segera menyusul terjadinya perilaku bermasalah. Meskipun penggunaan stimulasi listrik sebagai pengobatan kontroversial, Duker dan Seys (1996) melaporkan bahwa 46 penelitian telah menunjukkan bahwa contingent electric stimulation dapat menjadi metode yang aman dan sangat efektif untuk menekan perilaku yang merugikan diri sendiri yang mengancam jiwa. Salah satu prosedur yang paling ketat diteliti dan hati-hati diterapkan untuk menerapkan punishment oleh stimulasi listrik untuk pukulan yang ditimbulkan sendiri ke kepala atau wajah adalah Self-Injurious Behavior Inhibiting System (SEBIS) (Linscheid, Iwata, Ricketts, Williams, & Griffin, 1990; Linscheid, Pejeau, Cohen, & Footo-Lenz, 1994; Linscheid & Reichenbach, 2002). The SIBIS terdiri dari modul sensor (dipakai di kepala) dan modul stimulus (dipakai di kaki atau lengan) yang berisi penerima radio, sebuah baterai 9 V, dan sirkuit untuk waktu stimulus listrik . Di atas ambang batas pukulan ke wajah berdampak pada modul sensor yang mengirimkan sinyal radio ke penerima dalam modul stimulus yang pada gilirannya menghasilkan nada yang terdengar diikuti oleh stimulasi listrik (84 V, 3,5 mA) untuk 0,08 detik.

 

  1. Pedoman Menggunakan Punishment dengan Efektif

Penelitian dan aplikasi klinis telah menunjukkan bahwa punishment dapat secara cepat dalam mengatasi perilaku bermasalah. Punishment menjadi pengobatan pilihan ketika: (a) perilaku bermasalah menghasilkan cedera fisik yang serius dan harus ditekan dengan cepat, (b) intervensi berbasis reinforcement tidak mengurangi perilaku bermasalah ke tingkat yang dapat diterima secara sosial, atau (c) reinfocers mempertahankan perilaku bermasalah tidak dapat diidentifikasi (Lerman & Vorndran, 2002). Jika keputusan dibuat menggunakan intervensi berbasis punishment, langkah-langkah harus diambil untuk memastikan bahwa stimulus menghukum seefektif mungkin. Pedoman berikut ini akan membantu para praktisi menerapkan punishment dengan efektivitas optimal dan meminimalkan efek samping yang tidak diinginkan.

  1. Pilih Punishers yang efektif dan tepat
  2. Penilaian punisment

Semakin cepat suatu punishment efektif dapat diidentifikasi maka semakin cepat dapat diterapkan untuk mengurangi perilaku. Data dari penilaian punishment akan mengungkapkan besar atau intensitas punishment yang diperlukan untuk menekan perilaku, memungkinkan praktisi untuk memberikan intensitas punishment terendah yang efektif.

  1. Gunakan punishment yang efektif

Kualitas atau efektivitas dari Punisment adalah relatif terhadap sejumlah variable masa lalu dan saat ini yang mempengaruhi subjek. Secara umum peneliti telah menemukan bahwa semakin besar intensitas (besar atau jumlah) dari punishment maka akan semakin efektif untuk perubahan perilaku. Besar punishment merupakan hal yang penting karena subjek dapat beradaptasi dengan punishment yang diberikan sehingga diupayakan punishment diberikan secara meningkat.

  1. Gunakan punishers yang bervariasi

Efektivitas reinsforcement dapat merubah tingkah laku dengan menyajikan reinsforcement secara berulang. Menggunakan punishment yang bervariasi dapat membantu mengurangi efek kebiasaan melakukan perbuatan yang tidak sesuai.

  1. Memberikan Punisment dengan segera

Menghukum perilaku yang tidak pantas secepatnya atau segera akan lebih efektif dari pada menunggu sampai rantai perilaku telah selesai.

  1. Punish each instance of the behavior initially

Hukuman yang paling efektif bila mengikuti setiap tanggapan. Hal ini penting supaya perubahan perilaku tetap sesuai target.

  1. Jadwal untuk pemberian punishment

Meskipun hukuman yang paling efektif bila diberikan segera mengikuti setiap terjadinya masalah tetapi pada kenyataannya praktisi tidak punya banyak waktu untuk mengurus setiap kemunculan perilaku (O’Brein & Karsh 1990). Oleh karena itu praktisi beranggapan bahwa pemberian jadwal hukuman secara berkelanjutan menjadi hal yang tidak efektif. Beberapa studi telah menemukan bahwa ketika kita memberikan hukuman dan subjek telah melakukan perbaikan maka intensitas hukuman dapat di kurangi.

  1. Use mediation with a response-to-punishment delay

Seperti reinsforcement, punishment yang diberikan setelah respon akan lebih efektif dari pada disajikan setelah periode waktu yang telah berlalu sejak respon terjadi. Konsekuensi bagi tingkah laku bermasalah sering tertunda, kita sering tidak dapat memberikan punishment setelah perilaku itu terjadi. Hukuman juga mungkin akan tertunda ketika individu secara aktif menolak atau menghindar. Dalam beberapa kasus, masalah perilaku terjadi terutama karena tidak adanya orang yang menghukum. Dalam kajian mereka tentang dasar dan terapan literature hukuman, Leman dan Vorndran (2002) menemukan bahwa salah satu bentuk mediasi yaitu dengan mengumpulkan rekaman-rekaman dari perilaku anak yang mengganggu kemudian setelah anak diberi penjelasan maka anak dapat diberikan hukuman.

  1. Melengkapi punishment dengan intervensi lain

Analisis perilaku terapan biasanya tidak menggunakan hukuman sebagai intervensi tunggal, mereka melengkapi hukuman dengan intervensi lain seperti deferensial reinsfercement dan extinction. Peneliti secara konsisten mengungkapkan bahwa efektivitas hukuman meningkat ketika pelajar dapat membuat tanggapan positif lain untuk menghindari hukuman. Dalam sebagian besar keadaan perilaku diterapkan analisis harus memasukan deferensial reinsforcement (DRA, DRI, DRO dan DRL) dan extinction kedalam program perubahan tingkahlaku.

  1. Bersiaplah untuk efek samping negatif dari punishment

Sulit untuk memprediksi efek samping yang mungkin timbul dari hukuman (Reese, 1966). Pengubahan perilaku bermasalah dengan hukuman dapat mengakibatkan munculnya perilaku yang tidak diinginkan lainnya. Misalnya seseorang yang mendapat hukuman kemudian muncul perilaku agresi. Meskipun hukuman mungkin juga tidak menghasilkan efek samping yang tidak diinginkan, praktisi harus waspada terhadap masalah seperti melarikan diri atau penghindaran, ledakan emosi. Olehkarena itu harus mmpunyai rencana untuk menanggulangi kejadian itu terjadi.

  1. Rekaman, grafik dan evaluasi data harian

Pengumpulan data dalam sesi awal pemeberian hukuman sangat penting. Hampir semua studi hukuman telah menyepakati bahwa prubahan perilaku akan terjadi dengan segera apabila hukumannya efektif. Data pertama dari kondisi hukuman dalam bentuk grafik akan memberikan bukti empiris mengenai efek hukuman. Apabila dari data yang kita kumpulkan digambarkan bahwa tidak terjadi perubahan perilaku maka disarankan perlu melakukan penyesuaian intervensi agar menjadi lebih efektif. Ketika data menujukan bahwa ada perubahan perilaku menjadi lebih baik maka hukuman dapat dihentikan.

 

  1. Pertimbangan Etis Mengenai Penggunaan Punishment
  2. Hak klien untuk aman

Berasal dari sumpah Hipokrates (Hippocrates 460 bc-377 SM) etika dan tanggung jawab untuk setiap penyedia jasa manusia untuk tidak membahayakan. Oleh karena itu, setiap program perubahan periaku berupa intervensi hukuman harus aman bagi semua yang terlibat dan tidak mengandung unsure-unsur yang merendahkan atau tidak sopan kepada peserta. Meskipun tidak ada definisi yang diterima secara universal dari apa yang merupakan perlakuan yang manusiawi, dapat dikatakan bahwa perawatan manusiawi adalah (a) dirancang untuk efektivitas terapi, (b) disampaikan untuk cara merawat, (c) menilai secara formatif untuk menentukan efektivitas dan dihentikan jika efektivitas tidak ditunjukan, dan (d) sensitive dan responsive terhadap kebutuhan fisik, psikologis, dan social secara keseluruhan dari orang tersebut.

  1. Alternatif batasan terkecil

Sebuah aturan etik kedua pelayanan manusia profesional adalah untuk campur tangan dalam kehidupan klien hanya diperlukan untuk memberikan intervensi yang efektif.

  1. Hak mendapatkan intervensi yang efektif

Diskusi etika tentang penggunaan hukuman yang paling sering adalah mengenai efek samping yang mungkin dapat menyebabkan rasa sakit yang tidak perlu dan merugukan psikologis bagi orang tersebut. Baer (1971) menyatakan bahwa Punishment adalah teknik yang sah dan dapat dibenarkan serta baik ketika menghindarkan orang dari hukuman yang lebih besar yang dihasilkan dari perilaku kebiasaan mereka sendiri. Untuk beberapa klien, intervensi hukuman mungkin satu-satunya cara untuk mengurangi frekuensi, durasi, atau besarnya perilaku kronis dan berbahaya yang telah permanen.

  1. Kebijakan hukuman dan perlindungan prosedural

Berbekal pengetahuan dari literature, praktek-praktek dan prosedur yang berakar pada kode etik perilaku, praktisi dapat mempertimbangkan pendekatan hukuman, bila diperlukan, untuk menyediakan program yang berarti bagi orang-orang dalam perawatan mereka. Salah satu mekanisme untuk memastikan bahwa pendekatan praktek terbaik yang digunakan (Peters & Heron, 1993) adalah untuk mengadopsi dan menggunakan kebijakan yang dinamis dan prosedur yang memberikan pedoman yang jelas dan perlindungan untuk para praktisi. Disarankan komponen dalam pedoman kebijakan dan prosedur sebuah instansi untuk membantu memastikan penggunaan etis, aman, dan efektif hukuman

Persyaratan Kebijakan

  • Intervensi harus mematuhi semua undang-undang setempat, negara bagian, dan federal.
  • Intervensi harus sesuai dengan kebijakan dan kode etik organisasi profesional yang relevan.
  • Intervensi harus mencakup prosedur untuk memperkuat dan mengajarkan perilaku alternatif.
  • Intervensi harus mencakup rencana untuk generalisasi dan pemeliharaan perubahan perilaku dan kriteria untuk pemutusan akhirnya atau pengurangan hukuman.
  • Informasi harus diperoleh dari klien atau orang tua atau advokat hukum sebelum intervensi dimulai.

Perlindungan Prosedural

  • Sebelum intervensi dimulai, semua staf yang relevan harus dilatih dalam (a) rincian teknis benar mengelola prosedur hukuman, (b) prosedur untuk memastikan keselamatan fisik klien dan staf dan perlakuan yang manusiawi dari klien, dan (c) apa yang harus dilakukan jika terjadi efek samping negatif seperti ledakan emosional, melarikan diri dan penghindaran agresi, dan ketidakpatuhan.
  • Pengawasan dan umpan balik dari staf administrasi intervensi hukuman harus
    disediakan dan, jika perlu, sesi pelatihan penguat disediakan.

Persyaratan Evaluasi

  • Setiap terjadinya masalah perilaku harus diamati dan dicatat.
  • Setiap peemberian punishment harus dicatat dan reaksi klien dicatat
  • Penelaahan berkala terhadap data (misalnya, harian, mingguan) oleh tim dari orang tua / advokat, staf, dan konsultan teknis harus dilakukan untuk memastikan bahwa pengobatan yang tidak efektif dihentikan.
  • Data validitas sosial harus diperoleh dari klien, orang lain yang signifikan, dan staf pada (a) akseptabilitas pengobatan dan (b) dampak nyata dan kemungkinan perubahan Praktisi juga harus berkonsultasi dengan pernyataan kebijakan lokal, negara bagian, atau asosiasi profesional nasional dalam penggunaan hukuman Misalnya, Associ­asi untuk Kemajuan Terapi Perilaku (AABT) memberikan bimbingan yang membahas pemilihan pengobatan dengan hukuman (Favell et al., 1982). The Associa­tion untuk Analisis Perilaku mematuhi Kode Etik American Psychological Association (2004), yang, pada gilirannya, membahas masalah-masalah perawatan. Secara kolektif, pernyataan kebijakan mengatasi persyaratan pelaksanaan, prosedur­pedoman dural dan tindakan pencegahan, dan metode evaluasi bahwa lembaga harus menggunakan ketika menerapkan intervensi-hukuman berbasis perilaku pada keadaan klien saat ini dan prospek masa depan.

 

  1. Kesimpulan

Definisi dan Sifat Hukuman

  1. Punishment terjadi saat Seseorang melakukan sebuah tingkah laku dan segera diikuti oleh konsekuensi yang membuat tingkah laku tersebut cenderung untuk tidak diulang lagi pada masa mendatang.
  2. Punisment harus memperhatikan efek perkembangan lebih lanjut maka dahulu perlu memenuhi syarat sebagai hukuman.
  3. Positive punishment : perilaku seseorang akan disertai dengan aversive stimulus (stimulus penolakan), hasil yang terbentuk adalah perilaku tersebut tidak akan terulang.
  4. Negative punishment : perilaku seseorang akan disertai dengan penghapusan reinforcing stimulus, hasil yang terbentuk adalah perilaku tersebut tidak akan terulang kembali.
  5. Unconditioned punishers : sebuah proses alami dan tidak perlu proses belajar dan adanya pengalaman terlebih dahulu untuk mnejadikannya sebagai hukuman. Contoh : kondisi panas eksterim, dingin ekstrim, menghindari aspal panas, menatap langsung ke arah matahari, dll.
  6. Unconditioned punishers : sebuah proses alami dan tidak perlu proses belajar dan adanya pengalaman terlebih dahulu untuk mnejadikannya sebagai hukuman. Contoh : kondisi panas eksterim, dingin ekstrim, menghindari aspal panas, menatap langsung ke arah matahari, dll.
  7. Sebuah Punishment adalah perubahan stimulus yang segera mengikuti terjadinya perilaku dan mengurangi frequency dari jenis perilaku.
  8. Secara umum, hasil penelitian dasar dan terapan menunjukkan bahwa hukuman lebih efektif bila:
  • Punishment diberikan sesegera mungkin setelah terjadinya respon sasaran,
  • Intensitas punishment yang tepat,
  • Setiap kemunculan perilaku tersebut diikuti oleh konsekuensi,
  • Penguatan untuk perilaku sasaran berkurang, dan
  • Penguatan yang tersedia untuk perilaku alternatif.
  1. Hukuman kadang-kadang menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan dan masalah, seperti berikut:
  • Reaksi emosional dan agresif
  • Perilaku melarikan diri dan penghindaran
  • Pemodelan perilaku yang tidak diinginkan
  • Terlalu sering menggunakan hukuman

 

Contoh Intervensi Hukuman Positif

  1. Teguran: Penyampaian teguran lisan menyusul terjadinya kenakalan adalah tanpa diragukan lagi bentuk paling umum dari positive reinforcement yang dicoba.
  2. Response blocking adalah intervensi secara fisik secepat mungkin setelah orang mulai mengeluarkan perilaku masalah atau “block” penyelesaian respon.
  3. Overcorrection, yakni prosedur pemberian hukuman dengan cara menyuruh anak melakukan perbaikan berkali-kali atau berlebihan, misalnya menulis “saya tidak bolos lagi” sebanyak 500 kali, atau lebih extrim lagi menyuruh siswa lari keliling lapangan sekolah sebanyak 20 kali atau lebih. Tujuan overcorrection ialah memberi tanggung jawab kepada anak atas tingkah laku yang tak dikehendaki dan mengajarkan tingkah laku baru yang dikehendaki.

 

Pedoman untuk Menggunakan Hukuman Efektif

  1. Untuk menerapkan hukuman dengan efektivitas optimal dan meminimalkan efek samping yang tidak diinginkan, seorang praktisi harus:
  • Pilih punishers efektif dan tepat: (a) melakukan penilaian punisher untuk mengidentifikasi punishment yang dapat diterapkan secara konsisten dan aman; (b) menggunakan punishment yang berkualitas dan intensitasnya cukup; (c) menggunakan berbagai punishment untuk mengurangi kebiasaan negatif dan meningkatkan efektivitas punishers kurang efektif.
  • Punishment diberikan sedini mungkin
  • Menghukum setiap kemunculan perilaku.
  • Tambahan hukuman dengan intervensi pelengkap­ (diferensial reinforcement)
  • Bersiaplah untuk efek samping yang tidak diinginkan.
  • Rekam, grafik, dan mengevaluasi data harian.

 

Pertimbangan Etis Mengenai Penggunaan Hukuman

  1. Tanggung jawab etis pertama untuk setiap pelayanan manusia pro­fessional atau lembaga adalah untuk tidak membahayakan. Setiap intervensi harus secara fisik aman untuk semua yang terlibat dan tidak mengandung el­ements yang merendahkan atau tidak sopan kepada klien.
  2. Sebuah hak klien untuk pengobatan yang efektif menimbulkan masalah etis yang individu yang menyediakan layanan analisis perilaku diterapkan dapat membantu memastikan bahwa aplikasi intervensi-hukuman berbasis aman, manusiawi, etis, dan efektif dengan menciptakan dan mengikuti seperangkat kebijakan standar, perlindungan prosedural, dan persyaratan evaluasi.

 

Penutup Perspektif Hukuman

  1. Analis perilaku terapan harus mengakui peran alami hukuman dan pentingnya hukuman untuk belajar.
  2. Iwata (1988) merekomendasikan bahwa punishment sebagai intervensi yang akan digunakan hanya ketika metode lain telah gagal. Dia berargumen bahwa analis perilaku terapan tidak harus mengadvokasi penggunaan teknologi permusuhan, melainkan harus terlibat dalam melakukan penelitian tentang intervensi tersebut untuk (a) membuat mereka efektif dan aman, (b) meningkatkan mereka dengan menggunakan reinsforcement positif (c) mengatur mereka agar bijaksana dan etis.

 

 

DAFTAR RUJUKAN

Cooper, John O, dkk. 2007. Applied Behavior Analysis. 2nd Ed. New Jersey: Pearson Education, Inc.